Kamis, 05 Maret 2009

Etika Bisnis

PANDANGAN ETIKA TERHADAP PRAKTIK BISNIS CURANG
Oleh: Nina Haryanah, SE.,MT (Dosen Universitas Jagakarsa)


Hampir setiap kenaikan harga, selalu diikuti dengan terjadinya kelangkaan beberapa komoditas strategis di pasar. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Jayapura, Papua, akibat kelangkaan gas elpiji, harga per tabung 12 kg mencapai Rp.175.000. Sebelumnya di beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Depok, dan Bandung kenaikan harga elpiji 12 kg hampir mencapai 55-60% dari harga normal, yaitu dari harga resmi yang diumumkan pemerintah.
Ironisnya, ditengah melambungnya harga elpiji, untuk mendapatkannya masyarakat harus rela antri. Yang lebih menggelikan lagi fenomena seperti ini adalah dampak dari kebijakan pemerintah mengenai konversi minyak tanah ke gas. Bukankah seharusnya harga gas lebih dapat dijangkau masyarakat?
Tidak dapat kita pungkiri bahwa keberadaan konsumen di tanah air sangat memprihatinkan atau dapat kita katakan memiliki daya tawar yang lemah. Rasanya belum kering peluh masyarakat kita berdesak-desakan antri mendapatkan dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai kompensasi kenaikan BBM 30%, kini dihadapkan pada persoalan melambungnya beberapa komoditas bahan pokok rata-rata naik diatas 30%!
Persoalan di atas apabila tidak ditangani dengan benar, ibarat bola salju yang menggelinding dari lereng bukit ke lembah, semakin lama semakin membesar apabila tidak ditahan atau dihancurkan atau menyelamatkan diri, maka akan menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. Rasanya, tidak ada kata untuk terlambat. Sekarang, marilah kita lihat beberapa prinsip etika dalam bisnis sebagai rujukan untuk memutuskan alternatif mana yang akan digunakan dalam menyelesaikan persoalan tadi.
Secara umum, etika bisnis terdiri dari lima prinsip1, pertama prinsip otonomi, memiliki dua unsur utama yaitu kebebasan dan tanggungjawab. Pelaku bisnis yang merdeka (bebas) memiliki pendirian yang teguh dan sadar akan apa yang dilakukannya. Karenanya, dalam melakukan kegiatan bisnis akan memilih bidang yang sesuai dengan keinginan dan bakat dirinya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Unsur yang kedua adalah tanggungjawab, merupakan batasan dari unsur yang pertama. Pelaku bisnis yang memiliki sikap tanggung jawab adalah pebisnis yang profesional. Dia akan perduli terhadap kelangsungan hidup (usaha) perusahaan yang dikelolanya. Rasa tanggung jawab tersebut dapat kita ukur melalui empat (4) kinerja, yang pertama kinerja produksi yaitu sejauh mana perusahaan menghasilkan produk atau jasa yang sesuai dengan standar kualitas; kedua adalah kinerja ekonomi yaitu perusahaan telah mampu menghasilkan produk yang memenuhi standar kualitas dengan harga yang ekonomis atau dengan kata lain perusahaan telah melakukan efisiensi produksi. Kinerja ketiga adalah kinerja sosial dimana perusahaan dapat menyisihkan keuntungannya untuk memfasilitasi kepentingan publik. Kinerja tertinggi adalah kinerja lingkungan, yaitu sejauh mana perusahaan dalam berproduksi tidak mencemari lingkungan atau dapat mendaur ulang limbah yang dihasilkan menjadi sesuatu yang aman bagi lingkungan atau limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali.
Prinsip yang kedua adalah kejujuran. Sering kali pelaku bisnis terjebak pada keuntungan sesaat dengan cara menjual produk pada harga yang tidak sesuai dengan kualitas. Atau adanya ketidaksesuaian antara harapan yang ditawarkan melalui promosi dengan kenyataan yang diterima atau dirasakan konsumen. Demikian pula dengan kasus terjadinya kelangkaan minyak dan gas elpiji sehingga menyebabkan harga diatas harga pasar atau terjadi ketidaksesuaan antara harapan yang dijanjikan pemerintah sebagai regulator sekaligus pemilik? pertamina dengan kenyataan yang dirasakan konsumen atau masyarakat. Bukankah menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat?
Prinsip ketiga adalah keadilan, bahwa konsumen mendapatkan barang yang pantas atau harga yang sesuai dengan kualitas. Prinsip keempat adalah saling menguntungkan, ini berarti kepuasan terhadap komoditas yang dikonsumsi atau yang ditawarkan dirasakan oleh kedua belah pihak yaitu produsen dan konsumen. Prinsip yang kelima adalah integritas moral, artinya apapun yang dilakukan pelaku usaha terutama ketika berhubungan dengan bisnis harus memegang teguh aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Kelima prinsip etika di atas adalah mutlak harus dipenuhi oleh pelaku bisnis di alam raya ini sebagai insan yang bermoral dan bermartabat. Konsekuensinya, siapapun yang melanggar atau tidak sejalan dengan lima prinsip etika tadi, baik itu perorangan maupun pemerintah harus dikenakan sangsi. Dengan demikian agar sejalan dengan harapan kita maka perlu dukungan aturan (hukum) sebagai rujukan dalam melakukan kegiatan bisnis, sehingga tidak ada pihak manapun yang dirugikan. Semoga kenangan-kenangan pahit mengenai kelangkaan sejumlah komoditas strategis di negara ini tidak terulang kembali.

Seri Koperasi-5

URGENSI PERAN PEMUDA DALAM DINAMIKA GERAKAN KOPERASI*)
Oleh : Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd
(Ketua Bidang Promosi Anggota dan Pengembangan Potensi Usaha
BKPK DEKOPINWIL JABAR)

Pendahuluan
Koperasi sebagai sebuah idiologi dalam praktek perkoperasian di Indonesia telah banyak mengalami pergeseran nilai dan arah gerakan, lihat saja dinamika yang terjadi dewasa ini dalam tubuh organisasi DEKOPIN sebagai organisasi tunggal gerakan Koperasi (UU No 25 Tahun 1992). Elit koperasi disadari atau tidak telah terjebak oleh kepentingan-kepentingan prakmatis politis, sehingga “velue” koperasi sebagaimana yang digariskan dalam “Cooprative Statement” ICA tahun 1995 dan yang dicitakan oleh Muh Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia, nyaris tidak ada lagi dalam arah gerak organisasi koperasi kita.
Mengembalikan gerakan koperasi kita ke dalam “khitahnya” atau ke dalam “jati diri” yang sebenarnya adalah langkah penting dan genting untuk segera di lakukan oleh insan koperasi.
Tanpa menyempitkan peran dan nilai strategis generasi tua, untuk kondisi saat ini, generasi yang bisa menjadi andalan harapan masa depan koperasi dan bisa diandalkan untuk mengembalikan arah gerak koperasi Indonesia ke dalam “khitahya” adalah generasi muda, dengan berbagai potensi yang di milikinya generasi muda harus menjadi sasaran utama aktivitas transformasi nilai dan kaderisasi manajemen organisasi koperasi. Ia harus diberi ruang dan wadah yang lebih luas untuk banyak terlibat dalam kancah perkoperasian Indinesia. Eksistensi dan kontinuitas gerakan koperasi kita ada di tangan-tangan generasi muda, hal inilah yang harus disadari dan menjadi bahan renungan kita semua.

Pemuda Sebagai Kelompok Strategis
Nurdin Halid sebagai Mantan Ketua Umum DEKOPIN, dalam suatu kesempatan pernah mengeluhkan bahwa lambatnya akselerasi pengembangan Koperasi di Indonesia dikarenakan sebagian besar Koperasi masih menganut asas senioritas, dimana kebanyakan koperasi bertahun-tahun dipimpin oleh orang yang sama dan nota bene merupakan lanjut usia (baca: orang tua), sehingga relativ sulit untuk menerima dan melakukan percepatan dalam aktivitasnya, baik aktivitas usaha maupun aktivitas organisasi, sehingga pada ulang tahunnya di era Presiden Megawati, koperasi di ibaratkan “BEKICOT”. Hal tersebut memang ada sedikit benarnya, tidak bisa dipungkiri realita di lapangan memang demikian, para pegiat koperasi kebanyakan kaum tua, biasanya pasca pensiun dari pekerjaanya mereka melirik koperasi untuk mengisi waktu, tidak sedikit dari mereka yang benar-benar hanya mengisi waktu, artinya masuk ke koperasi tanpa dilandasi oleh motivasi dan kapasitas keilmuan tentang jati diri koperasi yang benar, sehingga tidak heran jika koperasinya berjalan apa adanya (walaupun memang tidak jarang juga yang berhasil). Faktor pegiat koperasi yang sebagian besar kaum tua, memang bukan faktor mutlak yang menyebabkan lambatnya akselerasi perkembangan koperasi di Indonesia, masih banyak faktor lainya seperti yang diungkapkan oleh Ibnoe Sudjono (Tokoh Koperasi Nasional) bahwa kelemahan koperasi di Indonesia adalah karena organisasinya tidak sesuai dengan jati diri koperasi (idiologi koperasi) sebagaimana yang telah digariskan oleh ICA Tanggal 23 September 1995 di Mencherter Inggeris. Kemudian terjebakanya koperasi ke dalam kancah politik praktis serta terjebaknya para elit/pejabat koperasi di tingkat pusat ke dalam arena “ rebutan kekuasaan” (sebagaiama terjadi dewasa ini) juga merupakan faktor tersendiri yang menyebabkan lambatnya perkembangan koperasi (secara kualitas, karena secara kuantitas perkembangan koperasi di Indonesia cukup signifikan).
Padahal secara historis-idiologis, sebagaimana yang digagas oleh Muhammad Hatta, koperasi dicitakan bisa menjadi soko guru perekonomian, bahkan secara yuridis hal tersebut dikuatkan dalam UUD 1945 pasal 33, yang kini (pasca amandemen yang ke-4), kata-kata koperasi lenyap sudah, namun nilai-nilai kekeluargaan sebagai salah satu nilai dasar Koperasi masih tersurat dengan jelas dalam ayat 1 pasal 33 UUD 1945.
Pepatah bilang “Ditengah Kegelapan Lebih Baik Menyalakan Lilin daripada Menangisi dan Meratapi Kegelapan itu Sendiri” . Membangun koperasi dengan rumus 3M (minjam istilah AA gym), yakni Mulai dari hal yang kecil (yang bisa dilakukan), Mulai dari diri sendiri dan Mulai Sekarang, mungkin menjadi salah satu solusi yang perlu kita renungkan dan laksanakan kemudian membudayakan nilai-nilai koperasi dikalangan generasi muda (pemuda) juga merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan jika koperasi ingin bangkit, eksis dan punya masa depan. Generasi muda perlu menjadi piranti utama dari program-program pengembangan budaya berkoperasi dan transpormasi nilai-nilai (idiologi) koperasi, karena merekalah kelompok strategis yang akan menjalani kehidupan dan perjuangan koperasi di kemudian hari, indikator kesuksesan perjuangan kaum tua sekarang ini adalah manakala terlahir gerasi muda yang antri untuk siap melanjutkan perjuangan koperasi dan mereka bangga berkarya di dalamnya sehingga koperasi tetap lestasi dan bisa menunjukan peranan yang signifikan dalam proses pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan bisa membuktikan peranannya dalam mengangkat martabat dan kesejahteraan masyarakat
Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) sebagai organisasi tunggal gerakan koperasi (sebagaimana di tegaskan dalam UU No 25 Tahun 1992) memiliki organisasi infrastruktur untuk melaksanakan kegiatan khusus berdasarkan program kerja DEKOPIN, salah satunya adalah Badan Komunikasi Pemuda Koperasi (BKPK) yang fungsinya sebagai organisasi perkaderan untuk melakukan pembinaan pada kelompok strategis pemuda di kalangan generasi koperasi. Peranan ideal yang diharapkan dari adanya BKPK adalah BPKK bisa berperan sebagai sumber daya insani pembangunan dan sumber rekruitmen kepemimpinan koperasi.

Seri Koperasi-4

Teknik Printisan dan Pendirian Koperasi
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd


Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau Badan Hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koprasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (UU No 25 tahun 1992). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanannya menegaskan bahwa pemberian status badan hukum koperasi dan pembubaran koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah melalui kebijaksanaanya.

Pehamanan Dasar Perintisan Koperasi
Ketika kita ingin merintis untuk mendirikan koperasi maka terdapat beberapa hal mendasar yang harus dipahami terlebih dahulu sebagai pondasi yang akan menentukan arah gerak dari koperasi yang akan didirikan, hal tersebut diantaranya adalah : pemahaman tentang jati diri koperasi, apa sebetulnya koperasi itu? Betulkan kita butuh koperasi dan mengapa kita harus berkoperasi ? pertanyaan pertama terkait dengan jati diri atau identitas koperasi, dan untuk hal ini Internasional Cooprative Aliance (ICA) memberikan suatu pedoman dasar tentang identitas jati diri koperasi yang terangkum dalam ICA Cooprative Identity Statement Manchester, 23 September 1995 sbb :
1 Definisi
Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, social, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.

2 Nilai-Nilai
Koperasi-koperasi berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri, tangung jawab sendiri, demokratis, persamaan, keadilan dan kestiakawanan. Mengikuti tradisi para pendirinya, anggota-anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis dari kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab social serta kepedulian terhadap orang-orang lain.

3 Prinsip-Prinsip
Prinsip-prinsip koperasi adalah garis-garis penuntun yang digunakan oleh koperasi untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut diatas dalam praktek. Prinsip-prinsip koperasi tersebut adalahsbb :
a. Keanggotaan Sukarela dan Terbuka
b. Pengendalian oleh anggota secara demokratis
c. Partisipasi Ekonomi Anggota
d. Otonomi dan Kebebasan
e. Pendidikan, Pelatihan, dan Informasi
f. Kerjasama diantara Koperasi
g. Kepedulian terhadap Komunitas

Hal lain yang perlu diperhatikan ketika ingin merintis koperasi adalah tentang jenis koperasi yang akan dibentuk, hal ini akan berhubungan dengan keanggotaan dan kegiatan usaha yang akan dijalankan. Dasar untuk menentukan jenis koperasi adalah adanya kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya,seperti antara lain:
• Koperasi simpan pinjam (KSP)/koperasi kredit
• Koperasi konsumen
• Koperasi produsen
• Koperasi jasa, dll
Penjelasan tentang jenis koperasi tersebut sesuai dengan pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 sbb :
a.Koperasi simpan pinjam (KSP)/Koperasi kredit
Sesuai peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1992 pasal 1, bahwa koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang kegiatannya hanya usaha simpan pinjam. Keangotaan koperasi simpan pinjam pada prinsipnya bebas bagi semua orang yang memenuhi untuk menjadi anggota koperasi dan orang-orang dimaksud mempunyai kegiatan usaha atau mempunyai kepentingan ekonomi yang sama, misalnya KSP dengan anggota petani,KSP dengan anggota nelayan,KSP dengan anggota karyawan, dsb.
b.Koperasi Konsumen
Keanggotaan koperasi konsumen atau pendiri koperasi konsumen adalah kelompok masyarkat missal : kelompok PKK, karang taruna, pondok pesantren, pemuda dan lain-lain yang membeli barang-barang untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti sabun,gula pasir,minyak tanah.Disamping itu koperasi konsumen membeli barang-barang konsumen dalam jumlah yang besar sesuai dengan kebutuhan anggota.
Koperasi konsumen menyalurkan barang-barang konsumsi kepada para anggota dengan harga layak, berusaha membuat sendiri barang-barang konsumsi untuk keperluan anggota dan disamping untuk pelayanan anggota koperasi konsumsi juga boleh melayani umum.
c. Koperasi Produsen
Koperasi produsen adalah koperasi yang anggotanya orang-orang yang mampu menghasilkan barang, misalnya :
• Koperasi kerajinan industri kecil, anggotanya para pengrajin.
• Koperasi Perkebunan, anggotanya produsen perkebunan rakyat.
• Koperasi Produksi peternakan, anggotanya para Peternak.
d. Koperasi Pemasaran
Koperasi pemasaran adalah koperasi yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai kegiatan di bidang pemasaran barang-barang dagang , misal :
• Koperasi Pemasaran ternak sapi, anggotanya adalah pedagang sapi
• Koperasi Pemasaran elektronik, anggotanya adalah pedagang barang-barang elektronik.
• Koperasi Pemasaran alat-alat tulis kantor , anggotanya adalah pedagang barang-barang alat tulis kantor.
e. Koperasi Jasa
Koperasi Jasa didirikan untuk memberikan pelayanan (Jasa) kepada para anggotanya. Ada beberapa koperasi jasa antara lain :
• Koperasi Angkutan memberikan jasa angkutan barang atau orang . Koperasi angkutan didirikan oleh orang lain yang mempunyai kegiatan dibidang jasa angkutan barang atau orang .
• Koperasi Perumahan memberi jasa penyewaan rumah sehat dengan sewa yang cukup murah atau menjual rumah dengan harga murah.
• Koperasi Asuransi memberi jasa jaminan kepada para anggotanya seperti asuransi jiwa, asuransi pinjaman, asuransi kebakaran. Anggota Koperasi asuransi adalah orang-orang yang bergerak dibidang jasa asuransi.

Pembentukan Koperasi
a. Persyaratan Pembentukan Koperasi
Dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian , yaitu dalam pasal 6 sampai dengan 8 disebutkan bahwa persyaratan untuk pembentukan koperasi adalah sebagai berikut :
1) Persyaratan pembentukan koperasi didasarkan atas bentuk koperasi yang akan di bentuk, yaitu apakah koperasi primer atau koperasi sekunder.
2) Untuk persyaratan pembentukan koperasi primer memerlukan minimal 20 orang anggota. Untuk persyaratan pembentukan koperasi sekunder memerlukan minimal 3 koperasi yang telah berbadan hukum.
3) Koperasi yang dibentuk harus berkedudukan diwilayah Negara Republik Indonesia.
4) Untuk pembentukan koperasi dilakukan dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar .
5) Anggaran Dasar Koperasi harus memuat sekurang-kurangnya :
a) Daftar nama pendiri ;
b) Nama dan tempat kedudukan ;
c) Maksud dan tujuan serta dibidang usaha ;
d) Ketentuan mengenai keanggotan ;
e) Ketentuan mengenai Rapat Anggota ;
f) Ketentuan mengenai pengolahan ;
g) Ketentuan mengenai permodalan ;
h) Ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya ;
i) Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha ;
j) Ketentuan mengenai sanksi.




b. Langkah-langkah Dalam Mendirikan Koperasi
Sesuai dengan Perda No 15 Tahun 2002 tentang Pedoman Tata Cara Mendirikan Koperasi yang telah dikeluarkan oleh Wali Kota Bandung, langkah-langkah dalam mendirikan koperasi dapat dijelaskan sebagai berikut ;
1) Dasar Pembentukan
Orang atau masyarakat yang mendirikan koperasi mengerti maksud dan tujuan koperasi serta kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh koperasi untuk meningkatkan pendapatan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan koperasi :
a) Orang-orang yang mendirikan dan yang nantinya menjadi anggota koperasi harus mempunyai kegiatan dan atau kepentingan ekonomi yang sama. Hal itu mengandung arti bahwa tidak semua orang dapat mendirikan dan atau menjadi anggota koperasi tanpa adanya kejelasan kegiatan atau kepentingan ekonominya. kegiatan ekonomi yang sama diartikan memiliki kebutuhan ekonomi yang sama.Orang-orang yang mendirikan koperasi tersebut tidak dalam keadaan cacat hukum, yaitu tidak sedang menjalani atau terlibat masalah atau sengketa hukum, juga orang-orang diindikasikan sebagai oring yang suka menghasut atau kena hasutan pihak lain yang merusak atau memecah belah persatuan gerakan koperasi.
b) Usaha yang akan dilaksanakan oleh koperasi harus layak secara ekonomi.Layak secara ekonomi diartikan bahwa usaha tersebut akan dikelola secara efesien dan mampu menghasilkan keuntungan usaha dengan memperhatikan faktor-faktor tenaga kerja ,modal dan teknologi.
c) Modal sendiri harus cukup tersedia untuk mendukung kegiatan usaha yang akan dilaksanakan tanpa menutup kemungkinan memperoleh bantuan, fasilitas dan pinjaman dari pihak luar.
d) Kepengurusan dan manajemen harus disesuaikan dengan kegiatan usaha yang akan dilaksanakan agar tercapai efesien dalam pengolahan koperasi. Perlu diperhatikan bahwa mereka yang nantinya ditunjuk/dipilih menjadi pengurus haruslah orang yang memiliki kejujuran, kemampuan dan kepeminpinan, agar koperasi yang didirikan tersebut sejak dini telah memiliki kepengurusan yang andal.

2) Persiapan Pembentukan Koperasi
Adapun persiapan – persiapan yang perlu dilakukan dalam upaya mendirikan koperasi adalah sebagai berikut :
a) Pembentukan koperasi harus dipersiapkan dengan matang oleh para pendiri. Persiapan tersebut antara lain meliputi kegiatan penyuluhan, penerangan maupun pelatihan bagi para pendiri dan calon anggota untuk memperoleh pengertian dan kejelasan mengenai perkoperasian.
b) Yang dimaksud pendiri adalah mereka yang hadir dalam rapat pembentukan koperasi dan yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan serta menyatakan diri menjadi anggota.
c) Para pendiri mempersiapkan rapat pembentukan dengan cara antara lain penyusunan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

3) Rapat Pembentukan
Setelah semua upaya persiapan pembentukan koperasi dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan rapat pembentukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a) Rapat anggota koperasi dihadiri oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh ) orang untuk Koperasi Primer dan sekurang-kurangnya 3 (tiga) koperasi untuk Koperasi Sekunder.
b) Rapat pembentukan dipimpin oleh seseorang / beberapa pendiri atau kuasa pendiri.
c) Yang disebut kuasa pendiri adalah beberapa orang dari pendiri yang diberi kuasa dan sekaligus ditunjuk oleh untuk pertama kalinya sebagai pengurus koperasi untuk memproses pengajuan permintaan pengesahan akta pendirian koperasi dan menandatangani anggaran dasar koperasi.
d) Apabila diperlukan dan atas permohonan para pendiri, Penjabat Dinas Koperasi dapat hadir dalam rapat pembentukan untuk membantu kelancaran jalannya rapat dan memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya.
e) Dalam Rapat pembentukan tersebut perlu dibahas antara lain mengenai keanggotaan, usaha yang akan dijalankan, modal sendiri, kepengurusan dan pengelolaan usaha pengurusan anggaran dasar / anggaran rumah tangga
f) Anggaran Dasar harus memuat sekurang-kurangnya : daftar nama hadir, nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta bidang usahanya, ketentuan mengenai keanggotaan, rapat anggota, pengelolaan, jangka waktu berdiri , pembagian sisa hasil usaha (SHU) dan ketentuan mengenai sanksi.
g) Rapat harus mengambil kesepakatan dan keputusan terhadap hal-hal sebagaimana dimaksud pada butir c)dan e) dan wajib membuat berita acara rapat pembentukan koperasi.




4) Pengesahan Akta Pendirian Koperasi/Badan Hukum Koperasi
Untuk mendapatkan pengesahan status badan hukum koperasi diperlukan:
a. Pengajuan Permintaan Pengesahan Akta Pendirian
Para pendiri atau kuasanya mengajukan permintaan pengesahan secara tertulis kepada Kepala Dinas Koperasi setempat, Permintaan pengesahan tersebut diajukan dengan melampirkan:
• 2 rangkap akta pendirian satu diantaranya bermateri Rp 6.000
• Berita acara pembentukan koperasi termasuk pemberian kuasa untuk mengajukan permintaan pengesahan akta.
• Surat bukti penyetoran modal dari setiap pendiri kepada koperasinya dengan jumlah sekurang-kurangnya sebesar simpanan Pokok
• Rencana awal kegiatan koperasi/Program Kerja
• Daftar hadir rapat pembentukan koperasi
• Data pendiri koperasi
• Daftar susunan pengurus dan pengawas koperasi
• Foto copy KTP dari masing-masing anggota pendiri (untuk koperasi primer)
• Rekomendasi dari kelurahan yang diketahui oleh kecamatan domisili koperasi itu berada
• Pas foto pengurus koperasi ukuran 4 X 6

b. Pengesahan Akta Pendirian Koperasi
• Berdasarkan pengajuan permintaan pengesahan akta pendirian koperasi dan persetujuan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Koperasi Setempat dapat melakukan penelitian kembali atas anggaran dasar yang diajukan sendiri atau kuasanya .
• Apabila Kepala Dinas Koperasi berpendapat bahwa anggaran dasar tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan ketertiban umum atau kesusilaan, maka Kepala Dinas Koperasi dapat mengesahkan akta pendirian koperasi, dengan surat Keputusan Dinas Koperasi atas nama menteri koperasi dan PKM. Pengesahan akta pendirian koperasi tersebut ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya permintaan pengesahan secara lengkap.
• Nomor dan tanggal surat keputusan pengesahan akta pendirian koperasi merupakan nomor dan tanggal perolehan status badan hukum koperasi.
• Surat keputusan akta pendirian koperasi tersebut diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia dan biaya pengumumannya dibebankan kepada Kementrian Koperasi dan PKM.
• Dengan pengesahan akta pendirian tersebut akta pendirian koperasi yang bermaterai diserahkan kepada pendiri atau kuasanya dan yang tidak bermaterai simpan di Dinas Koperasi.
• Jika terdapat perbedaan antara kedua akta pendirian yang telah disahkan tersebut maka akta pendirian yang disimpan di Dinas Koperasi atau Kementrian Koperasi dan PKM yang di anggap benar.

c. Pertanggungjawaban Kuasa Pendiri
Selama permintaan pengesahan akta pendiri koperasi masih dalam penyelesaian, kuasa pendiri dapat melakukan kegiatan usaha atau tindakan hukum untuk kepentingan calon anggota atau calon koperasi. Setelah akta pendirian koperasi disahkan maka pendiri harus segera mengadakan rapat anggota, baik rapat anggota biasa maupun Rapat Anggota Tahunan (RAT) untuk memutuskan menerima atau menolak tanggung jawab kuasa pendiri atas kegiatan usaha atau tindakan hukum yang telah dilaksanakan.
Apabila rapat anggota menerima maka kegiatan usaha atau tindakan hukum yang telah dilaksanakan kuasa pendiri menjadi beban atau keuntungan koperasi. Jika ditolak maka segera akibat yang timbul dari kegiatan usaha atau tindakan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pribadi kuasa pendiri. Pada saat RAT pertama ini dirumuskan perangkat lunak dan perangkat keras dari organisasi koperasi yang dibentuk seperti Tata Kerja dan Struktur Organisasi, Jenis Usaha, kepegurusan (pengurus dan pengawas) pertama dalam koperasi yang dibentuk dan hal-hal strategis lainya untuk keperluan pengembangan koperasi, pengurus terpilih bertanggungjawab atas keberlangsungan aktivitas usaha dan organisasi koperasi sampai RAT tahun selanjutnya,
Dalam perjalananya organisasi yang dibentuk dapat mengembangkan jaringanya dengan cara masuk kedalam keanggotaan OrganisasI Gerakan Koperasi seperti Dean Koperasi Indonesia (DEKOPIN untuk tingkat Pusat, DEKOPINWIL untuk tingkat Prov dan DEKOPINDA untuk tingkat Kab/Kota), Badan Komunikasi Pemuda Koperasi (BKPK), ASBIKOM JABAR (Asosiasi Bisnis Koperasi Mahasiswa Jawa Barat), atau sekunder-nya seperti Koperasi Pemuda Indonesia (KOPINDO), GKPRI, GKBI,GKSI, dll. Atau organisasi lainya seperti KADIN, dll


Stimulus Untuk Para Pemuda Koperasi Sebagai Penutup
Nurdin Halid sebagai ex Ketua Umum DEKOPIN (Kini Adi Sasono), dalam suatu kesempatan pernah mengeluhkan bahwa lambatnya akselerasi pengembangan Koperasi di Indonesia dikarenakan sebagian besar Koperasi masih menganut asas senioritas, dimana kebanyakan koperasi bertahun-tahun dipimpin oleh orang yang sama dan nota bene merupakan lanjut usia (baca: orang tua), sehingga relativ sulit untuk menerima dan melakukan percepatan dalam aktivitasnya, baik aktivitas usaha maupun aktivitas organisasi, sehingga pada ulang tahunnya di era Presiden Megawati, koperasi di ibaratkan “BEKICOT”. Hal tersebut memang ada sedikit benarnya, tidak bisa dipungkiri realita di lapangan memang demikian, para pegiat koperasi kebanyakan kaum tua, biasanya pasca pensiun dari pekerjaanya mereka melirik koperasi untuk mengisi waktu, tidak sedikit dari mereka yang benar-benar hanya mengisi waktu, artinya masuk ke koperasi tanpa dilandasi oleh motivasi dan kapasitas keilmuan tentang jati diri koperasi yang benar, sehingga tidak heran jika koperasinya berjalan apa adanya (walaupun memang tidak jarang juga yang berhasil). Faktor pegiat koperasi yang sebagian besar kaum tua, memang bukan faktor mutlak yang menyebabkan lambatnya akselerasi perkembangan koperasi di Indonesia, masih banyak faktor lainya seperti yang diungkapkan oleh Ibnoe Sudjono (Tokoh Koperasi Nasional) bahwa kelemahan koperasi di Indonesia adalah karena organisasinya tidak sesuai dengan jati diri koperasi (idiologi koperasi) sebagaimana yang telah digariskan oleh ICA Tanggal 23 September 1995 di Mencherter Inggeris. Kemudian terjebakanya koperasi ke dalam kancah politik praktis serta terjebaknya para elit/pejabat koperasi di tingkat pusat ke dalam arena “ rebutan kekuasaan” (sebagaiama terjadi dewasa ini) juga merupakan faktor tersendiri yang menyebabkan lambatnya perkembangan koperasi (secara kualitas, karena secara kuantitas perkembangan koperasi di Indonesia cukup signifikan).
Padahal secara historis-idiologis, sebagaimana yang digagas oleh Muhammad Hatta, koperasi dicitakan bisa menjadi soko guru perekonomian, bahkan secara yuridis hal tersebut dikuatkan dalam UUD 1945 pasal 33, yang kini (pasca amandemen yang ke-4), kata-kata koperasi lenyap sudah, namun nilai-nilai kekeluargaan sebagai salah satu nilai dasar Koperasi masih tersurat dengan jelas dalam ayat 1 pasal 33 UUD 1945.
Pepatah bilang “Ditengah Kegelapan Lebih Baik Menyalakan Lilin daripada Menangisi dan Meratapi Kegelapan itu Sendiri” . Membangun koperasi dengan rumus 3M (minjam istilah AA gym), yakni Mulai dari hal yang kecil (yang bisa dilakukan), Mulai dari diri sendiri dan Mulai Sekarang, mungkin menjadi salah satu solusi yang perlu kita renungkan dan laksanakan kemudian membudayakan nilai-nilai koperasi dikalangan generasi muda (pemuda) juga merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan jika koperasi ingin bangkit, eksis dan punya masa depan. Generasi muda perlu menjadi piranti utama dari program-program pengembangan budaya berkoperasi dan transpormasi nilai-nilai (idiologi) koperasi, karena merekalah yang akan menjalani kehidupan dan perjuangan koperasi di kemudian hari, indikator kesuksesan perjuangan kaum tua sekarang ini adalah manakala terlahir gerasi muda yang antri untuk siap melanjutkan perjuangan koperasi dan mereka bangga berkarya di dalamnya sehingga koperasi tetap lestasi dan bisa menunjukan peranan yang signifikan dalam proses pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan bisa membuktikan peranannya dalam mengangkat martabat dan kesejahteraan masyarakat

God Spot

MENGHIDUPKAN GOD SPOT
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

Pada setiap orang disadari atau tidak, ada yang dinamakan dengan Titik Tuhan atau God Spot, Quraish Shihab dalam bukunya Menyingkap Tabir Illahi mendefinisikan God Spot sebagai insting keberagamaan dalam diri setiap insan atau noktah otak yang merespons ajaran moral keberagamaan, jika semua hal dipahami bahwa skenario hidup ada pada tangan Tuhan, maka manusia akan terhindar dari kekecewaan yang berlebihan. Sayangnya manusia sebagai tempatnya kesalahan, sering merasa dirinya sudah berkelebihan dalam hal kemampuan, sehingga diantaranya ada yang menutupi diri, bahkan tidak memikirkan pentingnya menjadi makhluk yang berkeyakinan akan adanya Tuhan dan karena Tuhan lah sebenarnya mereka bisa hidup.
Dalam dinamika kehidupan yang kita lewati dan saksikan, dewasa ini banyak bermunculan para tokoh agama alias ulama, kiyai, ajengan dan ustadz yang mencoba mengungkapkan keinginannya untuk membangkitkan nurani masyarakat dan mengembalikanya kepada fitrah Illahi yang memiliki insting keberagamaan, seperti munculnya Kyai Haji Abdullah Gymnastiar, yang sering disapa Aa Gym dengan mengolah Manajemen Qolbu atau sering dikenal MQ, banyak para jamaah tertarik dan mengikuti melalui pengajian setiap ba'da Subuh, hari Minggu siang, dan pengajian malam Jum'at. Jamaah datang dari berbagai daerah di Jawa barat, luar Jawa, bahkan dari mancanegara. Dalam perjalananya beliau juga mempelopori Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa) yang dideklarasikan pada tanggal 12 September 2004 di Monumen Bandung Lautan Api oleh sembilan orang deklarator yang usianya 42 tahun kebawah, kesembilan deklarator tersebut adalah Aa Gym, Teh Nenih Mutmainnah, Anas Urbaningrum, Neno Warisman, Ineke Kusherawati, Sulis, Muhammad Safi'i Antonio, Apong Witono, Erik Tohir, Hari Tami dan Astri Ivo.
Kemudian, Ary Ginanjar sebagai pelopor, pengungkap dan pengolah kecerdasan yang dianugerahkan Allah Swt, seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang dikenal dengan istilah IESQ, banyak orang yang tertarik untuk ikut memperdalam konsep tersebut, mulai dari kalangan pengusaha besar, pemimpin BUMN, para Jenderal, atau calon Jenderal, tokoh berbagai agama, tokoh masyarakat, pendidik, karyawan, guru, mahasiswa dan ibu rumah tangga, bahkan para pengikutnya tersebar diseluruh pelosok tanah air dan mancanegara, pengikutnya tercatat sampai awal September 2004 tidak kurang dari empat puluh ribu lebih. Dengan konsep kecerdasan yang diungkap oleh beliau diharapkan dapat memberikan kiat sukses dalam menggapai hidup bahagia dunia dan akhirat.
Ustadz Haryono, adalah penggerak majelis dzikir dan pengobatan berbagai penyakit yang diderita para pasennya, para jamaah datang dari tanah air bahkan mancanegara. Setiap kegiatan majelis dzikir diikuti tidak kurang dari seratus lima puluh ribu jamaah. Mereka datang dengan ikhlas dan berharap kepada Allah Swt swt, para pengikut dzikir dianjurkan untuk berpakaian putih-putih. Saat berdzikir jamaah diajak untuk mentafakuri kehidupan yang telah dilaluinya sejak baligh sampai setua yang dialaminya. Dengan mengagungkan kemahabesaran Allah Swt para jamaah mengakui keagungan Allah Swt, dan merasakan dirinya yang kecil dan tidak bermakna apa-apa di hadapan Tuhannya, sehingga kesombongan yang menjadi kebanggaan dan lupa diri, diikuti dengan tobat dan penyesalan yang sedalam-dalamnya, isakan tangis dan deraian air mata tak bisa di tahan dari setiap jamaah.
Ustadz Arifin Ilham, adalah ustadz yang mempunyai ciri suara yang khas, serak-serak basah, dan melantunkan kalimat-kalimat toyyibah, dzikir, tasbih, tahmid, takbir dan tahlil juga diawali dengan tausiyah, ajakan untuk mengagungkan asma Allah Swt. Para jamaah yang hadir dari berbagai pelosok tanah air dan tamu mancanegara tidak kurang dari lima puluh ribu jamaah. Bersama-sama mereka hadir dengan penuh keikhlasan dan harapan optimis untuk mendapat ampunan dan anugerah Allah Swt. Selesai pengajian dzikir biasanya para jamaah diminta pendapat sekaitan dengan kegiatan ini. Pada umumnya mereka menjawab dengan jawaban yang ikhlas penuh harap, bahwa dengan dzikir itu melahirkan ketenangan batin dan meyakini kemaha besaran Allah Swt. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Al Quran surat Al Hajj (22):34-35. "Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah Swt, yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah Swt, gemetarlah hati mereka".
Masih banyak lagi pengalaman cara membangunkan hati nurani dalam rangka menghidupkan God Spot, yang dilakukan oleh para ulama yang telah membawa kesadaran akan makna hidup di dunia yang fana ini. Kebanyakan manusia hanya sekedar mencari kebutuhan hidup di dunia, mereka merasa apa yang didapatnya merupakan hasil tangannya semata, dan puas sehingga dia lupa kepada yang menggerakan, menghidupkan, dan menjadikannya berhasil. Inilah pandangan yang menjadi sebab sulitnya kita bahkan Indonesia berubah dari krisis ekonomi, moral, politik, dan kepercayaan, yang hanya dihiasi dengan ketakaburan, kesombongan, riya, lupa diri, asal senang walaupun hanya dengan barang-barang yang haram, dengan korupsi, kolusi dan berjudi.
Keprihatinan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini, bahkan yang paling sangat berbahaya bagi bangsa, adalah hilangnya kepekaan dan kepedulian di masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh maraknya kemaksiatan di berbagai kalangan atau lapisan masyarakat, dan hilangnya perasaan malu dan berdosa dalam berbuat maksiat, kemaksiatan seolah tidak dianggap sebagai perbuatan maksiat lagi. Masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan lingkungannya, sebagian besar hanya peduli dengan dirinya sendiri, hal tersebut menunjukan redupnya cahaya hati nurani mereka atau tumpulnya insting keberagamaan. Akhirnya mari kita mulai dari diri kita untuk mengembalikan segala prilaku hidup kita kepada fitrah Illahi, kepada jalan hidup yang telah digariskan oleh Sang Maha Kuasa, Semoga kita semua di beri hidayah untuk mewujudkannya secara istiqomah. Amin

IPM Jabar

Arah Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan IPM
Di Jawa Barat
Oleh : Dani Setiawan

Berangkat dari visi Propinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Perda No 1 Tahun 2002 tentang Renstra Propinsi Jawa Barat yang berbunyi “Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa Sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010. Termaju dalam arti bahwa ketergantungan propinsi lain terhadap Jabar setinggi mungkin dan Ketergantungan Jabar terhadap propinsi lain sekecil mungkin. Keunggulan Jabar diantaranya mencakup bidang industri strategis, lembaga Litbang dan Pendidikan, Jasa, Sumber Daya Manusia dan sebagainya. Sedangkan Terdepan dalam arti bahwa poisisi Jawa Barat tidak lagi menjadi penyangga Ibu Kota dalam terekploitasinya sumber daya oleh DKI jakarta, namun jadi mitra sejajar yang paling menguntungkan dan terdepan dalam menjalin kerjasama dengan ibu kota negara. Adapun Iman dan Taqwa mengandung arti bahwa segala penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa.
Sebagai salah satu indikator makro pencapaian visi tersebut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Develepment Indeks. Indeks Pembangunan Manusia yang ditetapkan dengan angka adalah salah satu cara untuk menentukan tingkat kesejahteraan suatu bangsa atau negara dilihat dari aspek Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi (Daya Beli). Badan Dunia PBB dari unsure UNESCO setiap tahunnya menetapkan peringkat IPM suatu Negara. Hal demikian, didasarkan atas penilaian kemajuan upaya pembangunan yang dilakukan suatu Negara di dunia. Berdasarkan penetapan peringkat badan UNESCO Tahun 2003, Indonesia menempati urutan ke-112, satu tingkat di bawah Vietnam. Peringkat ini apabila dibandingkan dengan Negara tetangga seperti, Malaysia 67), Brunei (34), Singapur (27), Thailand (86) dan Filipina (93), maka Indonesia masih jauh tertinggal.
Tingkat kemajuan kesejahteraan dengan aspek pendidikan, kesehatan dan daya beli ditetapkan dengan angka, yaitu : 0-50 Rendah ; 50-80 Sedang ; dan 80 - 100 Tinggi. Untuk Tingkat Provinsi di Indonesia, Jawa Barat menempati urutan ke-15 dari 27 provinsi di Indonesia dengan nilai Angka 67,60 untuk tahun 2003. Padahal Jabar telah mencanangkan, bahwa pada Tahun 2010 harus mencapai Angka IPM 80 yang artinya dalam kondisi "Tinggi" - sejahtera. Atas dasar itulah, untuk tahun-tahun selanjutnya, propinsi Jawa Barat akan lebih mendorong pencapaian IPM melalui program-program akselerasinya.
Salah satu upaya ke arah itu, pada Tahun 2005 ditekankan pada optimalisasi akselerasi pencapaian IPM dengan program-program di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi (daya beli).
A. Bidang Pendidikan
Sinergitas Pembangunan Pendidikan di Jawa Barat tetap mengacu pada pencapaian tujuan Nasional sebagaimana tercantum dalam UU 20/2003, Pasal 3, yaitu : Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang ; beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk Tingkat Provinsi Jawa Barat, didasari oleh Visi Jabar sebagaimana tertuang dalam Perda 1/2002 : Dengan Iman dan Taqwa, Provinsi Jawa Barat Menjadi Propvinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara Tahun 2010. Selanjutnya untuk mempercepat pencapaian Visi Jabar tersebut, Pemda Prov. Jabar menetapkan Visi Akselerasi dengan Lima Focal Concern yang harus dicapainya dalam Periode 2003 - 2008.
Lima Focal Concern tersebut yaitu ; Pertama, Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas Sumber Daya Manusia Jawa Barat. Kedua, Mengembangkan struktur perekonomian yang tangguh. Ketiga, Memantapkan kinerja Pemerintah daerah. Keempat, Meningkatkan implementasi pembangunan berkelanjutan. Kelima, Meningkatkan kualitas kehidupan social yang berlandaskan agama dan budaya daerah.
Untuk bidang pendidikan, maka focal concern yang pertama menjadi acuan dalam melaksanakan programnya, dan pada Tahun 2008 Indeks Pendidikan yang harus dicapai sebesar 84,3 dengan tolok ukur meliputi Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 8,7 Tahun dan Angka Melek Huruf (AMH) 97,6 %. Dengan demikian, pada Tahun 2008, ditargetkan, Program Wajardikdas 9 tahun tuntas, dimana akan tercapai Angka Partisipasi Masyarakat (APM) SD/MI sebesar 97,9% dan APM SMP/MTS 86,2%. Oleh karena itu, untuk Tahun 2005 akan ditargetkan APM SD/MI 97,05 % dan APM SMP/MTS 73.3 %. Sedangkan kondisi APM pada tahun 2004 dicapai APM SD/MI 96.12 % dan APM SMP/Mts 60.27 %.
Program Akselerasi Pendidikan di Jawa Barat bukan tanpa permasalahan dan kendala. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi, yaitu menyangkut aspek ; Pemerataan Pendidikan, Relevansi pendidikan, Kualitas Pendidikan, dan Efisiensi Pendidikan. Pada aspek Pemerataan Pendidikan permasalahan yang muncul berkisar pada aksesibilitas dan daya tampung, terdapat kondisi Terancam Drop Out sebanyak 1.139.476 murid dan yang drop out 50.661 murid, APM SD/MI 96,12 %, APM SMP/Mts 60,27 %, Rata-rata Lama Sekolah 7,35 Tahun dan Angka Melek Huruf 95,1 % ; kekurangan tenaga guru pada posisi jumlah SD/MI 48.376, SMP/Mts 24.848, SMA/SMK/MA 6.540 dan SLB 1.501; dan kerusakan sarana/prasarana ruang kelas yang jumlahnya mencapai SD/MI 43.023, SMP/Mts 3.151 dan SMA/SMK 1.664. Pada aspek relevansi pendidikan permasalahannya meliputi ; kemitraan dengan DU/DI belum optimal, belum berbasis pada masyarakat dan potensi daerah, dan kecakapan hidup yang dihasilkan belum optimal.
Pada aspek kualitas pendidikan, meliputi : jumlah, kualitas buku di sekolah belum memadai, kinerja dan kesejahteraan guru belum optimal dan proses pembelajaran yang masih konvensional. Sedangkan pada permasalahan Efisiensi Pendidikan, yaitu meliputi : penyelenggaraan otonomi pendidikan yang belum optimal, keterbatasan anggaran, dan mutu SDM pengelola pendidikan.
Atas dasar permasalahan itu, maka pada tahun 2005 dilaksanakan beberapa program aplikatif akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun yang pada pelaksanaannya menggunakan lima strategi.

Pertama, strategi melalui pembuatan Pedoman Operasional Percepatan. Pedoman ini berisi data dan informasi seputar usaha percepatan Wajar Dikdas, termasuk beberapa format isian yang harus dilakukan oleh para guru, unsure Pemerintah Kecamatan dan Desa/Kelurahan serta unsure masyarakat. Dengan diterbitkannya pedoman ini diharapkan semua pihak memahami dengan jelas dan semakin terdorong untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun. Bagi Kab/Ko yang hamper atau telah menuntaskan Wajar Dikdas 9 Tahun dapat menggunakan pedoman ini sebagai salah satu rujukan untuk mempertahankan keberhasilan wajar dikdas dan menyusun strategi rintisan program Wajar 12 Tahun.
Kedua, strategi melalui pembangunan aksessibilitas dan Daya Tampung. Yang dimaksud dengan aksesibilitas adalah memperbesar kesempatan penduduk usia sekolah pendidikan dasar untuk mendapatkan pelayanan pendidikan pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs. Peningkatan daya tampung pendidikan dasar di Jawa Barat dimaksdukan agar siswa lulusan SD/MI yang sulit melanjutkan ke jenjang SMP/MTs karena keterbatasan sarana dan prasarana tetap dapat melanjutkan sekolah.
Beberapa alternatif yang direkomendasikan untuk meningkatkan aksesibilitas dan daya tampung pendidikan dasar SMP/MTs, yaitu melalui pembangunan Unit Sekolah Baru (USB), membangun Ruang kelas baru (RKB), membangun system Double shift, Sistem kelas Jauh, Sekolah Madrasah Satu Atap, mengembangkan Sekolah/Madrasah Kecil, membangun SMP/MTs terbuka, membangu Pendidikan Inklusi, Multi Grade Teaching, mengembangkan PKBM.
1. Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB).
Unit Sekolah Baru diprioritaskan untuk jenjang SMP/MTs dan dibangun pada wilayah atau daerah yang pertumbuhan penduduk usia sekolah jenjang SMP/MTs tinggi. Dalam rangka pendirian USB ini, Pemerintah Kab/Ko harus menyediakan lahan kosong yang memenuhi syarat-syarat teknis dan administratif serta bersedia mengangkat guru dan tenaga tata usaha yang ditugaskan pada SMP/MTs tersebut.
Beberapa kriteria perlunya USB
• Daya tampung SMP atau sederajat sudah tidak mungkin lagi untuk dikembangkan;
• Lulusan SD/MI atau sederajat tidak tertampung dan berminat melanjutkan minimal berjumlah 120 siswa ;
• Proyeksi lulusann SD/MI atau sederajat menunjukan peningkatan yang signifikan;
• Minat masyarakat cukup besar;
• Kemampuan/keadaan sosial ekonomi memadai;
• Memperhatikan kondisi sekolah swasta yang ada;
• Tersedianya anggaran;
• Tersedianya lahan yang memadai dan memenuhi persyaratan minimal.
2. Membangun Ruang Kelas Baru (RKB)
Dalam upaya meningkatkan daya tampung, penambahan Ruang Kelas Baru (RKB) pada SMP/MTs diprioritaskan pada daerah yang banyak memiliki calon siswa yang tidak tertampung. Kriteria penambahan RKB, yaitu :
• Tersedia lahan yang memadai;
• Adanya lulusan SD/MI atau sederajat yang tidak tertampung dan berminat melanjutkan;
• Jumlah guru memadai;
• Adanya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya;
• Kemampuan sosial ekonomi memadai;
• Tersedia dana yang cukup dari Pemerintah dan atau masyarakat.
Berdasarkan Program Tahun 2005, direncanakan akan dibangunan peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidikan dasar dengan biaya keseluruhannya mencapai Rp 54,1 milliar. Dana sebesar itu akan digunakan untuk Ruang Kelas Baru (RKB) sebanyak 600 lokal, MTs 250 lokal dengan biaya per lokalnya sebesar Rp 40 juta. Juga akan dilakukan rehab bangunan untuk SMP sebanyak 400 lokal, MTs 200 lokal dengan biaya per local sebesar Rp 32,5 juta.
3. Mengembangkan Sistem Double Shift
Sistem Double shift digunakan pada jumlah rombongan belajar yang melebih ketersediaan ruang kelas. Maksimal dari sistem ini adalah 1,6, artinya, di sekolah tersebut ada 16 rombongan belajar dan ruang kelas yang tersedia ada 10 ruangan, sehingga 6 rombongan melaksanakan proses pembelajaran pada sore hari. Sistem ini bisa digunakan di sekolah dengan persyaratan : jumlah guru dan tenaga tata usaha memadai dengan beban mengajar, tidak melebih ketentuan ; tersedianya fasilitas penerangan listrik yang memadai.

4. Membuka Sistem Kelas Jauh
Sistem ini dimaksudkan memberikan pelayanan bagi peserta didik pada lokasi daerah terpencil. Peserta didik menghadapi kendala geografis, artinya, ia harus menempuh jarak yang jauh untuk mencapai SMP/MTS terdekat. Pembukaan kelas jauh diupayakan dengan menitipkan pada SD/MI yang ada sebagai persiapan mendirikan USB. Pada tahap selanjutnya, kelas jauh ini dapat dikembangkan menjadi USB Mandiri setelah memenuhi syarakat pendirian dengan memiliki lahan seluas enam ribu meter persegi.
5. Mengembangkan SMP/MTs Terbuka
SMP terbuka merupakan bentuk pembelajaran jarak jauh yang dilaksanakan dengan menggunakan modul yang ditunjang oleh media lain berupa program kaset audio, radio/televisi, slide, dengan memanfaatkan tempat kegiatan belajar (TKB) yang telah tersedia pada lokasi daerah terpencil dan didukung oleh guru pamong. Waktu dan tempat belajar kelompok ditentukan bersama oleh siswa dan guru pamong, sedangkan belajar mandiri ditentukan sendiri oleh siswa. Pada Program Tahun 2005, akan dilakukan Pemberdayaan SMP Terbuka dengan biaya Rp 13,151 milliar. Digunakan untuk memberdayakan SMP Terbuka lama sebanyak 432 unit dan SMP Terbuka Baru sebanyak 91 unit.

6. Mengembangkan Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi dikembangkan untuk memberikan pelayanan kepada siswa yang berkebutuhan khusus dan tempatnya diselenggarakan pada SD/MI serta SMP/MTs. Dengan sistem ini dibuka akses bagi anak-anak berkebutuhan khusus tanpa pendirian SLB. Dengan adanya pendidikan inklusi ini, maka perlu ada penambahan pengetahuan dan keterampilan guru untuk dapat memberikan layanan pada sekolah-sekolah. Dalam Program Tahun 2005, untuk pendidikan inklusi ini akan diadakan pengembangan sarana dan prasarana SLB, yaitu, merehabilitasi 17 lokal dengan biaya keseluruhannya Rp 3,5 milliar.
7. Multy Grade Teaching
Sistem ini dikembangkan untuk mengatasi kekurangan guru. Pada sistem ini seorang guru berpeluang mengajar beberapa rombongan belajar pada satu waktu dan satu ruang kelas. Sistem ini dikembangkan untuk daerah yang terpencil dengan jumlah siswa per tingkat sedikit, serta gurunya terbatas.
8. Mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Penyelenggaraan PKBM dilakukan dari dan oleh masyarakat yang didalamnya dilakukan melalui Kejar Paket A,B dan C. Pada Tahun 2005 akan dilakukan peningkatan PLS melalui Kejar Paket A (Keaksaraan Fungsional) dan Peningkatan Mutu PKBM dengan biaya keseluruhannya Rp 13 miliar. Dana tersebut untuk membantu 650 PKBM.

Ketiga, Regrouping, yaitu, penggabungan sekolah dasar adalah penyatuan dua unit SD atau lebih menjadi satu kelembagaan (institusi) SD. Penggabungan ini dilakukan sebagai upaya penyempurnaan kelembagaan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses belajar mengajar.
Keempat, strategi melalui pelayanan Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS). Kartu ini merupakan identitas diri yang diterbitkan secara syah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang menyatakan bahwa pemegang kartu dapat bersekolah dengan jaminan biaya dari Pemerintah Kab/Kota. Pada Tahun 2005 ini, Pemprop. Jabar mengucurkan dana sebesar Rp 111,6 Miliar kepada Pemkab/Ko untuk mendanai Kartu Bebas Biaya Sekolah sebanyak 110.355 anak usia SMP/MTs atau sederajat dari keluarga tidak mampu. KBBS dapat dimanfaatkan oleh pemegang kartu untuk memilih sekolah/madrasah yang dikehendaki dan sebagai alat kontrol dalam penyaluran biaya sekolah.
Kelima, strategi kelima yaitu, pemberdayaan masyarakat dan pemberian Wajar Dikdas Award.
Pemberdayaan dilakukan untuk mendorong masyarakat mengambil peran dalam program percepatan Wajar Dikdas 9 Tahun, yang diselaraskan dengan potensi dan kemampuannya. Dilibatkan pula alim ulama dan tokoh masyarakat lainnya yang ada di Kelurahan/desa, bertujuan agar masyarakat menggali potensi sumber daya dalam meningkatkan peluang bagi anak tidak mampu untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Bentuk peran serta yang dapat dilakukan antara lain : penggalangan dana, sensus pendidikan, pesan wajar dikdas dalam khutbah jum¿at atau kegiatan keagamaan lainnya. Upaya ini ditandai dengan pencanangan Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan di Jawa Barat (Gema Peduli Pendidikan) yang telah dilakukan Gubernur Jabar pada Bulan Mei 2004, di Kota Cirebon.
Bentuk penghargaan tertinggi kepada peran serta masyarakat diwujudkan melalui pemberian ¿Wajar Dikdas 9 Tahun Award¿, yang diberikan Gubernur Jawa Barat kepada Bupati/Walikota, yang dinilai telah berhasil memimpin program percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun atau rintisan program Wajar Dikdas 12 Tahun di wilayah masing-masing. Pemberian awar ini didasarkan atas evaluasi Tim Independent yang ditugasi oleh Pemerintah provinsi Jawa Barat. Timnya terdiri dari : unsure Perguruan Tinggi, Dewan Pendidikan, LSM, Wartawan, dan Pemerintah.
Kriteria penilaian, antara lain : Kesinambungan Program, Sistem Pendataan, Alokasin APBD, Kinerja Tim teknis, Kenaikan APM, JumlahAnak yang dijamin KBBS, Penurunan Angka Tinggal Kelas, Penurunan Angka DO, Angka Melanjutkan, Angka Kelulusan, Partisipasi Masyarakat.
Adapun Strategi kebijaksanaan Pembangunan SDM secara umum di Jawa Barat 5 Tahun Kedepan, sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas maupun kuantitas pendidikan dasar, menengah dan tinggi untuk meletakan dasar yang kuat kepada siswa maupun mahasiswa sebagai upaya mempersiapkan SDM yang berkualitas serta mempunyai daya saing.
2. Meningkatkan anggaran pembangunan untuk bidang pendidikan, disertai dengan penggunaan dana yang efektif dan efisien
3. Meningkatkan peran serta swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi sekaligus investasi pada pembangunan bidang pendidikan, disertai dengan terjadinya pola kerjasama kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
4. Mengendalikan pertumbuhan dan mobilisasi penduduk
5. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pendekatan paradigma sehat dan menekankan pada upaya promotif dan preventif tanpa melupakan upaya kuratif dan rehabilitatif.
6. Menanggulangi masalah ketenagakerjaan dengan meningkatkan pembentukan dan pengemnbangan tenaga kerja yang berkualitas, produktif, efisien berjiwa wirausaha, melalui pendidikan dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan, meningkatkan perlindungan tenaga kerja melalui sistem pengupahan, keselamatan dan kesejahteraan serta jaminan sosial dan kesejahteraan kerja serta jamianan sosial
7. Meningkatkan pembinaan aparatur pemerintah, melalui peningkatan kualitas diri aparatur dengan program pendidikan dan pelatihan aparatur baik strukturak, teknis fungsional, teknis substantif maupun manajemen pemerintah

B. Bidang Ekonomi (Daya Beli)
Dalam upaya pencapaian Visi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Visi Jawa Barat 2010, yang secara konkrit dinyatakan dengan pencapaian IPM 80, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Misi ke-2, Mengembangkan Struktur Perekonomian Daerah yang Tangguh, menempatkan koperasi dan usaha kecil menengah (KUKM) sebagai pelaku ekonomi yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan PDRB Jawa Barat yang pada akhirnya berimplikasi terhadap peningkatan daya beli masyarakat.
Terciptanya daya beli yang kuat oleh masyarakat diperoleh dari kegiatan usaha diberbagai sector seperti : jasa, produksi, agrobisnis, buruh, pegawai, dlsb. Untuk itu, Pemerintah berupaya menggelindingkan roda ekonomi dengan prioritas pada sektor KUKM. Pertanyaannya, mengapa sector ini yang diprioritaskan ? jawabnya, karena melalui sector ini telah memberikan share terhadap PDRB Jawa Barat sebesar 63,56 %. Kemudian jumlah orang yang bergerak terlibat dalam KUKM sangat banyak.
Potensi Koperasi dan UKM Jawa Barat, Terdiri dari : jumlah koperasi 18.876 unit dengan kritria koperasi aktif 13.588 unit, koperasi RAT 5.215 unit, manajer koperasi 3.333 orang, anggota koperasi 5.095.454 orang, modal sendiri 1.09 trilyun, modal luar 2,53 trilyun, volume usaha 4,6 trilyun dan SHU 174,56 trilyun. Potensi Usaha Kecil Menengah Usaha kecil : 7.171.695 unit. Sektor pertanian : 4.007.776 unit . Sektor Pertambangan dan Penggalian : 7.284 unit . Sektor Industri Pengolahan : 331.323 unit. Sektor Listrik,gas dan air : 248 unit. Sektor Bangunan : 9.368 unit. Sektor Perdagangan Hoteldan restoran : 1.885.681 unit Sektor Pengangkutan dan Komunikasi : 575.700 unit. Sektor Keuangan, Persewaan,dan Jasa : 17.812 unit. Jasa lainnya : 366.305 unit. Jumlah usaha menengah : 8.282 unit. Sektor pertanian : 194 unit. Sektor Pertambangan &Penggalian : 30 unit. Sektor Industri Pengolahan : 2.445 unit. Sektor Listrik,gas dan air : 21 unit. Sektor Bangunan : 476 unit. Sektor Perdagangan Hotel dan restoran : 3.636 unit. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi : 401 unit. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa 535 unit sertab Jasa lainnya : 544 unit
Dari aspek pembiayaan, kredit perbankan yang telah disalurkan pada triwulan III/2004 telah mencapai Rp 36,92 Trilyun terdiri dari : kredit konsumsi 47,8 %, modal kerja 42,24 % dan investasi 9,96 %), dari jumlah itu, Rp 29,44 trilyun atau 79,74 % diserap oleh KUKM.
1. Permasalahan dan Kendala KUKM
Upaya membentuk KUKM yang tangguh dalam operasionalnya mendapatkan beberapa kendala atau permasalahan yang klasik, diantaranya :
• Kerjasama antar KUKM masih rendah;
• Persaingan tidak sehat antar KUKM ;
• Akses KUKM terhadap sumber modal masih terbatas ;
• Kualitas SDM Manajer koperasi masih lemah ;
• Citra koperasi yang masih kurang baik ;
• Kualitas SDM pada UKM masih rendah ;
• Informasi pasar masih belum banyak tersebar ke produsen dan sebaliknya informasi produksi tidak sampai ke pasar;
• Masih kurangnya promosi pembentukan citra komoditi dan produk Jawa Barat yang berdaya saing ;
• Penerapan teknologi di KUKM masih rendah.
2. Langkah-langkah Pemecahanyang ditempuh
Upaya yang ditempuh dalam rangka mengatasi permasalahan KUKM di Jawa Barat, yaitu dengan mengioptimalkan kekuatan, menangkap peluang, serta mengeleminasi ancaman yang ditetapkan dalam sembilan strategi akselerasi KUKM yang diaplikasikan kedalam program.
a. Strategi
• Konsolidasi gerakan koperasi
• Indentifikasi UKM Potensial dan unggul
• Pemetaan sentra UKM sebagai klaster
• Penguatan jejaring aliansi antar KUKM
• Membangun system pembiayaan KUKM
• Pengembangan kegiatan koperasi dalam industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah komoditi
• Membangun cooperative farming dan cooperative manufacturing
• Membangun pusat distribusi produk KUKM
• Penyediaan informasi pasar dan sumber daya bisnis KUKM
b. Output
• Kuatnya SDM KUKM dalam menghadapi tatangan usaha
• Tergalinya potensi sumber daya pedesaan secara efisien, optimal dan ramah lingkungan
• Terbentuknya investasi yang memadai, di pedesaan
• Terbukanya kesempatan kerja di pedesaan
• Peningkatan pendapatan
• Terpromosikannya produk dan aktivitas KUKM di Jabar sehingga terbentuk One village One product
• Mendorong IPM Jabar dan peran ekonomi KUKM
c. Lima Sasaran
• Tumbuhnya investasi di pedesaan
• Pengembangan ekonomi yang akhlaqul karimah
• Gender perspective dalam pengembangan KUKM
• Jejaring penguatan sentra
• Intermediasi dan interkoneksitas antar pelaku KUKM
Tindak lanjut dari penetapan strategi, output dan sasaran itu, disusunlah program yang meliputi : Persiapan dan Pendukungan Kapasitas Dinas KUKM ; Peningkatan Kapasistas SDM KUKM ; Konsolidasi Gerakan Koperasi dan UKM ; Pengembangan Industri Agro bernilai tambah ; Konsolidasi Lembaga Keuangan KUKM ; Pengembangan Distribusi KUKM ; Cooperative Fair.
1. Persiapan dan Pendukungan Kapasitas Dinas KUKM
• Pelatihan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan bagi aparatur
• Peningkatan sarana dan prasarana Dinas KUKM Prov. Jabar
• Identifikasi KUKM potensial
• Up dating Data KUKM
• Monitoring, evaluasi dan pelaporan
• Pelaksanaan Kajian-kajian
• Penyusunan perencanaan
• Sinkronisasi dan konsolidasi program
• Pendampingan KUKM
• Pengembangan system informasi
• Pembuatan company Profile KUKM
2. Peningkatan Kapasitas SDM KUKM
• Paltihan bagi pengembangan Kompetensi SDM KUKM
• Pelatihan pengembangan kompetensi bagi tenaga pendamping
• Publikasi buku-buku dan software aplikasi akuntansi computer bagi KUKM
• Temu konsultasi pelatihan
• Konsultasi dan evaluasi paska pelatihan
3. Konsolidasi Gerakan Koperasi dan UKM
• Reinventing jati diri koperasi
• Perkuatan lembaga gerakan koperasi (Dekopinwil dan Dekopinda)
• Peningkatan Peran Koperasi primer dan sekunder tingkat provinsi
• Penghargaan terhadap koperasi dan UKM terbaik serta tokoh koperasi
• Pendidikan perkoperasian bagi generasi muda
• Open house gerakan UKM
• Peningkatan koperasi berwawasan gender
• Publikasi keberhasilan KUKM
4. Pengembangan Industri Agro Bernilai Tambah
• Pengembangan Sentra Komoditas Unggulan
• Pengembangan cooperative farming dan cooperative manufactur
• Perkuatan KUKM di Sentra Cujayana Kawasan Cipamatuh
• Pengembangan infrastruktur teknologi tepat guna bagi KUKM
5. Konsolidasi Lembaga Keuangan KUKM
• Intermediasi KUKM dengan lembaga keuangan Bank dan non Bank
• Peningkatan Peran Lembaga Penjamin Kredit
• Peningkatan Peran PT BPR Koperasi
• Peningkatan peran Pendamping Akses pembiayaan KUKM
• Peningkatan peran KSP/USP Koperasi
• Pengembangan Pembiayaan Sistem Hedging
• Kapitalisasi Asset KUKM
• Meningkatkan intensitas sumber pendanaan koperasi dari anggota
6. Pengembangan Distribusi KUKM
• Pengembangan jaringan usaha dalam kluster
• Pengembangan jaringan pasar produk KUKM di dalam negeri dan luar negeri
• Pengembangan outlet produk KUKM
• Peningkatan dan Pengembangan Peran Jaringan Usaha Koperasi
• Koordinasi dan konsolidasi pembentukan Pusat Distribusi Produk KUKM
• Pembentukan Lembaga lelang (Koperasi)
7. Cooperative Fair
• Penyelenggaraan Gelar Cooperative Fair dalam rangka Hari Koperasi
• Promosi Produk KUKM di Dalam dan di Luar Negeri
• Gelar Kemitraan
C. Bidang Kesehatan
Bidang kesehatan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui penilaian Indikator Pembangunan Manusia (IPM), selain bidang lainnya seperti Bidang Pendidikan dan Bidang Ekonomi.
Melalui Perda No.1/2001,Jawa Barat telah menetapkan Visinya Jawa Barat Dengan Iman Taqwa Sebagai Propinsi Termaju dan Mitra Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010, dengan indicator utamanya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80 dan melalui Visi Pemerintah Propinsi Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat 2010, maka Bidang Kesehatan telah menetapkan Visinya, yaitu Jabar Sehat 2008.
Untuk mencapai Visi Jabar Sehat 2008 dengan IPM 80 itu, telah ditetapkan Strategi Programnya, yaitu : Pertama, Akses dan Kualitas Yankes terutama GAKIN yang meliputi; Yankes Dasar & Rujukan, Perbaikan Gizi Masyarakat, Immunisasi dan P2M. Kedua, Sumber daya kesehatan dengan langkahnya ; Penataan SDM Kesehatan dan Peningkatan Fungsi Sarkes. Ketiga, Pemberdayaan Masyarakat berdasarkan Kemitraan dan kemandirian dengan langkah-langkahnya melalui promosi kesehatan (PHBS) dan penyehatan lingkungan. Keempat, Pembiayaan Kesehatan diantaranya dengan Out Sourching.
Untuk mencapai IPM 80 Bidang Kesehatan, maka proporsi kebijakannya : Faktor Yankes 20 % yang meliputi ; Penurunan Angka Kematian Bayi, Penurunan Angka Kematian Ibu, Penurunan Angka Kematian Balita Kasar; Faktor Perilaku 30 % ; Faktor Lingkungan 45 % dan Faktor Keturunan.
Perlu diketahui bahwa sebagai buah dari proses pembangunan yang dilakukan 6 (enam) tahun terakhir sejak tahun 2000, IPM Jawa Barat adalah sebagia berikut : Tahun 2000 sebesar 65,3, tahun 2001 sebesar 68,35. tahun 2002 70,89. tahun 2003 sebesar 72,37. tahun 2004 sebesar 73,53 dan tahun 2005 mencapai 74,56. dengan demikian untuk mencapai target 80 perlu adanya upaya akselerasi pemberdayaan berbagai sumber daya yang ada di Jawa Barat, khususnya yang berkaitan dengan tiga indikator IPM yakni pendidikan, kesehatan dan daya beli.

Seri Koperasi-3

PENGEMBANGAN USAHA KOPERASI *)
Antara Das Sollen dan Das Sein
Oleh : Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

A. TINJAUAN UMUM
Ketika Republik ini didirikan, para founding fathers memimpikan suatu negara yang mampu menjamin hajat hidup orang banyak dan diusahakan secara bersama. Hal itu, tidak mengherankan, sebab pemikiran dan gerakan sosialisme memang sedang menjadi trend pada waktu itu, untuk melawan para pengusaha kapitalis dan kolonialis yang dianggap membawa penderitaan di kalangan buruh, tani dan rakyat kecil lainnya. Simak saja, apa yang diungkapkan para founding fathers di bawah ini:
Soekarno: "Banyak diantara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan: jempol sekali jikalau negeri kita bisa, seperti Jepang atau negeri Amerika Serikat atau negeri Inggeris! Kaum nasionalis yang demikian itu adalah kaum nasionalis burgerlijk, yaitu kaum nasionalis burjuis. Mereka adalah burgerlijk revolutionair dan tidak social revolutionair. Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menseijkheid. Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru kami sebutkan: Sosio-Nasionalisme dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan: Sosio-Demokrasi. Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu? Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio demokrasi adalah demokrasi masyarakat. Tetapi apakah nasionalisme-masyarakat dan demokrasi-masyarakat? Memang maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa sengsara... Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat sosio-demokrasi ialah demokrasi-politik dan demokrasi ekonomi" (Soekarno, 1932).
Moh. Hatta: "Yang hendak kita persoalkan di sini ialah kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat kita. Kaum produsen sebagian yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Kaum konsumen demikian pula. Akan tetapi kaum distributor terdiri daripada bansa asing. Dan inilah suatu pokok yang penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita... Kaum saudagar asing dengan segala bujangnya yang terdiri daripada bangsa kita sudah melakukan ‘Einschaltung’ ke dalam ekonomi kita. Sekarang usaha kita hendaklah mengerjakan ‘Ausschaltung’ merebut jalan perdangangan itu dari tangan bangsa asing.... Untuk mencapai maksud itu kaum industri tersebut mengadakan persatuan. Demikian pula seharusnya taktik ekonomi rakyat kita. Sebagai kaum produsen rakyat kita harus menggabungkan diri untuk menimbulkan koperasi produksi. Misalnya tiap-tiap desa atau kumpulan desa menjadi persatuan kooperasi produksi, bekerja bersama dan berusaha bersama. Kalau kaum tani Indonesia sudah bersatu dalam perekonomiannya, pendiriannya sudah kuat terhadap saudagar asing yang menjadi si pembeli... Ke arah inilah harus ditujukan ekonomi rakyat, kalau kita mau memperbaiki nasibnya. Usaha ini tidak mudah, menghendaki tenaga dan korban yang sepenuh-penuhnya dengan menyingkirkan segala cita-cita partikularisme. Dapatkah ia dicapai? Bagi kita tidak ada yang mustahil, asal ada kemauan. Susunlah kemauan itu lebih dahulu!" (Hatta: 1933).
Menyimak perkataan Soekarno dan Hatta (yang kemudian keduanya menjadi proklamator RI), tampak bahwa cita-cita membentuk negara Republik Indonesia, adalah untuk kemakmuran semua orang dengan bangun usaha yang diusahakan secara bersama; "koperasi". Karena itu, kemudian, dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan, "...Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi". Sehingga oleh karenanya di Indonesia, mungkin unit usaha yang paling banyak mendapat julukan adalah koperasi. Julukan itu begitu mulia; "soko guru perekonomian Indonesia", "tulang punggung ekonomi rakyat", dan lain-lain. Secara konstitusional, badan usaha yang disebutkan secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945, hanya koperasi, "... Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi", demikian dinyatakan UUD 1945. Namun uniknya, kendati mendapat julukan-julukan mulia dan disebutkan dalam konstitusi, ternyata koperasi Indonesia selama setengah abad lebih kemerdekaannya, existensinya belum menunjukan perkembangannya yang signifikan. Ia tetap saja hanya ada di bibir para pejabat pemerintahan, dan tidak tampak di permukaan sebagai "bangun perusahaan" yang kokoh dan mampu sebagai landasan (fundamental) perekonomian, serta dalam sistem ekonomi Indonesia secara makro, koperasi masih berada pada sisi marjinal. Jadi, permasalahan mendasar koperasi Indonesia terletak pada paradigma yang saling bertolak belakang antara apa yang dicita-citakan (Das Sollen) dan apa yang sesungguhnya terjadi (Das Sein). Selama paradigma ini tidak dibenahi, niscaya koperasi tidak akan dapat berkembang, ia hanya menjadi retorika dan menjadi objek oknum pegiat dan oknum birokrat koperasi dalam melancarkan projek-projeknya serta “misi-misi busuknya” dalam rangka memperkaya diri dengan menjadikan nama koperasi sebagai topeng.
B. PROBLEMATIKA MIKROEKONOMI DALAM USAHA KOPERASI
a) Masalah Orientasi Usaha.
Ketika berbicara tentang ideologi perkoperasian, sering disebutkan bahwa dalam menjalankan usahanya, koperasi "tidak bertujuan mencari laba", dengan alasan bahwa koperasi "berwatak sosial". Pemahaman ini, menurut penulis, sesungguhnya menyesatkan. Pertanyaan kritis patut dimajukan; jika "tidak bertujuan mencari laba", lantas apakah koperasi bertujuan mencari rugi?. Sebagai bangun perusahaan, koperasi tetap harus mencari laba untuk dapat melanjutkan usahanya. Watak sosialnya ditunjukkan bahwa koperasi mencari laba bukan untuk kepentingan segelintir orang (yang dalam bangun perusahaan lainnya disebut "pemegang saham"), tetapi untuk kemakmuran seluruh anggota (participatory economics). Jadi tidaklah "berdosa" bila koperasi harus mencari laba, sebab demikianlah hakekatnya sebagai sebuah bangun usaha sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No 25 tahun 1992. Dalam prakteknya koperasi harus memiliki core business yang jelas dan tegas sehingga bisa mengembangkan prinsip-prinsip kerja profesional dan profitable serta memiliki daya saing dengan bangun usaha lainya, tidak terseok-seok yang lajunya bagai “keong” (kata Presiden Megawati tahun 2004).
b) Masalah Sumber Daya
Walaupun disebut sebagai "soko guru" perekonomian Indonesia, namun dalam menjalankan kegiatan usahanya koperasi sering mengalami kesulitan untuk memperoleh Sumber Daya sebagai bahan baku. Salah satu sumber daya pokok yang sulit diperoleh adalah modal. Bermacam regulasi diberlakukan sehingga malah mempersulit koperasi untuk memperoleh modal dari lembaga-lembaga keuangan, khususnya bank. Hal itu sangat kontradiktif sekali dengan kemudahan dan fasilitas yang diberikan pemerintah pada industri-industri besar, bahkan juga untuk memperoleh modal dari luar negeri (baca: hutang). Padahal kenyataannya, kemudahan modal yang diberikan pemerintah kepada industri besar itu kebanyakan membuahkan kredit macet yang kini menghancurkan sektor perbankan.
Sumber daya lainya yang seirng kali menjadikan perjalanan koperasi tidak secepan bangun usaha lainya adalah sumber daya manusia, koperasi mengalami kesulitan untuk memperoleh kualitas manajer yang baik. Hal itu karena kesan yang terlanjur sudah melekat pada koperasi sebagai "ekonomi kecil", sehingga tidak memberikan insentif bagi manajer-manajer yang handal untuk mau mengelola koperasi. Di sinilah campur tangan pemerintah diperlukan untuk memberikan mutu modal manusia yang baik bagi koperasi. Hal itu dilakukan misalnya dengan memberikan dasar-dasar pengelolaan perusahaan yang baik bagi para manajer koperasi. Di sinilah "pembinaan", "pendampingan" dan "pemihakan" (tiga jargon pemerintah selama ini) diperlukan dari pemerintah untuk koperasi. Dengan demikian, mereka mampu untuk mengelolanya dengan efisien dan efektif.
Melalui kegiatan Konferensi Nasional DEKOPIN 2006 yang bertajuk “Dengan Gerakan Koperasi Kita Bangkitkan Ekonomi Rakyat” digelar di Secapa TNI AD Bandung pada tanggal 15 hingga 19 Februari 2006 yang membuahkan beberapa butir kesepakatan antara DEKOPIN dengan beberapa BUMN diharapkan dapat memberikan peluang tersendiri dagi sekelumit masalah yang dihadapi oleh kebanyakan koperasi, khususnya dari segi permodalan, sedangkan permasalahan SDM, serangkaian program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan yang difasilitasi oleh Dinas Koperasi diharapkan dapat memberikan andil besar dalam jangka panjang, eksis dan berkembangnya LAPENKOP sebagai lembaga infrastruktur DEKOPIN juga memberikan harapan tersendiri dalam mengatasi problematika SDM dalam tubuh koperasi.
Eksis dan berkembangnya IMAKOP, BKPK serta KOPMA menjadi satu peluang strategis tersendiri bagi pengatasan krisis SDM koperasi dalam jangka panjang, khusus untuk KOPMA, institusi ini memiliki kedudukan dan peranan yang strategis, karena komunitas SDM yang tersedia ditengarai masih memiliki idiologi yang kental dan tentunya memberikan harapan jangka panjang bagi terjaganya eksistensi nilia-nilai jati diri koperasi dalam gerakan koperasi.keududukanya sebagai koperasi kader dan kader koperasi menjadi nilai tambah tersendiri bagi eksitensi dan kontinuitas gerakan koperasi dikemudian hari.
c) Masalah Output, Mapping Produk dan Pemasaran
Output koperasi (khususnya koperasi produksi), seringkali mengalami masalah dalam hal kualitas, mapping product, distribusi serta pemasaran dan promosi (bisnis).
1. Kualitas output.
Dalam hal kualitas, output koperasi tidak distandardisasikan, sehingga secara relatif kalah dengan output industri besar. Hal ini sebenarnya sangat berkaitan dengan permasalahan input atau sumber daya (modal dan sumberdaya manusia) seperti diuraikan diatas. Padahal untuk masuk ke kancah kompetisi, kualitas output cukup signifikan untuk mempengaruhi performance koperasi. Program-program pembinaan berkelanjutan yang menyentuh permasalahan ini sangat perlu untuk dilakukan, kegiatan yang dilakukan oleh JUK Nasional yakni Pelatihan Manajemen Mutu Terpadu pada tanggal 20-22 Pebruari 2006 merupakan kegiatan-kegiatan yang sangat penting untuk dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan.
2. "Mapping Product".
Kebanyakan Koperasi dalam menentukan output tidak didahului riset perihal sumber daya dan permintaan potensial (potential demand) daerah tempat usahanya. Sehingga, dalam banyak kasus, output koperasi tidak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga sulit untuk dipasarkan. Di sinilah peranan pemerintah diperlukan untuk melakukan riset, dikarenakan koperasi itu sendiri biasanya terbentur oleh permasalahan teknologi dan terbatasnya kapasitass financial untuk mengadakan teknologi riset. Riset tentang produk manakah yang diestimasikan akan laku dan menjadi produk unggulan di tiap daerah sangat diperlukan, dewasa ini pengembangan sistem sentra sebagaimana yang dikembangkan Dinas KUKM Jabar cukup posistif. Hal itulah yang disebutkan dengan "mapping product". Koperasi (dan UKM) karena keterbatasan modal dan sumber daya manusia, tentu saja tidak mampu melakukan riset tersebut. Dengan hasil riset pemerintah itu, koperasi (dan UKM) memperoleh informasi untuk menentukan jenis usaha dan output yang dihasilkannya sehingga kemungkinan untuk merugi dapat diperkecil.


3. Distribusi, Pemasaran dan Promosi
Seringkali Koperasi mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya. Output yang dihasilkannya tidak memiliki jalur distribusi yang established, serta tidak memiliki kemampuan untuk memasarkan dan melakukan promosi. Sehingga, produknya tidak mampu untuk meraih pangsa pasar yang cukup untuk dapat tetap eksis menjalankan kegiatan usahanya.
Peranan pemerintah sekali lagi, diperlukan untuk menyediakan sarana distribusi yang memadai. Lahirnya Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) di era Adi Sasono menjadi Menkop menjadi stimulus tersendiri, namun sayangnya langkah tersebut didistorsi dengan muatan politis dan upaya untuk menjadi KDI sebagai monopolis, sehingga akhirnya tidak mencapai tujuannya yang hakiki. Sarana yang dibentuk pemerintah itu, sekali lagi, tetap harus dalam pemahaman koperasi sebagai gerakan rakyat, sehingga jangan melakukan upaya-upaya "pengharusan" bagi koperasi untuk memakan sarana bentukan pemerintah itu. Bila memang, ternyata koperasi akhirnya mampu menciptakan sendiri jalur distribusinya, biarkan saja ia berkembang dengan pilihannya.
Selanjutnya dalam aspek bisnis, koperasi –karena keterbatasan input atau sumber daya modal—sulit untuk melakukan pemasaran (marketing) dan promosi (promotion). Karena itu, selaras dengan mapping product seperti diuraikan diatas, pemerintah melanjutkannya dengan memperkenalkan produk-produk yang menjadi unggulan dari daerah itu. Dengan demikian, output koperasi dapat dikenal dan permintaan potensial (potential demand) dapat menjadi permintaan efektif (effective demand).
Dewasa ini dengan di hidupkanya kembali Jaringan Usaha Koperasi (JUK) di lingkungan DEKOPIN diharapkan memberikan angin segar bagi problematika usaha yang di hadapi koperasi, kegiatan semacam Pelatihan Pengembangan Jaringan Pemasaran yang diselenggarakan pada tanggal 24 – 26 Pebruari 2006 oleh JUK Nasional serta kegiatan-kegiatan yang difasiitasi oleh Kementrian KUKM dan Dinas KUKM Propinsi seperti Pameran Produk Koperasi, Temu Bisnis, Gelar Prodak, Pendirian Pusat Promosi Produk Koperasi, Central Bisnis Koperasi dan sebagainya merupakan kegiatan yang perlu untuk dikembangkan, dibentuknya semacam asosiasi ataupun organisasi seperti Jaringan KUKM Jabar yang dinakodai Bapak Drs.Iwan Gunawan,MM (Sebagai ketua sekaligus ketua BKPK JABAR) cukup penting untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi berbagai problematika usaha koperasi, khususnya masalah pemasaran.
Upaya menjalin kerjasama dan merangkai keterkaitan usaha dengan sektor bisnis swasta yang kuat modal dan kuat jaringan seperti Supermarket dan Hipermarket memungkinkan dapat memberikan alternatif solusi bagi permasalahan Distribusi, Pemasaran dan Promosi.

Membudayakan prinsip kerjasama antar koperasi juga menjadi satu hal pokok yang perlu dilakukan oleh pegiat koperasi dalam mengatasi problematika Distribusi, Pemasaran dan Promosi, aksinya dengan membangun sebuah asosiasi atau forum koperasi sejenis yang orientasinya pada kerjasama bidang usaha dapat menjadi bahan pertimbangan para pegiat koperasi.
C. ARAH PENGEMBANGAN USAHA KOPERASI SECARA IDIOLOGIS
Menurut Sritua Arief (1997), ada tiga pendapat yang hidup di kalangan masyarakat mengenai eksistensi unit usaha koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Pendapat pertama adalah yang mengutarakan perlunya mengkaji ulang apakah koperasi masih perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi. Secara implisit pendapat ini menghendaki agar kita tidak perlu mempertahankan koperasi sebagai unit usaha ekonomi. Pendapat ini mewakili pemikiran kanan baru (new-right) yang tidak begitu mempermasalahkan konsentrasi ekonomi di kalangan segelintir orang dalam masyarakat dan tidak menghendaki adanya pertanda pandangan populis di dalam masyarakat. Kedua, adalah pendapat yang memandang bahwa unit usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap menyeleweng dari UUD 1945. Pendapat inilah yang selama ini hidup dalam pemikiran para birokrat pemerintahan. Ketiga, adalah pendapat yang menganggap bahwa koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan menjadi unit usaha yang kukuh dalam rangka proses demokratisasi ekonomi. Pendapat ini mendasarkan pada semangat dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang ingin mengubah hubungan dialektik ekonomi, dari dialektik kolonial pada jaman penjajahan kepada dialektik hubungan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai kekuatan ekonomi.
Diera kemerdekaan dewasa ini arah pengembangan koperasi mengkrucut dengan lahirnya produk hukum Undang-Undang No 25 tahun 1992. dalam UU tersebut disebutkan bahwa Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatanya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Sebagia badan usaha maka “mencari keuntungan” menjadi misi yang harus dijalankan, turunanya adalah bahwa pengurus sebagai mandataris RAT perlu mengembangkan suatu ide pengembangan usaha yang tentunya relevan dengan kepentingan dan kebutuhan anggota. Usaha yang relevan dengan kepentingan dan kebutuhan anggota wajib menjadi titik tekan yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh pengurus, satu hal pokok yang perlu diingat pengurus adalah bahwa anggota bergabung dalam koperasi karena adanya kesamaan kebutuhan atau kesamaan kepentingan, sehingga orientasi pemenuhan kebutuhan anggota perlu menjadi misi utama dalam proses pelayanan yang diadakan oleh koperasi.

Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang : 1 ) luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota, 2) berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota, 3) berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota, 4) mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis. Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain.
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
Keuntungan secara ekonomi yakni 1) Peningkatan Skala usaha, 2) Pemasaran, 3) Pengadaan barang dan Jasa, 4) Fasilitas Kredit dan 5) Pembagian SHU, yang menjadi keharusan untuk didapatkan bagi seseorang ketika bergabung menjadi anggota koperasi, perlu menjadi pertimbangan pengurus dalam melakukan arah pengembangan usaha koperasi.
D. MENGEMBANGKAN USAHA KOPERASI DALAM PRAKTEK: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :


1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, KOPTI yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, Koperasi Wanita di Surabaya dan KSP KODANUA yang berkembang dengan Simpan Pinjamnya dll. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank. Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan pernah kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut. Disinilah peran pemerintah semacam Dinas Koperasi dan Peran Organisasi gerakan koperasi semisal DEKOPIN untuk bertindak sebagai fasilitator dalam mengadakan program pendidikan dan pelatihan managerial serta program pembinaan dan pendampingan berkelanjutan.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.
Adanya Jaringan Usaha Koperasi (JUK) dilingkungan DEKOPIN, DEKOPINWIL dan DEKOPINDA diharapkan dapat menjadi fasilitator bagi terbentuknya ikatan kerjasama berkelanjutan, khususnya kerjasama bisnis antar koperasi, umumnya dengan pelaku bisnis lainya.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan. Di sisi lain penegasan Core Busnisess yang jelas dari koperasi itu sendiri perlu menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan, hal ini akan berdampak pada orientasi pengembangan usaha dan tingkat profesionalisme kerja serta pengembangan jaringan usaha.
Pembentukan Bank BPR Koperasi Jabar yang kini sedang mengembangkan diri (walau tidak sekokoh Bank lain pada umumnya) sangat perlu didukung oleh seluruh insan perkoperasin, institusi ini diharapkan dapat membantu permasalahan permodalan yang seringkali menjadi batu sandungan kebanyakan koperasi. Demikian halnya juga dengan dikembangkanya Koperasi Penjamin Kredit. Kegiatan-kegiatan pameran, gelar produk, temu bisnis dan sejenisnya yang difasilitasi oleh Dinas KUKM, baik di dalam negeri maupun di luar negeri cukup posistif untuk ditingkatkan volumenya, hal ini dalam rangka membantu mengatasi permasalahan kesulitas dalam mengakses pasar potensial. Selanjutnya kegiatan-kegitan peningkatan kemampuan managerial bagi pengurus dan pengelola koperasi yang sudah banyak dilakukan dan menjadi program rutin tahunan Dinas KUKM, hendaknya dirumuskan secara terpadu dan berkelanjutan, serta berorientasi program bukan projek.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berita negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995), berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘sreg’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri, bahkan ada kesan berjalan masing-masing. DEKOPIN yang diposisikan sebagai organisasi tunggal gerakann koperasi perlu betul-betul menjadi wadah penampung aspirasi koperasi, secara konstitusi Adi Sasono sebagai Ketua Umum yang baru terpilih telah mencoba merubah AD/ART DEKOPIN dan mengarahkan DEKOPIN sebagai lembaga penampung dan penyalur aspirasi perkoperasian di Indonesia.

9. Memperkuat Sinergitas dengan stakeholder
Khususnya dengan BUMN dan BUMS, MOU DEKOPIN dengan beberapa BUMN yang dilakukan dewasa ini jangan hanya kesepakatan di kalangan elit, melainkan perlu dijabarkan sampai adanya kerjasama bisnis yanga nyata antara koperasi primer dengan perwakilan BUMN yang bersangkutan, seringkali kesepakatan-kesepakatan semacam itu tidak terjabarkan sampai tingkat pengelola teknis (sebatas kesepakatan dikalangan elit yang berbau politis) yang akhirnya tidak memberikan andil besar bagi penuntasan masalah-masalah yang seringkali dirasakan oleh kebanyakan koperasi.

IMTAQ

STRATEGI PEMBINAAN NILAI IMTAQ GURU
DALAM MENJALANI TANTANGAN GLOBAL
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

A. PENDAHULUAN
Dinamika perkembangan dunia pendidikan nasional dewasa ini diwarnai oleh lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU ini lahir dengan pertimbangan bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menuju masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dalam rangka menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehiudpan lokal, nasional dan global perlu dilkukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Guru dan Dosen mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan. Dalam UU tersebut guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, dengan ditegaskannya sebagai pekerjaan profesional otomtis menuntut adanya prinsip profesionalitas yang selayaknya dijungjung tinggi dan dipraktekan oleh para guru, seorang guru hendaknya memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi yang jelas.
Faktor kompetensi sebagai seorang pendidik sangatlah penting, terlebih objek yang menjadi sasaran pekerjaanya adalah peserta didik yang diibaratkan kertas putih, gurulah yang akan menentukan apa yang hendak dituangkan dalam kertas tersebut, berkualitas tidanya tergantung kepada sejauhmana guru bisa menempatkan dirinya sebagai pendidik yang memiliki kapasitas dan kompetensi profesional.
Dalam tataran normatif betapa mulia dan strategisnya kedudukan guru, namun dalam realitas dilapangan tidak sedikit guru yang tidak mencerminkan peran strategisnya sebagai guru, bahkan ia jauh dari garis jati diri keguruan, penyimpangan-penyimpangan moral, tampilan kepribadian yang tidak sewajarnya, landasan penguasaan norma-norma agama yang lemah dan sejumlah patologi sosial lainya tidak jarang kita temukan, banyak faktor tentunya yang mempengaruhi hal tersebut terjadi, yang jelas jika dibiarkan hal ini dapat memberikan ekses buruk bagi dunia pendidikan, khususnya terhadap kualitas lulusan dan output pendidikan. Proses pendidikan akan jauh dari tujuanya, sehingga menjadi sangat urgen untuk dilakukanya sebuah upaya strategis dalam mempersiapkan sosok guru yang mampu menjadi panutan dan melaksanakan profesinya secara profesional.

B. TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB GURU
Guru memiliki ragam tugas, baik yang terkait dengan tugas kedinasan maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Apabila dikelompokan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bentuk profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Guru merupakan profesi atau pekerjaan yang memerlukan keahilian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataanya tidak sedikit dilakukan oleh orang diluar kependidikan, sehingga oleh karenya jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Adpaun tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apa pun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila dalam penampilanya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajaranya itu kepada para siswanya, para siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik.
Guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor condisio sine quanon yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih-lebih pada era kontemporer ini. Keberadaan guru bagi suatu bangsa sangatlah penting, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai.
Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.
Adapun dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, berdasarkan UU No 14 tahun 2005 pasal 20, maka guru berkewajiban untuk :
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadmeik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetauan, teknologi dan seni
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
d. Menjungjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa

Sedangkan peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, superpisor, motivator, dan konselor. Yang akan dikemukakan di sini adalah peranan yang dianggap paling dominan sebagaimana dikemukakan oleh Usman (2001:9-11) sebagai berikut.
1. Guru Sebagai Demonstrator
Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilkinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti bahwa guru harus belajar terus-menerus. Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnnya sebagai pengajar dan demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya apa yang disampaiknnya itu betul-betul dimiliki oleh anak didik.
Seorang guru juga hendaknya mampu memahami kurikulum, dan dia sendiri sebagai sumber belajar terampil dalam memberikan informasi kepada kelas. Sebagai pengajar ia pun harus membantu perkembangan anak didik untuk dapat menerima, memahami, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu guru hendaknya mampu memotivasi siswa untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan. Akhirnya seorang guru dapat memainkan peranannya sebagai pengajar dengan baik bila ia menguasai dan mampu melaksanakan keterampilan-keterampilan mengajar yang dibahas pada bab selanjutnya.

2. Guru Sebagai Pengelola Kelas
Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan.
Kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam kelas tergantung pada banyak faktor, antara lain adalah guru, hubungan pribadi antara siswa di dalam kelas serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas.Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik. Sedangkan tujuan khusunya ialah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Sebagai manager guru bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan proses-proses intelektual dan sosial di dalam kelasnya. Dengan demikian guru tidak hanya memungkinkan siswa belajar, tetapi juga mengembangkan kebiasaan bekerja dan belajar secara efektif di kalangan siswa.Tanggung jawab yang lain sebagai manager yang penting bagi guru ialah membimbing pengalaman-pengalaman siswa sehari-hari ke arah Self Directerd Behavior. Salah satu menagemen kelas yang baik adalah menyediakan kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungannya para guru sehingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri. Siswa harus belajar melakukan self control dan self activity melalui proses bertahap. Sebagai manager guru hendaknya mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif serta efisien dengan hasil optimal. Sebagai manager lingkungan belajar, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar dan teori perkembnagan sehingga kemungkinan untuk menciptakan situasi belajar-mengajar yang menimbulkan kegiatan belajar pada siswa akan mudah dilaksanakan dan sekaligus memudahkan pencapaian tujuan yang diharapkan.

3. Guru Sebagai Mediator dan Fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian media pendidikan merupakn dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Sebagai mediator guru pun menjadi perantara dalam hubungan antar manusia. Untuk keperluan itu guru harus terampil mempergunakan pengetahuan tentang bagaimana yang berinteraksi dan berkomunikasi. Tujuannya agar guru dapat menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Dalam hal ini ada tiga macam kjegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik, mengembangkan gaya interaksi pribadi, dan menumbuhkan hubungan yang positif dengan para siswa.
Sebagai fasilitator, guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, atau pun surat kabar.

4. Guru Sebagai Evaluator
Dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.
Dengan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode belajar. Tujuan lain dari penilaian diantaranya ialah untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan penilaian guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya, jika dibandingkan dengan teman-temannya.
Dengan menelaah pencapaian tujuan pelajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan, atau sebaliknya. Jadi, jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.
Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feedback) terhadap proses belajar-mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar-mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus-menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

5. Peran Guru dalam Pengadministrasian
Dalam hubungannya dengan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai berikut.
a. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilaian kegiatan-kegiatan pendidikan. Hal ini berarti guru turut serta memikirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta nilainya.
b. Wakil masyarakat yang berarti dalam lingkungan sekolah, guru menjadi anggota suatu masyarakat. Guru harus mencerminkan suasana dan kemauan masyarakat dalam arti yang baik.
c. Orang yang ahli dalam mata pelajaran. Guru bertanggung jawab untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi muda yang berupa pengetahuan.
d. Penegak disiplin, guru harus menjaga agar tercapai suatu disiplin.
e. Pelaksana administrasi pendidikan, di samping menjadi pengajar, guru pun bertanggung jawab akan kelancaran jalannya pendidikan dan ia harus mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi.
f. Pemimpin generasi muda, masa depan generasi muda terletak di tangan guru. Guru berperan sebagai pemimpin mereka dalam mempersiapkan diri untuk anggota masyarakat yang dewasa.
g. Penerjemah kepada masyarakat, artinya guru berperan untuk menyampaikan segala perkembangan kemajuan dunia sekitar kepada masyarakat, khususnya masalah-masalah pendidikan.

6. Peran Guru Secara Pribadi
Dilihat dari segi dirinya sendiri (self oriental), seorang guru harus berperan sebagai berikut.
a. Petugas sosial, yaitu seorang yang harus membantu untuk kepentingan masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan masyarakat guru senantiasa merupakan petugas-petugas yang dapat dipercaya untuk berpartisipasi di dalamnya.
b. Pelajar dan ilmuwan, yaitu senantiasa terus menerus menuntut ilmu pengetahuan. Dengan berbagai cara setiap saat guru senantiasa belajar untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Orang tua, yaitu mewakili orang tua murid di sekolah dalam pendidikan anaknya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan sesudah keluarga, sehingga dalam arti luas sekolah merupakan keluarga, guru berperan sebagai orang tua bagi siswa-siswanya.
d. Teladan, yaitu senantiasa menjadi teladan yang baik untuk siswa. Guru menjadi ukuran norma-norma tingkah laku dimata siswa.
e. Pencari keamanan, yaitu yang senantiasa mencarikan rasa aman bagi siswa. Guru menjadi tempat berlindung bagi siswa-siswa untuk memperoleh rasa aman dan puas di dalamnya.

7. Peran Guru Secara Psikologis
Peran guru secara psikologis, guru dipandang sebagai berikut :
a. Ahli psikologi pendidikan, yaitu petugas psikologi pendidikan, yang melaksanakan tugasnya atas dasar prinsip-prinsip psikologi.
b. Seniman dalam hubungan antarmanusia (artist in human relation), yaitu orang yang mampu membuat hubungan antarmanusia untuk tujuan tertentu, dengan menggunakan teknik tertentu, khususnya dalam kegiatan pendidikan.
c. Pembentuk kelompok sebagai jalan atau alat dalam pendidikan.
d. Catalytic agent, yaitu orang yang mempunyai pengaruh dalam menimbulkan pembaharuan. Sering pula peranan ini disebut sebagai inovator (pembaharu).
e. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker) yang bertanggung jawab terhadap pembinaan kesehatan mental khususnya kesehatan mental siswa (Dr. Moh. Surya, Dr.Rochman Natawidjaja, 1994 : 6-7).

C. KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU
Istilah kompetensi sebenarnya memiliki banyak makna diantaranya kompetensi dapat diartikan sebagai gambaran hakikat kualitatif dari perilaku yang tampak sangat berarti. Competency as a rational ferformance wich satisfactorily meets the objective for a desired condition (Charles E. Johnson, 1974). Kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. The state of legally competent or qualified (Mc. Leod 1989).
Adapun kompetensi guru (teacher competency) the ability of a rteacher to responsibibly ferform has or her duties appropiatelly. Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksankan profesi keguruannya. Sedangkan istilah “profesional” yang berarti a vocation and wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its applications to the of other or in the practice af an art found it.
Kata profesional berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak adpat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana,1998).
Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan teraltih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Agus F Tamyong, 1987)
Sebagai pekerjaan profesional, maka profesi guru memiliki beberapa persyaratan khusus sebagai berikut :
1. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakanya.
5. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan
(Drs.Moh Ali, 1985)
Adapun jenis kompetensi yang hendaknya dimiliki oleh seorang guru adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi Pribadi, seperti
a. Mengembangkan kepribadian
b. Berinteraksi dan berkomunikasi
c. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
d. Melaksanakan administrasi sekolah
e. Melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
2. Kompetensi profesional, seperti :
a. Menguasai landasan kependidikan
b. Menguasai bahan pengajaran
c. Menyusun program pengajaran
d. Melaksanakan program pengajaran
e. Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan

Guru sebagai pekerjaan profesional juga perlu mengacu kepada prinsip profesionalitas guru yang telah ditetapkan dalam UU No 14 tahun 2005 bab III pasal 7 sebagai berikut :
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
2. Memiliki komitment untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwanaan dan akhlak mulia
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
5. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai prestasi kerja
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

D. URGENSI PENDEKATAN IMTAQ DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI GURU
Sistem pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual (IMTAQ), sudah saatnya kita meninggalkan sistem pendidikan yang sudah lama dipraktekan selama ini yang cenderung semi sekuler, mata pelajaran agama tidak menjadi bagian yang penting, hal ini terbukti dengan dibatasinya alokasi waktu mata pelajaran agama (proporsinya tidak sebanding dengan ilmu lainya) dan khasanah agama tidak menjadi pondasi keilmuan dari mata pelajaran lainya, dalam prakteknya seolah adanya dikotomi paradigma antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum.
Sistem pendidikan yang berbasis IMTAQ dalam pengertian penulis adalah sistem pendidikan dimana semua mata pelajaran dilandasi oleh khasanah ilmu agama sebagai sumber nilai illahiah yang universal dan komprehenship (kurikulum berbasis IMTAQ) disertai pembentukan corporate culture di semua lingkungan /lembaga pendidikan yang bernuansa religus, selain educatif dan ilmiah. Untuk bisa mewujudkanya tentunya perlu adanya daya dukung yang utuh dari seluruh stakeholder pendidikan, dalam sekala mikro (pelakasanaan di lingkungan lembaga pendidikan/sekolah), hal tersebut bisa diwujudkan dengan didukung oleh faktor pendukung utama yang memadai, dalam hal ini SDM sekolah, dimana kepala sekolah dan komite sekolah sebagai motornya harus memiliki kompetensi yang memadai, komitmen yang kuat, ketauladanan dalam memimpin dan keistiqomahan dalam sikap dan prilaku yang terwujud dalam segala bentuk kebijakanya (4K).
Sedangkan dalam skala makro, terwujudnya sistem pendidikan berbasis IMTAQ akan bisa terwujud apabila secara yuridis diperkuat dengan diundangkanya sistem ini oleh Legislatif serta di dukung oleh faktor anggaran pendidikan yang memadai.
Terwujudnya sistem pendidikan berbasis IMTAQ setidaknya bisa menjadi solusi jangka panjang atas problematika ummat dewasa ini, khususnya yang terkait dengan akhlak generasi muda (remaja) sekarang, kita ketahui bahwa remaja (se-usia sekolah) sekarang sudah banyak terpengaruh oleh budaya barat, penjajahan ala barat melalui food, fation dan fun serta gerakan dakwah melalui tontotan di televisi yang banyak mengajarkan gaya hidup sekuler sudah banyak memakan korban.
Konsep iman dan takwa dalam Islam bisa dipandang dari sudut teologis-religi dan sosial-humanis. Konsep teologis keimanan dikenal dengan konsep tauhid yang sifatnya doktriner, yaitu kepercayaan tunggal terhadap keesaan Allah SWT. Menutut Syekh Mahmud Syaltout (1984) unsur pertama dalam keimanan adalah mempercayai wujud dan wahdaniyat Allah dalam menciptakan, mengurus, dan mengatur segala urusan. Oleh karena itu, keimanan ini memiliki makna sosial yang dalam istilah M. Amin Rais sebagai “tauhid sosial”. Istilah ini tidak lain menggambarkan sebuah kondisi prilaku yang sesuai dengan ajaran tauhid (keimanan). Konsep “tauhid sosial’ ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dalam bahasa agama disebut amal shaleh (sejumlah perbuatan baik yang sesuai aturan agama).
Istilah takwa sekurangnya disebutkan pada 15 tempat dalam Al Qur’an (Ali Audah, 1991), belum termasuk bentuk-bentuk lainnya. Dalam telaah akar kata, istilah takwa memiliki pengertian melindungi diri (QS Ali Imran, 3:28). Pengertian ini memiliki pengertian yang sama dengan makna iman dan islam. Prof. Izutzu, sebagaimana ditulis Fazlur Rahman (1990), seorang neomodernisme, konsep takwa di atas dijadikan landasan berpikir untuk menyatakan bahwa orang Arab pra-Islam merupakan masyarakat yang congkak dan sombong. Maka, dengan datangnya Al Qur’an dengan konsep takwa, musnahlah semua kesombongan dan kecongkakkan tersebut.
Fazlur Rahman (1990) menjelaskan istilah takwa dalam dua dimensi. Pertama, dalam konteks Islam dan iman, takwa merupakan perpaduan keduanya, baik antara keimanan maupun penyerahan diri. Al Qur’an menyebut hal itu di saat orang-orang memperebutkan kiblat (arah shalat) ketika Allah memutuskan untuk menghadap ke Masjid al Haram (QS. al Baqarah, 2:277). Kedua, takwa merupakan idealitas yang harus dituju, namun pada sebagian besarnya, takwa hanya bisa dicapai pada batas tertentu saja (QS. al Maidah, 5:8).
Deskripsi iman dan takwa di atas hanyalah memperjelas bahwa pentingnya pendidikan dalam konteks keislaman dan moralitas adalah terbinanya hubungan vertikal di samping secara manusiawi dan sosial. Maka sebuah konsep pendidikan atau pembinaan yang dilandasi keimanan dan ketakwaan, bukan hanya menghasilkan output yang memiliki tanggung jawab sosial (pribadi, masyarakat, bangsa) namun juga memiliki tanggung jawab moral (kepada Tuhan).
Konsep pendidikan berbasis nilai-nilai agama atau iman dan takwa (IMTAQ) merupakan derivasi dari visi pendidikan Jawa Barat sekaligus sebagai bagian dari kegiatan preventif dan kuratif terhadap fenomena saat ini dan antisipasi masa mendatang. Disadari bahwa perkembangan dunia global bukan hanya menghasilkan produktivitas manusia dalam mempermudah cara hidupnya, namun telah berakibat buruk terhadap pola dan tata hubungan kemanusiaan. Misalnya kehadirian televisi di satu sisi telah memberi nilai tambah informasi dan hiburan kepada masyarakat, namun tayangan televisi telah pula mendorong tumbuhnya tindakan destruktif di masyarakat. Bahkan dari berbagai kemajuan muncul dekadensi moral yang mengglobal juga saat ini.
Menurut Zakiah Darajat (1973:12) kemerosotan moral (dekadensi moral) terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari sisi ekonomi, sosial dan politik.
3. Pendidikan moral tidak terlaksana sebagaimana mestinya, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat.
4. Suasana rumah tangga yang kurang harmonis.
5. Diperkenalkannya secara populer berbagai obat dan alat anti kelamin.
6. Banyaknya tulisan, gambar, siaran, kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar tuntunan moral.
7. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dengan cara yang baik, dan yang membawa pada pembinaan moral.
8. Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda.
Dalam temuan penelitian terhadap masyarakat Barat, dikemukakan bahwa akibat samping dari gaya hidup modern adalah munculnya berbagai problem sosial yang cukup kompleks, seperti (a) keadaan fisik dan psikis; (b) kehidupan yang serba rumit; (c) kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan; (d) makin tidak manusiawinya hubungan antarindividu; (e) rasa terasing dari anggota keluarga dan anggota masyarakat lainnya; (f) renggangnya hubungan tali persaudaraan; (g) terjadinya penyimpangan moral dan sistem sosial dan (h) hilangnya identitas diri (Rusdi Muslim, Suara Pembaruan, 9 Oktober 1993).
Gejala yang paling mengkhawatirkan dari dekadensi modal adalah tindakan destruktif generasi muda, termasuk pelajar. Beberapa tindakan penyimpangan tersebut berupa tindakan kekerasan dan penyimpangan prilaku seksual. Di kota-kota besar, bersamaan dengan mengglobalnya budaya, generasi muda semakin rentan terhadap nilai, moral, etika dan agama.
Majalah Time pernah mengungkapkan masalah aborsi sebagai berikut:
Negara Remaja yang Melakukan Aborsi
Perancis 180 dari 450
Inggris 175 dari 450
Kanada 180 dari 450
Swedia 210 dari 320
Belanda 50 dari 150

Menurut Dadang Hawari (Hikmah, 1994) sekitar 7 dari 10 wanita di Barat melakukan seks bebas dan 8 dari 10 laki-laki melakukan hal yang sama. Sekitar 2,5 sampai 5 juta di antara mereka menderita sakit kelamin. Kemudian 1 dari 10 wanita yang melakukan seks bebas hamil dan sebanyak 125.000 wanita Barat melakukan prostitusi.
Fenomena lain yang sangat memprihatinkan adalah 80% dari 800 remaja kota besar di Indonesia, sebagaimana dijelaskan Sarlito W. Santoso, telah melakukan hubungan seksual dengan pacar mereka. Tidak hanya itu, sebagai 42% dari 100 responden telah terbiasa melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Kenyataan ini bukan hanya menjadi komoditas isu sosial yang menjadi wacana, namun hendaknya menyadarkan kita bahwa pendidikan kita belum cukup mampu membentengi generasi muda (remaja) dari prilaku-prilaku destruktif yang mereka konsumsi dari berbagai sumber informasi. Pendidikan harus diarahkan pada pembinaan iman dan takwa atau moral pelajar sehingga pelajar memiliki tanggung jawab terhadap masa depan dirinya, bangsa dan negara.
Dalam konteks ini, pendidikan agama yang jumlah jamnya terbatas dengan SDM guru yang terbatas juga tidak cukup mampu menghalagi globalisasi prilaku tersebut. Perlu ada kesadaran penuh dari semua komponen pendidikan, termasuk birokrasi pendidikan. Program yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan sangat diperlukan oleh para pelajar dalam membentengi dirinya.
Di sekolah unsur yang paling dominan dalam pembinaan moral adalah guru sebagai tenaga pendidik. Masalah disiplin menjadi persoalan yang dikhawatirkan guru, terutama guru baru (William van Till, 1971:457).
Untuk mewujudkan konsep pendidikan yang berlandaskan pada peningkatan iman dan taqwa peserta didik, maka guru memegang peran central dan strategis, upaya penciptaan sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual (IMTAQ), perlu dimulai dengan pembentukan sosok guru yang kaffah dan menjadi contoh bagi lingkunganya, sehingga menjadi sangat urgen untuk adanya strategi atau pola pembinaan berkelanjutan terhadap nilai-nilai IMTAQ Guru dewasa ini.

E. STRATEGI PENINGKATAN IMTAQ GURU
Menurut hemat penulis, ada beberapa sasaran utama yang perlu menjadi perhatian sebagai target akhir dari adanya pola pembinaan IMTAQ Guru, sasaran tersebut diantaranya sbb :
1. Guru dapat memahami konsep Tauhid yang benar, konsep tauhid merupakan pondasi yang akan mempengaruhi paradigma berpikir seseorang, penanaman konsep tauhid yang benar bagi para guru sangat urgen, terlebih peran strategis dalam proses pembentukan generasi penentu masa depan agama dan bangsa. Pemahaman tauhid yang benar akan menjadi filter bagi para guru dalam menghadapi berbagai pergeseran nilai dan tentunya berdampak kepada proses pendidikan yang ia lakukan terhadap peserta didiknya. Pemahaman yang benar tentang konsep tauhid akan berpengaruh pula terhadap cara Ia dalam memaknai pekerjaan yang Ia lakukan.
2. Guru dapat memahami Pedoman Hidup Hakiki secara kaffah, yakni Al Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan utama, hal ini bukan hanya ditujukan bagi guru muslim, melainkan bagi keseluruhan guru. Kita ketahui dan yakini bahwa Al Qur’an bersifat universal dan komprehenship, hal ini perlu ditransformasikan kepada keseluruhan guru yang terlibat dalam proses pendidikan.
3. Guru dapat memahami Al Hadist secara benar dan menyeluruh. Al Hadist merupakan sumber nilai yang kedua setelah Al qur’an, hal ini perlu menjadi rujukan yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan segala perangkat pendidikan. Guru perlu mengkaji dan memahami bagaimana Rasulullah bersikap, berucap dan berprilaku sehingga Ia dapat menjadi sosok tauladan bagi peserta didiknya, keteladan tersebut berangkat dari yang bersifat sederhana seperti keteladan dalam berpakaian, berbicara, bergaul sampai keteladan dalam beribadah. Pengetahuan guru secara kaffah terhadap prilaku Rasulullah sebagai pendidik, pemimpin dan sebagainya akan menjadi sumber nilai tersendiri dan menjadi nilai tambah kemuliaan sosok seorang guru.
4. Terlahirnya semangat Silaturahmi dari para Guru kepada kaum Ilmuwan. Kebiasaan silaturahmi dengan para ilmuwan sangat penting dilakukan oleh para guru, hal ini dalam rangka meningkatkan atau mengembangkan kompetensi pribadi dan kompetensi profesionalnya, sehingga ilmu yang dimilikinya senantiasa bertambah dan aktual serta keterampilan dalam melakukan proses pendidikanya senantiasa meningkat, hal ini akan berdampak kepada kapasitas informasi atau ilmu yang ditransformasikanya kepada peserta didik.
5. Lahirnya kebiasaan untuk berdiskusi agama di lingkungan tempat Guru bekerja, kebiasaan ini sangat posistif dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan dan pengetahuan guru dalam bidang keagamaan yang akan berdampak kepada pelurusan pandangannya terhadap makna profesi yang ia kerjakan, makna bekerja sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt.
6. Lahirnya sikap yang santun dalam berinteraksi dengan lingkuganya, sasaran dari proses pendidikan dalam konsep kurikulum berbasis kompetensi tidak hanya aspek kognitif siswa saja melainkan aspek afektif dan psikomotor, khusus terkait dengan aspek afektif tentunya perlu dibangun oleh semangat ketauladanan dari guru, sikap yang diharapkan muncul dari siswa selayaknya terlebih dahulu dimunculkan oleh guru dalam interkasi keseharinya.
7. Lahirnya kebiasaan yang istiqomah untuk beramal saleh, puncak pemahan terhadap ilmu dari seseorang adalah terletak pada amal saleh yang ia kerjakan.
8. Meningkatknya tanggungjawab dalam pekerjaan, ketika pekerjaan dilandasi oleh tauhid yang lurus dan pemahaman Al quran serta Al hadist yang benar, maka yang lahir adalah rasa tanggungjawab terhadap pekerjaan yang tinggi, wujudnya adalah ia senantiasa meningkatkan kompetensi pribadi dan kompetensi profesionalnya agar pekerjaan dapat dilakukan secara maksimal, karena ia sadar betul bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukanya hanya mengandung konsekuensi di dunia melainkan konsekuensi akhirat.

Untuk mencapai sasran tersebut terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan, diantaranya sbb :
1. Pendidikan dan Pelatihan ESQ bagi guru.
ESQ (Emotional Spiritual Quetiont), merupakan istilah yang menunjukkan adanya perimbangan kadar kendali manusia terhadap modal dirinya yaitu perasaan, pikiran, dan spiritual. Pengendalian hidup sangat dibutuhkan oleh setiap orang, termasuk Guru. Guru sebagai manusia biasanya makhluk yang tidak lepas dari lupa yang menggiring dirinya terlena. Tanpa ada bimbingan, pengarahan, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran, Guru bisa larut dan merugi di dunia dan di akhirat.
Mengapa harus dengan pendekatan ESQ, ESQ sebagaimana dikemukakan oleh Ary Ginanjar (2004) menjadi penting karena;
1. Jika pada diri seseorang IQ nya baik, tapi EQ dan SQ nya rendah maka orang tersebut akan buta hati.
2. Jika pada diri seseorang IQ nya baik, EQ nya baik sementara SQ nya rendah maka orang tersebut akan menjadi Diktator dan Koruptor.
3. Jika pada diri seseorang IQ nya rendah, EQ nya rendah dan SQ nya baik, maka orang tersebut akan menjadi Petapa.
4. Jika pada diri seseorang IQ nya baik, EQ nya baik dan SQ nya baik maka orang tersebut akan menjadi manusia paripurna ESQ.

Seorang Guru yang memiliki ESQ pada dasarnya orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai religi dalam interaksi keseharianya baik interaksi secara vertical (antara dia dengan Allah/Habluminallah) maupun secara horizontal (Habluminnas dan Habluminal alam). Ketika setiap melangkah dan menghadapi permasalahan dunia senantiasa dikembalikan kepada Allah (berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan), menjadikan Allah sebagai pusat permohonan dan pusat pertimbangan serta pusat petunjuk maka sesuai dengan janji-Nya dalam Firman-Nya bahwa hati kita akan menjadi tenang dan tentram, serta nurani kita akan tajam sehingga informasi yang didengar ketika mau memutuskan untuk melangkah adalah informasi yang keluar dari hati nurani yang telah disinari oleh sinar petunjuk Sang Illahi. Kalau diilustrasikan dengan Bagan Meta Kecerdasan yang digambarkan oleh Ary Ginanjar dalam bukunya “ESQ Power”, ketika kita berorientasi kepada “Tauhid” , maka hasilnya adalah EQ, IQ dan SQ yang terintegrasi. Sederhananya ketika dinding tauhid sudah tersentuh, karena kita mengorientasikan segala masalah dan tantangan dengan nilai-nilai ketuhanan, maka tauhid akan mampu menstabilkan tekanan pada amygdale (system saraf emosi), sehingga emosi selalu terkendali. Pada saat inilah seseorang dikatakan memiliki EQ yang tinggi. Emosi yang tenang terkendali akan menghasilkan optimalisasi pada fungsi kerja God Spot serta akan mengeluarkan suara hati ilahiah dari dalam bilik persitrirahatannya. Suara-suara ilahiah itulah bisikan informasi maha penting yang mampu menghasilkan keputusan yang sesuai dengan hukum alam, sesuai dengan situasi yang ada, dan sesuai dengan garis orbit spiritual. Pada momentum inilah seseorang dikatakan memiliki kecerdasan spiritual (SQ) yang tinggi. Barulah dilanjutkan dengan mengambil langkah kongkret lainya, berupa perhitungan yang logis (IQ), sehingga intelektualitas bergerak pada manzilah, atau garis edar yang mengorbit kepada Allah Yang Esa (SQ), inilah yang dinamakan Meta Kecerdasan oleh Ary Ginanjar.
Ada beberapa karakteristik Seorang Guru yang berhasil dalam membangkitkan kecerdasan emosional dan spiritulanya, diantaranya :
a. Berubahnya dalam sikaf hidup
b. Tumbuh semangat hidup
c. Keteladanan dalam hidup
d. Meningkatnya kesalehan dan kepekaan sosial
e. Memiliki ahlak mulia
f. Senantiasa memelihara dan meningkatkan ketakwaan kepadaNya secara istiqomah
g. Pada akhirnya, orang tersebut akan menjadi manusia paripurna ESQ.
h. Pribadi Rasulullah merupakan gambaran kongkrit atau tauladan nyata manusia parpurna ESQ,



2. Pembentukan Cuorporate Culture dilingkungan sekolah yang mendukung peningkatan kualitas Iman dan Taqwa Guru, diantaranya melalui :
a. Penataan sarana fisik sekolah yang mendukung proses pembinaan Iman dan Taqwa Guru.
b. Pendirian sarana Ibadah yang memadai
c. Membiasakan membaca al quran/tadarus setiap mengawali PBM
d. Membiasakan memperdengarkan lantunan-lantunan Al qur’an setiap ketika akan masuk kelas, jam istirahat dan jam pulang melalui radio kelas.
e. Pembinaan Al quran dan Al Hadist secara rutin
f. Adanya pola pembinaan keagamaan guru secara terprogram dan terpola serta adanya Wakil Kepala yang secara khusus membidangi program pembinaan Iman dan Taqwa Guru dan Siswa.
g. Membiasakan menghubungkan setiap pembahasan disiplin ilmu tertentu dengan perspektif ilmu agama (AL qur’an dan Hadist)
h. Membiasakan shalat berjamaah.
i. Mengupayakan adanya kuliah dhuha dan kuliah tujuh menit setiap ba’da shalat dzuhur.
j. Dibiasakanya shalat jumat berjamaah di sekolah (Imam dan Khotib oleh Guru secara bergiliran) dan dibuatnya buletin jumatan serta adanya kajian keislaman setiap ba’da jumatan
k. Program keputrian bagi Guru perempuan
l. Membudayakan ucapan salam di lingkungan sekolah
m. Memberikan hukuman bagi siswa yang berbuat pelanggaran seperti kesiangan dengan hukuman hapalan Al qur’an.
n. Adanya program BP yang berbasis nilai-nilai Iman dan Taqwa
o. Membiasakan menghentikan semua aktifitas setiap tiba waktu shalat dan adanya petugas keamanan sekolah bagi siapapaun yang tidak mengerjakan shalat berjamaah.
p. Adanya ketauladanan (Personal Image) dan kontrol sosial dari kepala sekolah terhadap prilaku guru.
q. Adanya penataan yang tertib tentang tempat guru akhwat dan ikhwan
r. Dibuatkanya tata tertib kerja secara bersama (sebagai acuan dan alat kotrol) yang memperhatikan nilai-nilai IMTAQ.
s. Kajian rutin tentang dunia profesi keguruan dalam perspektif agama
t. Tablig akbar secara rutin
u. Pembinaan Tulis dan Baca Qur’an (TBQ) bagi Guru
v. Slogan-slogan motivasi di lingkungan sekolah
w. dan lain-lain



Rujukan :
Al quran Al Karim, Departemen Agama Republik Indonesia
Usman Moh Uzer,Drs.2001, Menjadi Guru Profesional, Bandung ; Rosda Karya
Kock Heinz, 1979, Saya Guru Yang Baik,Yogyakarta ; Yayasan Kanisius
UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen