Anomali Dunia Guru
Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd
Pagi itu waktu sudah menunjukkan pukul 06.55. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi, kursi-kursi di ruang guru tampak kosong, tidak lebih dari lima kursi yang sudah ditempati oleh pemiliknya, padahal sekolah ini ada 23 kelas. Akhirnya tibalah saatnya petugas piket membunyikan bel masuk. Pasca bel berbunyi di depan pintu masuk menuju ruang guru beberapa guru dengan penuh ketergesa-gesaan mulai berdatangan. Demikian halnya dengan murid-murid pada berlarian dari pintu gerbang menuju kelas masing-masing, bak ayam yang berlarian mencari tempat berlindung ketika di langit ada burung rajawali terbang.
Pemandangan ini terjadi nyaris tiap hari, padahal sekolah ini merupakan sekolah berciri khas keagamaan. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Mamah Dedeh dalam acara Aa dan Mamah di sebuah televisi swasta, dalam sekolah yang membawa nama agama, layaknya sosok guru menjadi uswatun hasanah, mulai dari jam kehadiran, jam masuk kelas, hingga sikap dan prilaku sehari-hari di sekolah. Menjadi keniscayaan bahwa guru di sekolah berciri khas keagamaan tahu tentang nilai-nilai agama. Namun, entah mengapa di sekolah ini menjadi jauh jarak antara das sollen dengan das sein.
Sekolah ini memiliki 50 orang pengajar dengan siswa lebih dari 800 orang, bangunan kelaspun tampak beda dengan sekolah-sekolah pada umumnya, semua kelas berlantai dua, fasilitas lab pun lengkap, bahkan lima dari total guru yang ada sudah menempuh jejang pendidikan pascasarjana. Namun, hal tersebut tampaknya belum cukup untuk menjadi modal agar sekolah ini berkualitas dan memiliki keunggulan competitive.
Lemahnya kolektivitas dan komitmen untuk bekerja dengan kekuatan penuh, serta melepuhnya keyakinan akan makna illahiyyah dalam setiap aktivitas yang dilakukan menjadi kelemahan guru di sekolah ini. Bak karyawan yang sedang di puncak karir, tiba-tiba di PHK karena perusahaan mengalami kebangkrutan akibat krisis global, karyawan tersebut kehilangan orientasi kerja, semangat kerja pun terkikis, terlebih ketika menghadapi akhir bulan, kala itu isi dompet sudah terkuras, sementara “argo” terus berjalan kencang, sekencang kancil berlari di lapangan golf.
Demikian halnya dengan guru di sekolah ini, datang selalu di dahului siswa dan pulang mendahului siswa. Bekerja tanpa orientasi yang jelas, semangat kerja pun mudah terkikis, jika puncak kemalasan tiba, mengajar cukup di wakili Lembar Kerja Siswa (LKS) yang wajib di beli dari koperasi atau catatan di depan bor yang wajib ditulis siswa. Ngerumpi yang tak bermakna di lobby ruang guru lebih menjadi pilihan, daripada melaksanakan misi utamanya untuk mengajar di kelas.
Sebagai institusi pendidikan formal yang bernaung di bawah institusi yang membawa nama agama, sekolah ini memiliki visi yang teramat mulia, nilai-nilai agama terintegrasi dalam visi yang terumuskan, demikian halnya dengan misi yang diemban, sungguh mulia sekolah ini. Kemuliaan visi dan misi tersebut hendakanya diejawantahkan oleh seluruh perangkat sekolah, termasuk guru di dalamnya, sungguh memalukan jikalau ada seorang guru yang berada di lingkungan sekolah semacam ini yang menyandarkan alasan bekerjanya hanya karena uang semata dan bekerja tergantung selera. Tampak terjadinya distorsi antara visi dan budaya kerja.
Anomali lainnya tampak kala suara adzan dzukur berkomandang, sebagian guru bergegas untuk mengambil air wudu dan berjamaah. Namun, sebagian lainnya dengan tidak merasa bersalah meninggalkan shalat berjamaah, musyawarah tanpa arah (baca:ngerumpi) di ruang guru, membicarakan hal-hal yang tidak lebih urgen daripada shalat berjamaah, lebih parahnya lagi ada pula guru yang justru malah mengambil posisi tidur malam di kursi ruang guru, baru ketika waktu lima menit menjelang masuk kelas lagi, merek sibuk mengambil air wudu untuk shalat dzuhur. Sibuknya mereka seperti sibuknya Tim SAR ketika mau mengepakuasi korban bencana. Sungguh lemah jiwa-jiwa keagamaannya. Padahal, memberikan contoh dengan secara bersama-sama berangkat ke mesjid untuk melakukan shalat berjamaah justru akan menjadi hidden curriculum bagi murid di sekolah ini.
Suatu ketika, tibalah saatnya sekolah untuk di akreditasi, lagi-lagi para guru sibuk mempersiapkan perangkat pembelajaran yang layaknya harus ia miliki setiap mengawali tahun ajaran. Kali ini, sibuknya mereka seperti sibuknya KPU mempersiapkan Pemilu 2009. Muncul pertanyaan, lantas selama ini ketika guru bersangkutan mau masuk kelas, bagaimana jadinya, tidak memiliki Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berarti tidak memiliki pedoman dan perencanaan dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Jika demikian, bagaimana profesiinalisme itu bisa diwujudkan?
Jika kita membeli jeruk satu karung, tentu ada satu atau dua yang jelek. Namun, tidak sedikit pula jeruk-jeruk yang baik dan manis untuk di makan, jeruk yang jelek menjadi anomaly. Rupanya demikian pula di dunia guru. Tidak semua guru “mangkir” dari identitas keguruannya. Banyak pula guru yang berdiri di atas rel idealisme, mengajar penuh semangat dan optimis dengan tugas pokok yang dikerjakannya, bagaimana tidak, karena yang dilakukan guru akan berkontribusi besar terhadap pembentukan generasi bangsa, penentu masa depan bangsa yang lebih bermartabat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar