Gara-Gara Bank, Semangat Menjadi Terkelupas.
Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd
Di kursi lobby ruang guru, sekelompok guru sedang sibuknya berbagi cerita, topiknya cukup unik, apalagi kalau bukan tentang keberadaan Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka yang “dititipkan” di sebuah bank pemerintah, lo ko bisa? Ya..SK pengangkatan PNS, mereka jaminkan ke Bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.
Saya pinjam tiga puluh juta untuk beli kendaraan bermotor dan perabotan rumah tangga, demikian celoteh seorang guru, yang lainnya beralasan, pinjam uang untuk merehab rumah, adapula yang menggunakan uang untuk membeli tanah, membeli kebutuhan-kebutuhan pribadi seperti pakaian dan perhiasan, berwirausaha, biaya sekolah dan kuliah anaknya, biaya kuliah guru bersangkutan ke pascasarjana, dan sebagainya.
Sejenak tiba-tiba dahiku terenyuh, mendengar ungkapan seorang guru yang mengatakan bahwa “setelah pinjam ke bank, dan uangnya habis, rasanya mengajar menjadi malas, karena gaji saya habis dipakai nyicil utang ke bank, yang tersisa hanya cukup buat ongkos, ah…rasanya setiap awal bulan yang diterima hanya amplop berisi struk gaji dengan saldo yang jauh dari kebutuhan dan kwitansi tagihan dari bank semata, akibatnya ketika di kelaspun terkadang sangat sensitive, mudah marah, ringan tangan, dan kurang semangat untuk mengembangkan gaya mengajar,apalagi membuat media pembelajaran, malas, manfaatkan saja yang ada, untung ada LKS, jadi anak disuruh ngisi LKS saja…”. Ungkapan guru tersebut tampaknya mewakili sebagian guru lainnya, dengan tersenyum malu, guru lainnya meng”iya”kan. Walaupun memang tidak semua guru seperti itu.
Fenomena di atas, tampaknya menjadi hal yang perlu menjadi perhatian stakeholder pendidikan, apakah karena gaji guru yang kecil dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primernya, atau guru tersebut menginginkan kehidupan di luar batas kemampuannya, sehingga tanpa perencanaan keuangan yang matang, dan latah melihat rekannya pinjam ke bank, dengan serta merta dan penuh emosional, ia pun ikut-ikutan pinjam ke bank. Pada akhirnya, ia sendiri kedodoran dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Dalam perjalanannya, dengan desakan dari keluarga, kebutuhan keuangan untuk menyekolahkan anak, beban cicilan ke koperasi bekas pinjaman sebelumnya, istri yang menginginkan perhiasan dan pakaian baru, dan anak yang menginginkan hand phone terbaru, sementara kemampuannya tidak menjangkau semua itu, ujung-ujungnya ia menjadi malas dalam bekerja, tumpul kreativitasnya, dan sensitive emosionalnya. Alih-alih, akal dan hatinya tidak berfungsi dengan baik, ia menerobos jalan pintas dengan mengambil hak-hak orang lain. Jika sudah demikian, maka sulit memberikan tuntutan profesionalisme dalam bekerja, nilai-nilai profesionalisme berbenturan dengan nilai-nilai pragmatisme.
Belajar dari pengalaman, maka pelatihan tentang perencanaan keuangan keluarga seperti yang digembor-gemborkan oleh konsultan manajemen keuangan keluarga, Shafir Sinduk, Ahmad Ghozali, dkk, tampaknya menjadi penting untuk diberikan kepada guru. Demikian halnya dengan pelatihan tentang pola hidup ala Rasulullah yang senantiasa tawadhu, sederhana, dan tidak pernah hidup di luar batas kemampuannya.
Pengenalan biografi para sufi dan pahlawan terdahulu juga tampaknya perlu banyak di ekspos kepada guru, para pahlawan bekerja senantiasa istikomah, semangat bekerja tidak berombang ambing hanya karena sejumlah uang, karena mereka bekerja tulus, bekerja dianggapnya sebagai kenikmatan, bekerja dianggap sebagai bagian dari ibadah, uang bukan tujuan, uang bukan orientasi hidup, uang dan segala bentuk materi lainnya hanya amanah dari Allah yang akan dipertanggung jawabkannya kelak.
Jika uang dijadikan sebagai tujuan, maka derajat semangat kerja akan ditentukan oleh seberapa besar uang yang di dapat. Benar kata pujangga, keabadian cinta tergantung keabadian penyebabnya, jika cinta karena kecantikan, maka usia cinta tersebut akan sirna seiring dengan sirnanya kecantikan, jika cinta karena materi, maka usia cinta tersebut akan sirna seiring dengan habisnya materi. Oleh karenanya, cintalah karena Allah, maka cinta itu akan selalu abdi, karena Allah keberadaanya abadi, tiada awal dan tiada akhir. Bekerjalah karena Allah, karena Allah senantiasa ada dan abadi, serta tidak akan membiarkan seorang hamba yang menyerahkan diri secara total kepadanya, berada dalam kekurangan ketertinggalan.
Dalam mengajar, duhai para guru…., mengajarlah karena Allah, jangan mengajar karena uang semata, karena uang hanyalah benda mati yang akan terus berpindah-pindah, berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya, jika uang itu sudah di tangan kita, maka tidak akan lama lagi akan berpindah ke tangan orang lain, dengan cara diberikanlah, dibelanjakanlah atau ditabung. Oleh karenanya, uang jangan jadi tujuan, gaji jangan jadi ukuran tunggal penghargaan kerja, Allah tidak menilai kemuliaan seseorang berdasarkan banyak sedikitnya uang, melainkan ketakwaannya.
Meminjam uang ke bank akan menjadi baik jika diperuntukkan untuk hal-hal yang bernilai asset, bukan liabilitas, asset sifatnya berdaya guna dan produktif, sedangkan liabilitas sifatnya beban, konsumtif semata, dan tidak produktif. Buatlah perencanaan keuangan, susun skala prioritas kebutuhan yang memerlukan uang, ukur kemampuan keuangan yang ada, jika memang dibutuhkan pinjaman, pinjamlah secara proporsional, jangan membabi buta dan emosional dalam meminjam uang ke bank. Ingatlah bahwa utang bisa menjadi penghalang kelancaran kita menuju pintu surga!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar