Jumat, 10 April 2009

Kepala Sekolah

Enigma Kepala Sekolah
Oleh: Abu Hanifa

Ruang eklusif lantai dua di gedung tata usaha, itulah ruang kerja kepala sekolah yang tersimpan dalam memori Pak Dika. Tetapi, siang itu dia sejenak mengkerutkan dahi dengan raut muka penuh pertanyaan, ya…bagaimana tidak, ketika dia hendak menandatangankan perangkat administrasi guru yang biasa ia revisi setiap semester, ruang kepala sekolah yang selama ini dia kenal terkunci rapat dengan kesan sudah lama tidak ada orang yang pernah datang ke ruang tersebut. Selidik demi selidik, ternyata kepala sekolah selama ini sudah tidak ngantor lagi di ruang eklusifnya itu, beliau selalu ngantor di ruang belakang sekolah bekas rumah dinas kepala Tata Usaha (TU) yang sudah lima tahun tidak terisi, padahal Pak Dika mengenal bahwa rumah tersebut belakangan hanya dijadikan gudang arsip dan peralatan sekolah yang sudah tidak terpakai.
Lo,,,ko Pak Kepala lebih memilih ruang seperti itu daripada ruang eklusifnya? rumor yang berkembang ternyata beliau menenangkan diri dari kejaran para wartawan, pun dari konflik interes dengan para pegawai TU yang jumlahnya hampir setengah dari jumlah guru, pegawai TU di sekolah Pak Dika memang sangat gemuk, seperti TU-nya kantor Sekretaris Negara, bedanya pegawai TU di sekolah Pak Dika sebagian besar honorer titipan yang hilir mudik tanpa kerjaan yang jelas.
Akibat keputusan fenomenal kepala sekolah itu, akhirnya, setiap pak Dika dan guru lainnya, serta para aktivis ekskul memerlukan tanda tangan kepala sekolah, kini datanganya ke ruang belakang sekolah, ruang yang pantasnya menjadi gudang atau setidaknya hanya pantas dijadikan rumah dinas petugas kebersihan sekolah, sungguh menjadi enigma bagi keberjalanan fungsi-fungsi kepemimpinan kepala di sekolah Pak Dika ini,
Pak Dika berpikir, ketika kepala sekolah sudah hilang wibawanya dihadapan pegawai TU, pun dihadapan para guru, bagaimana mungkin fungsi-fungsi kepemimpinan itu bisa berjalan, Pelajaran pertama dari fenomena sang kepala adalah kematangan mental dan mumpuni dalam kepemimpinan diperlukan bagi guru yang menginginkan menjadi kepala sekolah, keterampilan dalam mengambil keputusan, menyikapi perbedaan, manajemen konflik, manajemen tim, keterpaduan antara kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual, siddik, amanah, fathonah, tablig, menjadi modal dasar bagi sosok kepala sekolah. Kompetensi akademik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial, juga menjadi modal dasar yang harus dimiliki oleh sosok sang kepala ideal.
Keajegan sikap ketika yakin dalam jalur kebenaran hendaknya melekat dalam sosok seorang pemimpin, konon tidak sedikit kepala sekolah di negeri ini yang kocar-kacir ketika di datangi wartawan, padahal ketika dia yakin bahwa sikap, kata, perbuatan dan keputusannya ajeg dalam jalur kebenaran, tidak perlu ada yang ditakuti. Walaupun tidak sedikit pula wartawan gadungan yang mencari nafkah dengan berperan sebagai “drakula” dihadapan kepala sekolah, kerjaanya menakut-nakuti kepala sekolah, padahal surat kabar perdananya pun tidak pernah diterbitkan dan tidak pernah terdaftar, baik di LIPPI maupun perpustakaan nasional, alias wartawan tanpa surat kabar.
Dengan raut muka memerah seperti merahnya apel new zeland, kepala sekolah yang sudah memasuki usia di atas lima puluh tahun itu memukul meja di ruang guru sambil berkata” kumaha ieu the.. ngalajar atuh,, sakitu tos bel titatadi, kumaha rek palinterna budak ari kieu caranamah”..di pojok ruang guru Pak Dika tersenyum simpul, pun guru yang ada, sebagian besar diam seribu bahasa, ada pula yang bergegas menuju kelas tanpa komentar. Sikap kepala sekolah demikian bukanlah sikap terbaik yang layak dimunculkan oleh sosok pemimpin, seberat apapun masalah yang dihadapai, seburuk apapun prilaku guru yang ada, sikap tersebut justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan sang kepala, lemahnya keteladanan dalam menyikapi permasalahan, dan lemahnya kecerdasan emosional sang kepala, akibatnya tidak menghasilkan kondisi yang lebih baik, melainkan lingkungan lebih bersikap antipati dan kontraproduktif dengan yang diidinginkan sang kepala.
Faktor usia bukan satu-satunya penentu kematangan seseorang dalam menghadapi permasalahan. Para eksekutor jabatan kepala sekolah, baiknya tidak terjebak oleh masalah muda atau tua, yang tua terkadang terlalu feodal dan konservatif, sehingga sulit mengadaptasikan perkembangan dan akhirnya laju organisasi tertatih-tatih ketinggalan oleh percepatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang terjadi, pun yang muda terkadang terlalu emosional dan kurang hati-hati dalam mengambil keputusan, yang terpenting adalah kematangan mental, keteladanan sikap, daya juang yang ekstra kokoh, kemauan untuk selalu belajar dan adaptive dengan perkembangan lingkungan, mengedepankan nilai-nilai idiologis dari pada pragmatis, selalu berdiri di atas kebenaran, dan lurusnya niat dalam mengemban amanah, itulah yang diperlukan bagi sosok sang kepala sekolah masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar