Kamis, 05 Maret 2009

Seri Koperasi-3

PENGEMBANGAN USAHA KOPERASI *)
Antara Das Sollen dan Das Sein
Oleh : Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

A. TINJAUAN UMUM
Ketika Republik ini didirikan, para founding fathers memimpikan suatu negara yang mampu menjamin hajat hidup orang banyak dan diusahakan secara bersama. Hal itu, tidak mengherankan, sebab pemikiran dan gerakan sosialisme memang sedang menjadi trend pada waktu itu, untuk melawan para pengusaha kapitalis dan kolonialis yang dianggap membawa penderitaan di kalangan buruh, tani dan rakyat kecil lainnya. Simak saja, apa yang diungkapkan para founding fathers di bawah ini:
Soekarno: "Banyak diantara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan: jempol sekali jikalau negeri kita bisa, seperti Jepang atau negeri Amerika Serikat atau negeri Inggeris! Kaum nasionalis yang demikian itu adalah kaum nasionalis burgerlijk, yaitu kaum nasionalis burjuis. Mereka adalah burgerlijk revolutionair dan tidak social revolutionair. Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menseijkheid. Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru kami sebutkan: Sosio-Nasionalisme dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan: Sosio-Demokrasi. Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu? Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio demokrasi adalah demokrasi masyarakat. Tetapi apakah nasionalisme-masyarakat dan demokrasi-masyarakat? Memang maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa sengsara... Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat sosio-demokrasi ialah demokrasi-politik dan demokrasi ekonomi" (Soekarno, 1932).
Moh. Hatta: "Yang hendak kita persoalkan di sini ialah kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat kita. Kaum produsen sebagian yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Kaum konsumen demikian pula. Akan tetapi kaum distributor terdiri daripada bansa asing. Dan inilah suatu pokok yang penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita... Kaum saudagar asing dengan segala bujangnya yang terdiri daripada bangsa kita sudah melakukan ‘Einschaltung’ ke dalam ekonomi kita. Sekarang usaha kita hendaklah mengerjakan ‘Ausschaltung’ merebut jalan perdangangan itu dari tangan bangsa asing.... Untuk mencapai maksud itu kaum industri tersebut mengadakan persatuan. Demikian pula seharusnya taktik ekonomi rakyat kita. Sebagai kaum produsen rakyat kita harus menggabungkan diri untuk menimbulkan koperasi produksi. Misalnya tiap-tiap desa atau kumpulan desa menjadi persatuan kooperasi produksi, bekerja bersama dan berusaha bersama. Kalau kaum tani Indonesia sudah bersatu dalam perekonomiannya, pendiriannya sudah kuat terhadap saudagar asing yang menjadi si pembeli... Ke arah inilah harus ditujukan ekonomi rakyat, kalau kita mau memperbaiki nasibnya. Usaha ini tidak mudah, menghendaki tenaga dan korban yang sepenuh-penuhnya dengan menyingkirkan segala cita-cita partikularisme. Dapatkah ia dicapai? Bagi kita tidak ada yang mustahil, asal ada kemauan. Susunlah kemauan itu lebih dahulu!" (Hatta: 1933).
Menyimak perkataan Soekarno dan Hatta (yang kemudian keduanya menjadi proklamator RI), tampak bahwa cita-cita membentuk negara Republik Indonesia, adalah untuk kemakmuran semua orang dengan bangun usaha yang diusahakan secara bersama; "koperasi". Karena itu, kemudian, dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan, "...Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi". Sehingga oleh karenanya di Indonesia, mungkin unit usaha yang paling banyak mendapat julukan adalah koperasi. Julukan itu begitu mulia; "soko guru perekonomian Indonesia", "tulang punggung ekonomi rakyat", dan lain-lain. Secara konstitusional, badan usaha yang disebutkan secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945, hanya koperasi, "... Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi", demikian dinyatakan UUD 1945. Namun uniknya, kendati mendapat julukan-julukan mulia dan disebutkan dalam konstitusi, ternyata koperasi Indonesia selama setengah abad lebih kemerdekaannya, existensinya belum menunjukan perkembangannya yang signifikan. Ia tetap saja hanya ada di bibir para pejabat pemerintahan, dan tidak tampak di permukaan sebagai "bangun perusahaan" yang kokoh dan mampu sebagai landasan (fundamental) perekonomian, serta dalam sistem ekonomi Indonesia secara makro, koperasi masih berada pada sisi marjinal. Jadi, permasalahan mendasar koperasi Indonesia terletak pada paradigma yang saling bertolak belakang antara apa yang dicita-citakan (Das Sollen) dan apa yang sesungguhnya terjadi (Das Sein). Selama paradigma ini tidak dibenahi, niscaya koperasi tidak akan dapat berkembang, ia hanya menjadi retorika dan menjadi objek oknum pegiat dan oknum birokrat koperasi dalam melancarkan projek-projeknya serta “misi-misi busuknya” dalam rangka memperkaya diri dengan menjadikan nama koperasi sebagai topeng.
B. PROBLEMATIKA MIKROEKONOMI DALAM USAHA KOPERASI
a) Masalah Orientasi Usaha.
Ketika berbicara tentang ideologi perkoperasian, sering disebutkan bahwa dalam menjalankan usahanya, koperasi "tidak bertujuan mencari laba", dengan alasan bahwa koperasi "berwatak sosial". Pemahaman ini, menurut penulis, sesungguhnya menyesatkan. Pertanyaan kritis patut dimajukan; jika "tidak bertujuan mencari laba", lantas apakah koperasi bertujuan mencari rugi?. Sebagai bangun perusahaan, koperasi tetap harus mencari laba untuk dapat melanjutkan usahanya. Watak sosialnya ditunjukkan bahwa koperasi mencari laba bukan untuk kepentingan segelintir orang (yang dalam bangun perusahaan lainnya disebut "pemegang saham"), tetapi untuk kemakmuran seluruh anggota (participatory economics). Jadi tidaklah "berdosa" bila koperasi harus mencari laba, sebab demikianlah hakekatnya sebagai sebuah bangun usaha sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No 25 tahun 1992. Dalam prakteknya koperasi harus memiliki core business yang jelas dan tegas sehingga bisa mengembangkan prinsip-prinsip kerja profesional dan profitable serta memiliki daya saing dengan bangun usaha lainya, tidak terseok-seok yang lajunya bagai “keong” (kata Presiden Megawati tahun 2004).
b) Masalah Sumber Daya
Walaupun disebut sebagai "soko guru" perekonomian Indonesia, namun dalam menjalankan kegiatan usahanya koperasi sering mengalami kesulitan untuk memperoleh Sumber Daya sebagai bahan baku. Salah satu sumber daya pokok yang sulit diperoleh adalah modal. Bermacam regulasi diberlakukan sehingga malah mempersulit koperasi untuk memperoleh modal dari lembaga-lembaga keuangan, khususnya bank. Hal itu sangat kontradiktif sekali dengan kemudahan dan fasilitas yang diberikan pemerintah pada industri-industri besar, bahkan juga untuk memperoleh modal dari luar negeri (baca: hutang). Padahal kenyataannya, kemudahan modal yang diberikan pemerintah kepada industri besar itu kebanyakan membuahkan kredit macet yang kini menghancurkan sektor perbankan.
Sumber daya lainya yang seirng kali menjadikan perjalanan koperasi tidak secepan bangun usaha lainya adalah sumber daya manusia, koperasi mengalami kesulitan untuk memperoleh kualitas manajer yang baik. Hal itu karena kesan yang terlanjur sudah melekat pada koperasi sebagai "ekonomi kecil", sehingga tidak memberikan insentif bagi manajer-manajer yang handal untuk mau mengelola koperasi. Di sinilah campur tangan pemerintah diperlukan untuk memberikan mutu modal manusia yang baik bagi koperasi. Hal itu dilakukan misalnya dengan memberikan dasar-dasar pengelolaan perusahaan yang baik bagi para manajer koperasi. Di sinilah "pembinaan", "pendampingan" dan "pemihakan" (tiga jargon pemerintah selama ini) diperlukan dari pemerintah untuk koperasi. Dengan demikian, mereka mampu untuk mengelolanya dengan efisien dan efektif.
Melalui kegiatan Konferensi Nasional DEKOPIN 2006 yang bertajuk “Dengan Gerakan Koperasi Kita Bangkitkan Ekonomi Rakyat” digelar di Secapa TNI AD Bandung pada tanggal 15 hingga 19 Februari 2006 yang membuahkan beberapa butir kesepakatan antara DEKOPIN dengan beberapa BUMN diharapkan dapat memberikan peluang tersendiri dagi sekelumit masalah yang dihadapi oleh kebanyakan koperasi, khususnya dari segi permodalan, sedangkan permasalahan SDM, serangkaian program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan yang difasilitasi oleh Dinas Koperasi diharapkan dapat memberikan andil besar dalam jangka panjang, eksis dan berkembangnya LAPENKOP sebagai lembaga infrastruktur DEKOPIN juga memberikan harapan tersendiri dalam mengatasi problematika SDM dalam tubuh koperasi.
Eksis dan berkembangnya IMAKOP, BKPK serta KOPMA menjadi satu peluang strategis tersendiri bagi pengatasan krisis SDM koperasi dalam jangka panjang, khusus untuk KOPMA, institusi ini memiliki kedudukan dan peranan yang strategis, karena komunitas SDM yang tersedia ditengarai masih memiliki idiologi yang kental dan tentunya memberikan harapan jangka panjang bagi terjaganya eksistensi nilia-nilai jati diri koperasi dalam gerakan koperasi.keududukanya sebagai koperasi kader dan kader koperasi menjadi nilai tambah tersendiri bagi eksitensi dan kontinuitas gerakan koperasi dikemudian hari.
c) Masalah Output, Mapping Produk dan Pemasaran
Output koperasi (khususnya koperasi produksi), seringkali mengalami masalah dalam hal kualitas, mapping product, distribusi serta pemasaran dan promosi (bisnis).
1. Kualitas output.
Dalam hal kualitas, output koperasi tidak distandardisasikan, sehingga secara relatif kalah dengan output industri besar. Hal ini sebenarnya sangat berkaitan dengan permasalahan input atau sumber daya (modal dan sumberdaya manusia) seperti diuraikan diatas. Padahal untuk masuk ke kancah kompetisi, kualitas output cukup signifikan untuk mempengaruhi performance koperasi. Program-program pembinaan berkelanjutan yang menyentuh permasalahan ini sangat perlu untuk dilakukan, kegiatan yang dilakukan oleh JUK Nasional yakni Pelatihan Manajemen Mutu Terpadu pada tanggal 20-22 Pebruari 2006 merupakan kegiatan-kegiatan yang sangat penting untuk dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan.
2. "Mapping Product".
Kebanyakan Koperasi dalam menentukan output tidak didahului riset perihal sumber daya dan permintaan potensial (potential demand) daerah tempat usahanya. Sehingga, dalam banyak kasus, output koperasi tidak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga sulit untuk dipasarkan. Di sinilah peranan pemerintah diperlukan untuk melakukan riset, dikarenakan koperasi itu sendiri biasanya terbentur oleh permasalahan teknologi dan terbatasnya kapasitass financial untuk mengadakan teknologi riset. Riset tentang produk manakah yang diestimasikan akan laku dan menjadi produk unggulan di tiap daerah sangat diperlukan, dewasa ini pengembangan sistem sentra sebagaimana yang dikembangkan Dinas KUKM Jabar cukup posistif. Hal itulah yang disebutkan dengan "mapping product". Koperasi (dan UKM) karena keterbatasan modal dan sumber daya manusia, tentu saja tidak mampu melakukan riset tersebut. Dengan hasil riset pemerintah itu, koperasi (dan UKM) memperoleh informasi untuk menentukan jenis usaha dan output yang dihasilkannya sehingga kemungkinan untuk merugi dapat diperkecil.


3. Distribusi, Pemasaran dan Promosi
Seringkali Koperasi mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya. Output yang dihasilkannya tidak memiliki jalur distribusi yang established, serta tidak memiliki kemampuan untuk memasarkan dan melakukan promosi. Sehingga, produknya tidak mampu untuk meraih pangsa pasar yang cukup untuk dapat tetap eksis menjalankan kegiatan usahanya.
Peranan pemerintah sekali lagi, diperlukan untuk menyediakan sarana distribusi yang memadai. Lahirnya Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) di era Adi Sasono menjadi Menkop menjadi stimulus tersendiri, namun sayangnya langkah tersebut didistorsi dengan muatan politis dan upaya untuk menjadi KDI sebagai monopolis, sehingga akhirnya tidak mencapai tujuannya yang hakiki. Sarana yang dibentuk pemerintah itu, sekali lagi, tetap harus dalam pemahaman koperasi sebagai gerakan rakyat, sehingga jangan melakukan upaya-upaya "pengharusan" bagi koperasi untuk memakan sarana bentukan pemerintah itu. Bila memang, ternyata koperasi akhirnya mampu menciptakan sendiri jalur distribusinya, biarkan saja ia berkembang dengan pilihannya.
Selanjutnya dalam aspek bisnis, koperasi –karena keterbatasan input atau sumber daya modal—sulit untuk melakukan pemasaran (marketing) dan promosi (promotion). Karena itu, selaras dengan mapping product seperti diuraikan diatas, pemerintah melanjutkannya dengan memperkenalkan produk-produk yang menjadi unggulan dari daerah itu. Dengan demikian, output koperasi dapat dikenal dan permintaan potensial (potential demand) dapat menjadi permintaan efektif (effective demand).
Dewasa ini dengan di hidupkanya kembali Jaringan Usaha Koperasi (JUK) di lingkungan DEKOPIN diharapkan memberikan angin segar bagi problematika usaha yang di hadapi koperasi, kegiatan semacam Pelatihan Pengembangan Jaringan Pemasaran yang diselenggarakan pada tanggal 24 – 26 Pebruari 2006 oleh JUK Nasional serta kegiatan-kegiatan yang difasiitasi oleh Kementrian KUKM dan Dinas KUKM Propinsi seperti Pameran Produk Koperasi, Temu Bisnis, Gelar Prodak, Pendirian Pusat Promosi Produk Koperasi, Central Bisnis Koperasi dan sebagainya merupakan kegiatan yang perlu untuk dikembangkan, dibentuknya semacam asosiasi ataupun organisasi seperti Jaringan KUKM Jabar yang dinakodai Bapak Drs.Iwan Gunawan,MM (Sebagai ketua sekaligus ketua BKPK JABAR) cukup penting untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi berbagai problematika usaha koperasi, khususnya masalah pemasaran.
Upaya menjalin kerjasama dan merangkai keterkaitan usaha dengan sektor bisnis swasta yang kuat modal dan kuat jaringan seperti Supermarket dan Hipermarket memungkinkan dapat memberikan alternatif solusi bagi permasalahan Distribusi, Pemasaran dan Promosi.

Membudayakan prinsip kerjasama antar koperasi juga menjadi satu hal pokok yang perlu dilakukan oleh pegiat koperasi dalam mengatasi problematika Distribusi, Pemasaran dan Promosi, aksinya dengan membangun sebuah asosiasi atau forum koperasi sejenis yang orientasinya pada kerjasama bidang usaha dapat menjadi bahan pertimbangan para pegiat koperasi.
C. ARAH PENGEMBANGAN USAHA KOPERASI SECARA IDIOLOGIS
Menurut Sritua Arief (1997), ada tiga pendapat yang hidup di kalangan masyarakat mengenai eksistensi unit usaha koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Pendapat pertama adalah yang mengutarakan perlunya mengkaji ulang apakah koperasi masih perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi. Secara implisit pendapat ini menghendaki agar kita tidak perlu mempertahankan koperasi sebagai unit usaha ekonomi. Pendapat ini mewakili pemikiran kanan baru (new-right) yang tidak begitu mempermasalahkan konsentrasi ekonomi di kalangan segelintir orang dalam masyarakat dan tidak menghendaki adanya pertanda pandangan populis di dalam masyarakat. Kedua, adalah pendapat yang memandang bahwa unit usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap menyeleweng dari UUD 1945. Pendapat inilah yang selama ini hidup dalam pemikiran para birokrat pemerintahan. Ketiga, adalah pendapat yang menganggap bahwa koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan menjadi unit usaha yang kukuh dalam rangka proses demokratisasi ekonomi. Pendapat ini mendasarkan pada semangat dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang ingin mengubah hubungan dialektik ekonomi, dari dialektik kolonial pada jaman penjajahan kepada dialektik hubungan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai kekuatan ekonomi.
Diera kemerdekaan dewasa ini arah pengembangan koperasi mengkrucut dengan lahirnya produk hukum Undang-Undang No 25 tahun 1992. dalam UU tersebut disebutkan bahwa Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatanya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Sebagia badan usaha maka “mencari keuntungan” menjadi misi yang harus dijalankan, turunanya adalah bahwa pengurus sebagai mandataris RAT perlu mengembangkan suatu ide pengembangan usaha yang tentunya relevan dengan kepentingan dan kebutuhan anggota. Usaha yang relevan dengan kepentingan dan kebutuhan anggota wajib menjadi titik tekan yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh pengurus, satu hal pokok yang perlu diingat pengurus adalah bahwa anggota bergabung dalam koperasi karena adanya kesamaan kebutuhan atau kesamaan kepentingan, sehingga orientasi pemenuhan kebutuhan anggota perlu menjadi misi utama dalam proses pelayanan yang diadakan oleh koperasi.

Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang : 1 ) luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota, 2) berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota, 3) berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota, 4) mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis. Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain.
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
Keuntungan secara ekonomi yakni 1) Peningkatan Skala usaha, 2) Pemasaran, 3) Pengadaan barang dan Jasa, 4) Fasilitas Kredit dan 5) Pembagian SHU, yang menjadi keharusan untuk didapatkan bagi seseorang ketika bergabung menjadi anggota koperasi, perlu menjadi pertimbangan pengurus dalam melakukan arah pengembangan usaha koperasi.
D. MENGEMBANGKAN USAHA KOPERASI DALAM PRAKTEK: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :


1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, KOPTI yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, Koperasi Wanita di Surabaya dan KSP KODANUA yang berkembang dengan Simpan Pinjamnya dll. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank. Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan pernah kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut. Disinilah peran pemerintah semacam Dinas Koperasi dan Peran Organisasi gerakan koperasi semisal DEKOPIN untuk bertindak sebagai fasilitator dalam mengadakan program pendidikan dan pelatihan managerial serta program pembinaan dan pendampingan berkelanjutan.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.
Adanya Jaringan Usaha Koperasi (JUK) dilingkungan DEKOPIN, DEKOPINWIL dan DEKOPINDA diharapkan dapat menjadi fasilitator bagi terbentuknya ikatan kerjasama berkelanjutan, khususnya kerjasama bisnis antar koperasi, umumnya dengan pelaku bisnis lainya.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan. Di sisi lain penegasan Core Busnisess yang jelas dari koperasi itu sendiri perlu menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan, hal ini akan berdampak pada orientasi pengembangan usaha dan tingkat profesionalisme kerja serta pengembangan jaringan usaha.
Pembentukan Bank BPR Koperasi Jabar yang kini sedang mengembangkan diri (walau tidak sekokoh Bank lain pada umumnya) sangat perlu didukung oleh seluruh insan perkoperasin, institusi ini diharapkan dapat membantu permasalahan permodalan yang seringkali menjadi batu sandungan kebanyakan koperasi. Demikian halnya juga dengan dikembangkanya Koperasi Penjamin Kredit. Kegiatan-kegiatan pameran, gelar produk, temu bisnis dan sejenisnya yang difasilitasi oleh Dinas KUKM, baik di dalam negeri maupun di luar negeri cukup posistif untuk ditingkatkan volumenya, hal ini dalam rangka membantu mengatasi permasalahan kesulitas dalam mengakses pasar potensial. Selanjutnya kegiatan-kegitan peningkatan kemampuan managerial bagi pengurus dan pengelola koperasi yang sudah banyak dilakukan dan menjadi program rutin tahunan Dinas KUKM, hendaknya dirumuskan secara terpadu dan berkelanjutan, serta berorientasi program bukan projek.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berita negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995), berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘sreg’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri, bahkan ada kesan berjalan masing-masing. DEKOPIN yang diposisikan sebagai organisasi tunggal gerakann koperasi perlu betul-betul menjadi wadah penampung aspirasi koperasi, secara konstitusi Adi Sasono sebagai Ketua Umum yang baru terpilih telah mencoba merubah AD/ART DEKOPIN dan mengarahkan DEKOPIN sebagai lembaga penampung dan penyalur aspirasi perkoperasian di Indonesia.

9. Memperkuat Sinergitas dengan stakeholder
Khususnya dengan BUMN dan BUMS, MOU DEKOPIN dengan beberapa BUMN yang dilakukan dewasa ini jangan hanya kesepakatan di kalangan elit, melainkan perlu dijabarkan sampai adanya kerjasama bisnis yanga nyata antara koperasi primer dengan perwakilan BUMN yang bersangkutan, seringkali kesepakatan-kesepakatan semacam itu tidak terjabarkan sampai tingkat pengelola teknis (sebatas kesepakatan dikalangan elit yang berbau politis) yang akhirnya tidak memberikan andil besar bagi penuntasan masalah-masalah yang seringkali dirasakan oleh kebanyakan koperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar