Kamis, 05 Maret 2009

IMTAQ

STRATEGI PEMBINAAN NILAI IMTAQ GURU
DALAM MENJALANI TANTANGAN GLOBAL
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

A. PENDAHULUAN
Dinamika perkembangan dunia pendidikan nasional dewasa ini diwarnai oleh lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU ini lahir dengan pertimbangan bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menuju masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dalam rangka menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehiudpan lokal, nasional dan global perlu dilkukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Guru dan Dosen mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan. Dalam UU tersebut guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, dengan ditegaskannya sebagai pekerjaan profesional otomtis menuntut adanya prinsip profesionalitas yang selayaknya dijungjung tinggi dan dipraktekan oleh para guru, seorang guru hendaknya memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi yang jelas.
Faktor kompetensi sebagai seorang pendidik sangatlah penting, terlebih objek yang menjadi sasaran pekerjaanya adalah peserta didik yang diibaratkan kertas putih, gurulah yang akan menentukan apa yang hendak dituangkan dalam kertas tersebut, berkualitas tidanya tergantung kepada sejauhmana guru bisa menempatkan dirinya sebagai pendidik yang memiliki kapasitas dan kompetensi profesional.
Dalam tataran normatif betapa mulia dan strategisnya kedudukan guru, namun dalam realitas dilapangan tidak sedikit guru yang tidak mencerminkan peran strategisnya sebagai guru, bahkan ia jauh dari garis jati diri keguruan, penyimpangan-penyimpangan moral, tampilan kepribadian yang tidak sewajarnya, landasan penguasaan norma-norma agama yang lemah dan sejumlah patologi sosial lainya tidak jarang kita temukan, banyak faktor tentunya yang mempengaruhi hal tersebut terjadi, yang jelas jika dibiarkan hal ini dapat memberikan ekses buruk bagi dunia pendidikan, khususnya terhadap kualitas lulusan dan output pendidikan. Proses pendidikan akan jauh dari tujuanya, sehingga menjadi sangat urgen untuk dilakukanya sebuah upaya strategis dalam mempersiapkan sosok guru yang mampu menjadi panutan dan melaksanakan profesinya secara profesional.

B. TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB GURU
Guru memiliki ragam tugas, baik yang terkait dengan tugas kedinasan maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Apabila dikelompokan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bentuk profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Guru merupakan profesi atau pekerjaan yang memerlukan keahilian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataanya tidak sedikit dilakukan oleh orang diluar kependidikan, sehingga oleh karenya jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Adpaun tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apa pun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila dalam penampilanya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajaranya itu kepada para siswanya, para siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik.
Guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor condisio sine quanon yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih-lebih pada era kontemporer ini. Keberadaan guru bagi suatu bangsa sangatlah penting, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai.
Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.
Adapun dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, berdasarkan UU No 14 tahun 2005 pasal 20, maka guru berkewajiban untuk :
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadmeik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetauan, teknologi dan seni
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
d. Menjungjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa

Sedangkan peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, superpisor, motivator, dan konselor. Yang akan dikemukakan di sini adalah peranan yang dianggap paling dominan sebagaimana dikemukakan oleh Usman (2001:9-11) sebagai berikut.
1. Guru Sebagai Demonstrator
Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilkinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti bahwa guru harus belajar terus-menerus. Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnnya sebagai pengajar dan demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya apa yang disampaiknnya itu betul-betul dimiliki oleh anak didik.
Seorang guru juga hendaknya mampu memahami kurikulum, dan dia sendiri sebagai sumber belajar terampil dalam memberikan informasi kepada kelas. Sebagai pengajar ia pun harus membantu perkembangan anak didik untuk dapat menerima, memahami, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu guru hendaknya mampu memotivasi siswa untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan. Akhirnya seorang guru dapat memainkan peranannya sebagai pengajar dengan baik bila ia menguasai dan mampu melaksanakan keterampilan-keterampilan mengajar yang dibahas pada bab selanjutnya.

2. Guru Sebagai Pengelola Kelas
Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan.
Kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam kelas tergantung pada banyak faktor, antara lain adalah guru, hubungan pribadi antara siswa di dalam kelas serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas.Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik. Sedangkan tujuan khusunya ialah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Sebagai manager guru bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan proses-proses intelektual dan sosial di dalam kelasnya. Dengan demikian guru tidak hanya memungkinkan siswa belajar, tetapi juga mengembangkan kebiasaan bekerja dan belajar secara efektif di kalangan siswa.Tanggung jawab yang lain sebagai manager yang penting bagi guru ialah membimbing pengalaman-pengalaman siswa sehari-hari ke arah Self Directerd Behavior. Salah satu menagemen kelas yang baik adalah menyediakan kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungannya para guru sehingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri. Siswa harus belajar melakukan self control dan self activity melalui proses bertahap. Sebagai manager guru hendaknya mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif serta efisien dengan hasil optimal. Sebagai manager lingkungan belajar, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar dan teori perkembnagan sehingga kemungkinan untuk menciptakan situasi belajar-mengajar yang menimbulkan kegiatan belajar pada siswa akan mudah dilaksanakan dan sekaligus memudahkan pencapaian tujuan yang diharapkan.

3. Guru Sebagai Mediator dan Fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian media pendidikan merupakn dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Sebagai mediator guru pun menjadi perantara dalam hubungan antar manusia. Untuk keperluan itu guru harus terampil mempergunakan pengetahuan tentang bagaimana yang berinteraksi dan berkomunikasi. Tujuannya agar guru dapat menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Dalam hal ini ada tiga macam kjegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik, mengembangkan gaya interaksi pribadi, dan menumbuhkan hubungan yang positif dengan para siswa.
Sebagai fasilitator, guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, atau pun surat kabar.

4. Guru Sebagai Evaluator
Dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.
Dengan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode belajar. Tujuan lain dari penilaian diantaranya ialah untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan penilaian guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya, jika dibandingkan dengan teman-temannya.
Dengan menelaah pencapaian tujuan pelajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan, atau sebaliknya. Jadi, jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.
Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feedback) terhadap proses belajar-mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar-mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus-menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

5. Peran Guru dalam Pengadministrasian
Dalam hubungannya dengan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai berikut.
a. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilaian kegiatan-kegiatan pendidikan. Hal ini berarti guru turut serta memikirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta nilainya.
b. Wakil masyarakat yang berarti dalam lingkungan sekolah, guru menjadi anggota suatu masyarakat. Guru harus mencerminkan suasana dan kemauan masyarakat dalam arti yang baik.
c. Orang yang ahli dalam mata pelajaran. Guru bertanggung jawab untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi muda yang berupa pengetahuan.
d. Penegak disiplin, guru harus menjaga agar tercapai suatu disiplin.
e. Pelaksana administrasi pendidikan, di samping menjadi pengajar, guru pun bertanggung jawab akan kelancaran jalannya pendidikan dan ia harus mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi.
f. Pemimpin generasi muda, masa depan generasi muda terletak di tangan guru. Guru berperan sebagai pemimpin mereka dalam mempersiapkan diri untuk anggota masyarakat yang dewasa.
g. Penerjemah kepada masyarakat, artinya guru berperan untuk menyampaikan segala perkembangan kemajuan dunia sekitar kepada masyarakat, khususnya masalah-masalah pendidikan.

6. Peran Guru Secara Pribadi
Dilihat dari segi dirinya sendiri (self oriental), seorang guru harus berperan sebagai berikut.
a. Petugas sosial, yaitu seorang yang harus membantu untuk kepentingan masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan masyarakat guru senantiasa merupakan petugas-petugas yang dapat dipercaya untuk berpartisipasi di dalamnya.
b. Pelajar dan ilmuwan, yaitu senantiasa terus menerus menuntut ilmu pengetahuan. Dengan berbagai cara setiap saat guru senantiasa belajar untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Orang tua, yaitu mewakili orang tua murid di sekolah dalam pendidikan anaknya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan sesudah keluarga, sehingga dalam arti luas sekolah merupakan keluarga, guru berperan sebagai orang tua bagi siswa-siswanya.
d. Teladan, yaitu senantiasa menjadi teladan yang baik untuk siswa. Guru menjadi ukuran norma-norma tingkah laku dimata siswa.
e. Pencari keamanan, yaitu yang senantiasa mencarikan rasa aman bagi siswa. Guru menjadi tempat berlindung bagi siswa-siswa untuk memperoleh rasa aman dan puas di dalamnya.

7. Peran Guru Secara Psikologis
Peran guru secara psikologis, guru dipandang sebagai berikut :
a. Ahli psikologi pendidikan, yaitu petugas psikologi pendidikan, yang melaksanakan tugasnya atas dasar prinsip-prinsip psikologi.
b. Seniman dalam hubungan antarmanusia (artist in human relation), yaitu orang yang mampu membuat hubungan antarmanusia untuk tujuan tertentu, dengan menggunakan teknik tertentu, khususnya dalam kegiatan pendidikan.
c. Pembentuk kelompok sebagai jalan atau alat dalam pendidikan.
d. Catalytic agent, yaitu orang yang mempunyai pengaruh dalam menimbulkan pembaharuan. Sering pula peranan ini disebut sebagai inovator (pembaharu).
e. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker) yang bertanggung jawab terhadap pembinaan kesehatan mental khususnya kesehatan mental siswa (Dr. Moh. Surya, Dr.Rochman Natawidjaja, 1994 : 6-7).

C. KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU
Istilah kompetensi sebenarnya memiliki banyak makna diantaranya kompetensi dapat diartikan sebagai gambaran hakikat kualitatif dari perilaku yang tampak sangat berarti. Competency as a rational ferformance wich satisfactorily meets the objective for a desired condition (Charles E. Johnson, 1974). Kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. The state of legally competent or qualified (Mc. Leod 1989).
Adapun kompetensi guru (teacher competency) the ability of a rteacher to responsibibly ferform has or her duties appropiatelly. Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksankan profesi keguruannya. Sedangkan istilah “profesional” yang berarti a vocation and wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its applications to the of other or in the practice af an art found it.
Kata profesional berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak adpat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana,1998).
Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan teraltih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Agus F Tamyong, 1987)
Sebagai pekerjaan profesional, maka profesi guru memiliki beberapa persyaratan khusus sebagai berikut :
1. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakanya.
5. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan
(Drs.Moh Ali, 1985)
Adapun jenis kompetensi yang hendaknya dimiliki oleh seorang guru adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi Pribadi, seperti
a. Mengembangkan kepribadian
b. Berinteraksi dan berkomunikasi
c. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
d. Melaksanakan administrasi sekolah
e. Melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
2. Kompetensi profesional, seperti :
a. Menguasai landasan kependidikan
b. Menguasai bahan pengajaran
c. Menyusun program pengajaran
d. Melaksanakan program pengajaran
e. Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan

Guru sebagai pekerjaan profesional juga perlu mengacu kepada prinsip profesionalitas guru yang telah ditetapkan dalam UU No 14 tahun 2005 bab III pasal 7 sebagai berikut :
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
2. Memiliki komitment untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwanaan dan akhlak mulia
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
5. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai prestasi kerja
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

D. URGENSI PENDEKATAN IMTAQ DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI GURU
Sistem pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual (IMTAQ), sudah saatnya kita meninggalkan sistem pendidikan yang sudah lama dipraktekan selama ini yang cenderung semi sekuler, mata pelajaran agama tidak menjadi bagian yang penting, hal ini terbukti dengan dibatasinya alokasi waktu mata pelajaran agama (proporsinya tidak sebanding dengan ilmu lainya) dan khasanah agama tidak menjadi pondasi keilmuan dari mata pelajaran lainya, dalam prakteknya seolah adanya dikotomi paradigma antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum.
Sistem pendidikan yang berbasis IMTAQ dalam pengertian penulis adalah sistem pendidikan dimana semua mata pelajaran dilandasi oleh khasanah ilmu agama sebagai sumber nilai illahiah yang universal dan komprehenship (kurikulum berbasis IMTAQ) disertai pembentukan corporate culture di semua lingkungan /lembaga pendidikan yang bernuansa religus, selain educatif dan ilmiah. Untuk bisa mewujudkanya tentunya perlu adanya daya dukung yang utuh dari seluruh stakeholder pendidikan, dalam sekala mikro (pelakasanaan di lingkungan lembaga pendidikan/sekolah), hal tersebut bisa diwujudkan dengan didukung oleh faktor pendukung utama yang memadai, dalam hal ini SDM sekolah, dimana kepala sekolah dan komite sekolah sebagai motornya harus memiliki kompetensi yang memadai, komitmen yang kuat, ketauladanan dalam memimpin dan keistiqomahan dalam sikap dan prilaku yang terwujud dalam segala bentuk kebijakanya (4K).
Sedangkan dalam skala makro, terwujudnya sistem pendidikan berbasis IMTAQ akan bisa terwujud apabila secara yuridis diperkuat dengan diundangkanya sistem ini oleh Legislatif serta di dukung oleh faktor anggaran pendidikan yang memadai.
Terwujudnya sistem pendidikan berbasis IMTAQ setidaknya bisa menjadi solusi jangka panjang atas problematika ummat dewasa ini, khususnya yang terkait dengan akhlak generasi muda (remaja) sekarang, kita ketahui bahwa remaja (se-usia sekolah) sekarang sudah banyak terpengaruh oleh budaya barat, penjajahan ala barat melalui food, fation dan fun serta gerakan dakwah melalui tontotan di televisi yang banyak mengajarkan gaya hidup sekuler sudah banyak memakan korban.
Konsep iman dan takwa dalam Islam bisa dipandang dari sudut teologis-religi dan sosial-humanis. Konsep teologis keimanan dikenal dengan konsep tauhid yang sifatnya doktriner, yaitu kepercayaan tunggal terhadap keesaan Allah SWT. Menutut Syekh Mahmud Syaltout (1984) unsur pertama dalam keimanan adalah mempercayai wujud dan wahdaniyat Allah dalam menciptakan, mengurus, dan mengatur segala urusan. Oleh karena itu, keimanan ini memiliki makna sosial yang dalam istilah M. Amin Rais sebagai “tauhid sosial”. Istilah ini tidak lain menggambarkan sebuah kondisi prilaku yang sesuai dengan ajaran tauhid (keimanan). Konsep “tauhid sosial’ ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dalam bahasa agama disebut amal shaleh (sejumlah perbuatan baik yang sesuai aturan agama).
Istilah takwa sekurangnya disebutkan pada 15 tempat dalam Al Qur’an (Ali Audah, 1991), belum termasuk bentuk-bentuk lainnya. Dalam telaah akar kata, istilah takwa memiliki pengertian melindungi diri (QS Ali Imran, 3:28). Pengertian ini memiliki pengertian yang sama dengan makna iman dan islam. Prof. Izutzu, sebagaimana ditulis Fazlur Rahman (1990), seorang neomodernisme, konsep takwa di atas dijadikan landasan berpikir untuk menyatakan bahwa orang Arab pra-Islam merupakan masyarakat yang congkak dan sombong. Maka, dengan datangnya Al Qur’an dengan konsep takwa, musnahlah semua kesombongan dan kecongkakkan tersebut.
Fazlur Rahman (1990) menjelaskan istilah takwa dalam dua dimensi. Pertama, dalam konteks Islam dan iman, takwa merupakan perpaduan keduanya, baik antara keimanan maupun penyerahan diri. Al Qur’an menyebut hal itu di saat orang-orang memperebutkan kiblat (arah shalat) ketika Allah memutuskan untuk menghadap ke Masjid al Haram (QS. al Baqarah, 2:277). Kedua, takwa merupakan idealitas yang harus dituju, namun pada sebagian besarnya, takwa hanya bisa dicapai pada batas tertentu saja (QS. al Maidah, 5:8).
Deskripsi iman dan takwa di atas hanyalah memperjelas bahwa pentingnya pendidikan dalam konteks keislaman dan moralitas adalah terbinanya hubungan vertikal di samping secara manusiawi dan sosial. Maka sebuah konsep pendidikan atau pembinaan yang dilandasi keimanan dan ketakwaan, bukan hanya menghasilkan output yang memiliki tanggung jawab sosial (pribadi, masyarakat, bangsa) namun juga memiliki tanggung jawab moral (kepada Tuhan).
Konsep pendidikan berbasis nilai-nilai agama atau iman dan takwa (IMTAQ) merupakan derivasi dari visi pendidikan Jawa Barat sekaligus sebagai bagian dari kegiatan preventif dan kuratif terhadap fenomena saat ini dan antisipasi masa mendatang. Disadari bahwa perkembangan dunia global bukan hanya menghasilkan produktivitas manusia dalam mempermudah cara hidupnya, namun telah berakibat buruk terhadap pola dan tata hubungan kemanusiaan. Misalnya kehadirian televisi di satu sisi telah memberi nilai tambah informasi dan hiburan kepada masyarakat, namun tayangan televisi telah pula mendorong tumbuhnya tindakan destruktif di masyarakat. Bahkan dari berbagai kemajuan muncul dekadensi moral yang mengglobal juga saat ini.
Menurut Zakiah Darajat (1973:12) kemerosotan moral (dekadensi moral) terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari sisi ekonomi, sosial dan politik.
3. Pendidikan moral tidak terlaksana sebagaimana mestinya, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat.
4. Suasana rumah tangga yang kurang harmonis.
5. Diperkenalkannya secara populer berbagai obat dan alat anti kelamin.
6. Banyaknya tulisan, gambar, siaran, kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar tuntunan moral.
7. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dengan cara yang baik, dan yang membawa pada pembinaan moral.
8. Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda.
Dalam temuan penelitian terhadap masyarakat Barat, dikemukakan bahwa akibat samping dari gaya hidup modern adalah munculnya berbagai problem sosial yang cukup kompleks, seperti (a) keadaan fisik dan psikis; (b) kehidupan yang serba rumit; (c) kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan; (d) makin tidak manusiawinya hubungan antarindividu; (e) rasa terasing dari anggota keluarga dan anggota masyarakat lainnya; (f) renggangnya hubungan tali persaudaraan; (g) terjadinya penyimpangan moral dan sistem sosial dan (h) hilangnya identitas diri (Rusdi Muslim, Suara Pembaruan, 9 Oktober 1993).
Gejala yang paling mengkhawatirkan dari dekadensi modal adalah tindakan destruktif generasi muda, termasuk pelajar. Beberapa tindakan penyimpangan tersebut berupa tindakan kekerasan dan penyimpangan prilaku seksual. Di kota-kota besar, bersamaan dengan mengglobalnya budaya, generasi muda semakin rentan terhadap nilai, moral, etika dan agama.
Majalah Time pernah mengungkapkan masalah aborsi sebagai berikut:
Negara Remaja yang Melakukan Aborsi
Perancis 180 dari 450
Inggris 175 dari 450
Kanada 180 dari 450
Swedia 210 dari 320
Belanda 50 dari 150

Menurut Dadang Hawari (Hikmah, 1994) sekitar 7 dari 10 wanita di Barat melakukan seks bebas dan 8 dari 10 laki-laki melakukan hal yang sama. Sekitar 2,5 sampai 5 juta di antara mereka menderita sakit kelamin. Kemudian 1 dari 10 wanita yang melakukan seks bebas hamil dan sebanyak 125.000 wanita Barat melakukan prostitusi.
Fenomena lain yang sangat memprihatinkan adalah 80% dari 800 remaja kota besar di Indonesia, sebagaimana dijelaskan Sarlito W. Santoso, telah melakukan hubungan seksual dengan pacar mereka. Tidak hanya itu, sebagai 42% dari 100 responden telah terbiasa melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Kenyataan ini bukan hanya menjadi komoditas isu sosial yang menjadi wacana, namun hendaknya menyadarkan kita bahwa pendidikan kita belum cukup mampu membentengi generasi muda (remaja) dari prilaku-prilaku destruktif yang mereka konsumsi dari berbagai sumber informasi. Pendidikan harus diarahkan pada pembinaan iman dan takwa atau moral pelajar sehingga pelajar memiliki tanggung jawab terhadap masa depan dirinya, bangsa dan negara.
Dalam konteks ini, pendidikan agama yang jumlah jamnya terbatas dengan SDM guru yang terbatas juga tidak cukup mampu menghalagi globalisasi prilaku tersebut. Perlu ada kesadaran penuh dari semua komponen pendidikan, termasuk birokrasi pendidikan. Program yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan sangat diperlukan oleh para pelajar dalam membentengi dirinya.
Di sekolah unsur yang paling dominan dalam pembinaan moral adalah guru sebagai tenaga pendidik. Masalah disiplin menjadi persoalan yang dikhawatirkan guru, terutama guru baru (William van Till, 1971:457).
Untuk mewujudkan konsep pendidikan yang berlandaskan pada peningkatan iman dan taqwa peserta didik, maka guru memegang peran central dan strategis, upaya penciptaan sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual (IMTAQ), perlu dimulai dengan pembentukan sosok guru yang kaffah dan menjadi contoh bagi lingkunganya, sehingga menjadi sangat urgen untuk adanya strategi atau pola pembinaan berkelanjutan terhadap nilai-nilai IMTAQ Guru dewasa ini.

E. STRATEGI PENINGKATAN IMTAQ GURU
Menurut hemat penulis, ada beberapa sasaran utama yang perlu menjadi perhatian sebagai target akhir dari adanya pola pembinaan IMTAQ Guru, sasaran tersebut diantaranya sbb :
1. Guru dapat memahami konsep Tauhid yang benar, konsep tauhid merupakan pondasi yang akan mempengaruhi paradigma berpikir seseorang, penanaman konsep tauhid yang benar bagi para guru sangat urgen, terlebih peran strategis dalam proses pembentukan generasi penentu masa depan agama dan bangsa. Pemahaman tauhid yang benar akan menjadi filter bagi para guru dalam menghadapi berbagai pergeseran nilai dan tentunya berdampak kepada proses pendidikan yang ia lakukan terhadap peserta didiknya. Pemahaman yang benar tentang konsep tauhid akan berpengaruh pula terhadap cara Ia dalam memaknai pekerjaan yang Ia lakukan.
2. Guru dapat memahami Pedoman Hidup Hakiki secara kaffah, yakni Al Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan utama, hal ini bukan hanya ditujukan bagi guru muslim, melainkan bagi keseluruhan guru. Kita ketahui dan yakini bahwa Al Qur’an bersifat universal dan komprehenship, hal ini perlu ditransformasikan kepada keseluruhan guru yang terlibat dalam proses pendidikan.
3. Guru dapat memahami Al Hadist secara benar dan menyeluruh. Al Hadist merupakan sumber nilai yang kedua setelah Al qur’an, hal ini perlu menjadi rujukan yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan segala perangkat pendidikan. Guru perlu mengkaji dan memahami bagaimana Rasulullah bersikap, berucap dan berprilaku sehingga Ia dapat menjadi sosok tauladan bagi peserta didiknya, keteladan tersebut berangkat dari yang bersifat sederhana seperti keteladan dalam berpakaian, berbicara, bergaul sampai keteladan dalam beribadah. Pengetahuan guru secara kaffah terhadap prilaku Rasulullah sebagai pendidik, pemimpin dan sebagainya akan menjadi sumber nilai tersendiri dan menjadi nilai tambah kemuliaan sosok seorang guru.
4. Terlahirnya semangat Silaturahmi dari para Guru kepada kaum Ilmuwan. Kebiasaan silaturahmi dengan para ilmuwan sangat penting dilakukan oleh para guru, hal ini dalam rangka meningkatkan atau mengembangkan kompetensi pribadi dan kompetensi profesionalnya, sehingga ilmu yang dimilikinya senantiasa bertambah dan aktual serta keterampilan dalam melakukan proses pendidikanya senantiasa meningkat, hal ini akan berdampak kepada kapasitas informasi atau ilmu yang ditransformasikanya kepada peserta didik.
5. Lahirnya kebiasaan untuk berdiskusi agama di lingkungan tempat Guru bekerja, kebiasaan ini sangat posistif dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan dan pengetahuan guru dalam bidang keagamaan yang akan berdampak kepada pelurusan pandangannya terhadap makna profesi yang ia kerjakan, makna bekerja sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt.
6. Lahirnya sikap yang santun dalam berinteraksi dengan lingkuganya, sasaran dari proses pendidikan dalam konsep kurikulum berbasis kompetensi tidak hanya aspek kognitif siswa saja melainkan aspek afektif dan psikomotor, khusus terkait dengan aspek afektif tentunya perlu dibangun oleh semangat ketauladanan dari guru, sikap yang diharapkan muncul dari siswa selayaknya terlebih dahulu dimunculkan oleh guru dalam interkasi keseharinya.
7. Lahirnya kebiasaan yang istiqomah untuk beramal saleh, puncak pemahan terhadap ilmu dari seseorang adalah terletak pada amal saleh yang ia kerjakan.
8. Meningkatknya tanggungjawab dalam pekerjaan, ketika pekerjaan dilandasi oleh tauhid yang lurus dan pemahaman Al quran serta Al hadist yang benar, maka yang lahir adalah rasa tanggungjawab terhadap pekerjaan yang tinggi, wujudnya adalah ia senantiasa meningkatkan kompetensi pribadi dan kompetensi profesionalnya agar pekerjaan dapat dilakukan secara maksimal, karena ia sadar betul bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukanya hanya mengandung konsekuensi di dunia melainkan konsekuensi akhirat.

Untuk mencapai sasran tersebut terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan, diantaranya sbb :
1. Pendidikan dan Pelatihan ESQ bagi guru.
ESQ (Emotional Spiritual Quetiont), merupakan istilah yang menunjukkan adanya perimbangan kadar kendali manusia terhadap modal dirinya yaitu perasaan, pikiran, dan spiritual. Pengendalian hidup sangat dibutuhkan oleh setiap orang, termasuk Guru. Guru sebagai manusia biasanya makhluk yang tidak lepas dari lupa yang menggiring dirinya terlena. Tanpa ada bimbingan, pengarahan, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran, Guru bisa larut dan merugi di dunia dan di akhirat.
Mengapa harus dengan pendekatan ESQ, ESQ sebagaimana dikemukakan oleh Ary Ginanjar (2004) menjadi penting karena;
1. Jika pada diri seseorang IQ nya baik, tapi EQ dan SQ nya rendah maka orang tersebut akan buta hati.
2. Jika pada diri seseorang IQ nya baik, EQ nya baik sementara SQ nya rendah maka orang tersebut akan menjadi Diktator dan Koruptor.
3. Jika pada diri seseorang IQ nya rendah, EQ nya rendah dan SQ nya baik, maka orang tersebut akan menjadi Petapa.
4. Jika pada diri seseorang IQ nya baik, EQ nya baik dan SQ nya baik maka orang tersebut akan menjadi manusia paripurna ESQ.

Seorang Guru yang memiliki ESQ pada dasarnya orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai religi dalam interaksi keseharianya baik interaksi secara vertical (antara dia dengan Allah/Habluminallah) maupun secara horizontal (Habluminnas dan Habluminal alam). Ketika setiap melangkah dan menghadapi permasalahan dunia senantiasa dikembalikan kepada Allah (berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan), menjadikan Allah sebagai pusat permohonan dan pusat pertimbangan serta pusat petunjuk maka sesuai dengan janji-Nya dalam Firman-Nya bahwa hati kita akan menjadi tenang dan tentram, serta nurani kita akan tajam sehingga informasi yang didengar ketika mau memutuskan untuk melangkah adalah informasi yang keluar dari hati nurani yang telah disinari oleh sinar petunjuk Sang Illahi. Kalau diilustrasikan dengan Bagan Meta Kecerdasan yang digambarkan oleh Ary Ginanjar dalam bukunya “ESQ Power”, ketika kita berorientasi kepada “Tauhid” , maka hasilnya adalah EQ, IQ dan SQ yang terintegrasi. Sederhananya ketika dinding tauhid sudah tersentuh, karena kita mengorientasikan segala masalah dan tantangan dengan nilai-nilai ketuhanan, maka tauhid akan mampu menstabilkan tekanan pada amygdale (system saraf emosi), sehingga emosi selalu terkendali. Pada saat inilah seseorang dikatakan memiliki EQ yang tinggi. Emosi yang tenang terkendali akan menghasilkan optimalisasi pada fungsi kerja God Spot serta akan mengeluarkan suara hati ilahiah dari dalam bilik persitrirahatannya. Suara-suara ilahiah itulah bisikan informasi maha penting yang mampu menghasilkan keputusan yang sesuai dengan hukum alam, sesuai dengan situasi yang ada, dan sesuai dengan garis orbit spiritual. Pada momentum inilah seseorang dikatakan memiliki kecerdasan spiritual (SQ) yang tinggi. Barulah dilanjutkan dengan mengambil langkah kongkret lainya, berupa perhitungan yang logis (IQ), sehingga intelektualitas bergerak pada manzilah, atau garis edar yang mengorbit kepada Allah Yang Esa (SQ), inilah yang dinamakan Meta Kecerdasan oleh Ary Ginanjar.
Ada beberapa karakteristik Seorang Guru yang berhasil dalam membangkitkan kecerdasan emosional dan spiritulanya, diantaranya :
a. Berubahnya dalam sikaf hidup
b. Tumbuh semangat hidup
c. Keteladanan dalam hidup
d. Meningkatnya kesalehan dan kepekaan sosial
e. Memiliki ahlak mulia
f. Senantiasa memelihara dan meningkatkan ketakwaan kepadaNya secara istiqomah
g. Pada akhirnya, orang tersebut akan menjadi manusia paripurna ESQ.
h. Pribadi Rasulullah merupakan gambaran kongkrit atau tauladan nyata manusia parpurna ESQ,



2. Pembentukan Cuorporate Culture dilingkungan sekolah yang mendukung peningkatan kualitas Iman dan Taqwa Guru, diantaranya melalui :
a. Penataan sarana fisik sekolah yang mendukung proses pembinaan Iman dan Taqwa Guru.
b. Pendirian sarana Ibadah yang memadai
c. Membiasakan membaca al quran/tadarus setiap mengawali PBM
d. Membiasakan memperdengarkan lantunan-lantunan Al qur’an setiap ketika akan masuk kelas, jam istirahat dan jam pulang melalui radio kelas.
e. Pembinaan Al quran dan Al Hadist secara rutin
f. Adanya pola pembinaan keagamaan guru secara terprogram dan terpola serta adanya Wakil Kepala yang secara khusus membidangi program pembinaan Iman dan Taqwa Guru dan Siswa.
g. Membiasakan menghubungkan setiap pembahasan disiplin ilmu tertentu dengan perspektif ilmu agama (AL qur’an dan Hadist)
h. Membiasakan shalat berjamaah.
i. Mengupayakan adanya kuliah dhuha dan kuliah tujuh menit setiap ba’da shalat dzuhur.
j. Dibiasakanya shalat jumat berjamaah di sekolah (Imam dan Khotib oleh Guru secara bergiliran) dan dibuatnya buletin jumatan serta adanya kajian keislaman setiap ba’da jumatan
k. Program keputrian bagi Guru perempuan
l. Membudayakan ucapan salam di lingkungan sekolah
m. Memberikan hukuman bagi siswa yang berbuat pelanggaran seperti kesiangan dengan hukuman hapalan Al qur’an.
n. Adanya program BP yang berbasis nilai-nilai Iman dan Taqwa
o. Membiasakan menghentikan semua aktifitas setiap tiba waktu shalat dan adanya petugas keamanan sekolah bagi siapapaun yang tidak mengerjakan shalat berjamaah.
p. Adanya ketauladanan (Personal Image) dan kontrol sosial dari kepala sekolah terhadap prilaku guru.
q. Adanya penataan yang tertib tentang tempat guru akhwat dan ikhwan
r. Dibuatkanya tata tertib kerja secara bersama (sebagai acuan dan alat kotrol) yang memperhatikan nilai-nilai IMTAQ.
s. Kajian rutin tentang dunia profesi keguruan dalam perspektif agama
t. Tablig akbar secara rutin
u. Pembinaan Tulis dan Baca Qur’an (TBQ) bagi Guru
v. Slogan-slogan motivasi di lingkungan sekolah
w. dan lain-lain



Rujukan :
Al quran Al Karim, Departemen Agama Republik Indonesia
Usman Moh Uzer,Drs.2001, Menjadi Guru Profesional, Bandung ; Rosda Karya
Kock Heinz, 1979, Saya Guru Yang Baik,Yogyakarta ; Yayasan Kanisius
UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar