Selasa, 24 Februari 2009

DIBALIK JERUJI

DARI BALIK JERUJI
Oleh: Anang, S.Pd

Tidak habis-habisnya Pak Mubdi memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yng sedang dihadapi salah satu siswanya.
Sementara itu, dari balik jeruji Bone merenung. Memeluk lutut dan menancapkan dagu di sela keduanya. Matanya jauh menembus dinding tembok berjeruji besi berbau karat. Matanya tidak bisa menghapus pemandangan harian yang selalu nampak di hadapanya. Sesuatu yang tidak pernah bisa dihapuskan; sesuatu yang sangat memilukan.
Hanya pertengkaran yang melekat kuat dalam rutinitas kesehariannya di rumah. Diawali dengan bentakan keras ayah. Lalu segalanya berubah. Seisi rumah berantakan. Piring beterbangan. Teriakan bersahutan. Kaca dan berbagai benda pecah belah lainya hanya menunggu giliran untuk diraih lalu terlempar lepas dan hancur berkeping. Beberapa saat kemudian akan terdengar suara bantingan pintu depan. Lalu semua menjadi hening. Ayah sudah pergi. Hanya suara isak tangis yang tersisa. Dan ini pertanda perang selesai atau sejenak masuk waktu jeda. Setelah itu dia dan adinya keluar kamar. Meskipun berasal dari kamar yang berbeda, mereka memiliki waktu dan tujuan yang sama, memburu ibu dan membereskan pecahan perabotan.
Dia tidak bisa mengingat dengan pasti sejak kapan kebiasaan buruk itu terjadi di rumahnya. Yang ia tahu adalah bahwa semua itu sudah menjadi pemandangan biasa. Bisa setiap hari, bisa setiap waktu. Sebenarnya ia sudah sangat bosan dan ingin kabur entah kemana, namun waktu membawanya pada kenyataan bahwa ia sendiri sudah bosan dengan keinginan untuk itu.
Sempat ia merindukan keadaan ketika semua; ayah, ibu dan adiknya, bisa berkumpul dan saling berbicara dalam canda dan penuh senyum. Ia begitu merindukan pertanyaan tentang bagaimana keadaanya di sekolah, bagaimana PR nya, bagaimana teman-temanya dan banyak lagi. Namun di sisi lain ia juga sering membantahnya bahwa hal itu hanyalah buah kesendirianya yang sentimentil.
Sekarang ia sendiri lupa kapan angan-angan itu pernah hadir dipikiranya.
Pernah suatu kali Bone memulainya dan ternyata sedikit berhasil. Ada permulaan ketika ayah dan ibunya mendengar ucapanya. Dia anggap ini adalah awal yang baik. Namun baru berjalan beberapa saat, Bone kecewa ketika tiba-tiba obrolan mengalir deras dan berakhir dalam teriakan saling berbantahan. Ia memancing dengan membuat pertanyaan bahwa jika mereka, Bone dan adiknya besar nanti, prilaku mereka tanggung jawab siapa. Jawaban yang ia harapkan sederhana, dalam nada yang rendah dan berbumbu senyum jawaban yang ingin ia dengan dari mereka adalah ‘tanggung jawab kalian sendiri’. Namun diluar dugaan, ia malah mendapatkan sesuatu yang kacau. Ayahnya ngotot dengan kewajibanya sebagai tulang punggung dan penyangga ekonomi keluarga artinya hal itu tanggung jawab ibu. Sementara Ibu terus bersikukuh dengan tugasnya sebagai penggerak kegiatan; PKK, arisan, belanja kebutuhan keluarga dan banyak lagi. Adu argumen tidak segera berakhir. Berlanjut dalam sindiran, ejekan dan teriakan. Lalu satu-dua perabotan melayang. Dan perang kembali terjadi.
Begitulah cara mereka jalani hidup. Dari topik apapun, dalam katagori urusan apapun, besar ataupun kecil, selalu berakhir demikian. Hingga akhirnya mereka – Bone dan adiknya – menjadi sangat terbiasa. Bentakan adalah kalimat perintah. Cacian bagai ucapan setuju atau perintah ulang. Sedangkan ejekan adalah tanda terima kasih.
Bone dan adiknya sudah terbiasa dengan ragam pukulan. Dan itu diterjemahkan sebagai tanda kasih dan sayang. Tendangan bak olah raga sedangkan teriakan menjadi hiburan ringan agar rumah tidak seperti kuburan. Memar dan sedikit membiru di tubuh mereka biarkan karena dengan sendirinya waktu akan menyembuhkan segalanya.
Waktu bergegas mengajak mereka tumbuh dan dewasa. Dunia sekolah sudah mereka jalani sekian tahun. Berpindah-pindah sekolah sudah menjadi bagian perjalanan yang mulai bisa dinikmati. Berganti ruangan dan wajah teman. Siapa peduli. Semu sudah keputusan. Beragam alasan dia dipindahkan. Namun mereka setia menjalani. Mereka sudah faham betul alasan yang cukup mendasar. Mereka pembuat ulah.
Keadaan tidak berubah. Satu hal yang berubah adalah usianya yang nampak begitu tergesa. Mereka tumbuh dalam keberanian hidup yang luar biasa. Kebiasaan ayahnya menurun utuh pada mereka. Baik bone maupun adiknya terbiasa dengan teriakan, bentakan, ejekan, hinaan, cacian. Ia juga sudah sangat terbiasa dengan berbagai pukulan dan tendangan. Ia tidak peduli bagian tubuh yang mana. Semakin bernafsu mereka, semakin fatal sasaran mereka incar. Mereka tidak menganggap semua itu buruk. Kadang mereka sedikit heran kenapa orang lain begitu rapuh dan lemah. Kenapa mereka hanya lelah dengan kekuatanya sendiri. Kenapa tidak ada perlawanan seperti yang biasa mereka lakukan ketika mendapat sengatan ayahnya. Meskipun pada akhirnya mereka biasa terkapar dalam tangisan ibu.
Hingga suatu ketika mereka merasakan betapa kuatnya mereka. Betapa perkasanya mereka. Kecuali di hadapan ayah, mereka adalah sang penguasa. Lenyaplah segala keinginan untuk menemukan kedamaian di rumahnya. Apa yang mereka inginkan bisa didapatkan di luar. Dalam ungkapan yang sederhana mereka sekarang sudah menemukan kenikmata menjadi diri dengan sikap hidup seperti ayahnya, bertindak untuk menaklukan. Siapa saja yang melawan itu adalah pernyataan permusuhan. Dan akhirnya mereka berkesimplan bahwa meskipun tidak ingin menjadikanya sebagai idola, ayah mereka adalah orang terhebat dan penguasa yang sempurna.
Bone terus mematung. Ruang sempit yang hanya berukuran tiga kali empat meter ini akan menjadi istananya untuk waktu yang tidak diketahui. Sedikitpun ia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang merugikan. Suatu ketika ia akan dibebaskan. Atau tetap di situpun bukanlah masalah yang besar. Dimanapun ia berada ia akan tetap menjadi dirinya, seorang penguasa. Hanya saja ia sudah tidak mungkin lagi bisa bertemu adiknya yang sudah mati. Menurut kabar ia dikeroyok. Yang lainya berkata ia terjatuh saat mabuk dan hancur tergilas truk tronton di sebuah jembatan. Entahlah. Ia tidak begitu peduli dengan cara mati. Sekalipun cukup sakral, baginya kematian tidak beda dengan jatuhnya daun kering dari pohon. Namun ada satu pernyataan yang terpahat begitu kuat dalam hatinya bahwa segala yang terjadi dengan mereka berasal dari ayah. Termasuk apa yang telah menimpa adiknya. Ia tidak ingin mengalami kesedihan serupa karena itu ayah harus disingkirkan.
Dia sudah menemukan makna hidup dan tujuan hakiki yang terpendam di dalamnya, keputusan final. Satu keputusan yang akan membuatnya terbebas dari segala beban. Terbebas dari segala hal yang akan menghalanginya untuk menjadi penguasa terkuat. Dan satu hal yang membatasi dirinya adalah sosok yang bisa menguasai dan mendominasi gerak langkah hidupnya, ayah. Atas alasan itulah ia mengambil keputusan. Menyingkirkan ayah. Dan dengan sederhana ia menarik kesimpulan, ayahnya harus mati. Hingga suatu malam yang pekat, saat sang ayah pulang kerja dalam kelelahan yang membalut badan dan pikiran, tepat di depan pintu, sebuah hantaman tongkat kasti telah mencerabut kesempatannya untuk bisa meneruskan kuasanya sebagai penguasa di dalam sangkar emas keluarga Bone.
Dalam satu interogasi ia berkali-kali ditanya tentang motif dibalik tindakan nekadnya. Dan jawaban yang kelur dari mulutnya begitu pendek, menjalani naluri hidup. Dan setelah itu interogasi berakhir dalam definisi dan redefinisi yang memusingkan.
Sempat ia digiring ke psikiater. Dengan berbagai tes ia tetap dinyatakan sebagai orang yang bermental sehat. Tidak ingin terlalu larut dalam kekecewaan, iapun ditinggalkan.
Siapa saja yang berkata bahwa keputusan yang diambilnya sebagai keputusan nekad hanya akan menunjukan betapa dia memiliki pemikiran dangkal dan menarik kesimpulan seperti menarik korek kuping dari telinganya.
Namun ketika ada seseorang yang mengatakan keputusan ini sebagai keputusan tidak rasional atau tidak masuk akal adalah pernyataan bahwa dirinya tidak memahami struktur kehidupan. Harus dia katakan bahwa segala tindakan yang ia ambil adalah muara dari jaring-jaring pemikiran yang sempurna.
Ketika ia sedang asik dengan lamunan yang terus menggiringnya ke fodium kemenangan, tiba-tiba masuk dua orang petugas dan menarik tanganya keluar. Tidak ada sedikitpun senyum keluar dari mulut mereka.
“Pak Mubdi?”
“Benar, saya Mubdi. Salah satu gurumu yang tidak mengajar di kelasmu,”
Bone diam. Sepertinya akan ada seseorang yang akan mencoba memasuki dunianya yang sudah tertata sempurna.
“Saya tidak akan bertanya bapak mau ada urusan apa dengan saya. Yang harus bapak fahami dengan saya adalah dunia yang tersembunyi di balik semua ini,” Bone menunjuk ke dadanya yang ia geser sedikit ke sebelah kiri.
“Saya sudah tahu. Dan saat ini bukan saat yang tepat untuk brdiskusi masalah itu,” jawab Pak Mubdi.
Entah apa sebabnya, namun ada sesuatu yang membuat mata Bone meredup. Ini akan menjadi sesuatu yang ganjil kemudian? Atau hanya akan memunculkan kekuatan ayahnya yang sudah punah beberapa hari yang lalu.
“Kamu dalam pengawasan kami,” potong seseorang dari samping Bone.
Bone melirik ke arah suara. Ia hanya bisa menarik satu kesimplan bahwa menjawab ucapan itu hanyalah satu kesia-siaan. Kata pengawasan adalah kata yang tidak memiliki arti dan kekuatan apa-apa bagi dirinya.
Ia kembali memikirkan akan rencana, tindakan dan kebodohan apa yang akan dilakukan orang yang sekarang tepat berurusan denganya.
“Bone, kira-kira warna apa apa yang ada dalam pikiran orang tentang dirimu? Aku tahu kamu satu dari sekian anak cerdas yang mampu memahami pertanyaanku dalam sekali ucap,”
Bone diam. Matanya menajam. Ia memalingkah wajah ke sana kemari. Bukan benda yang yang ia inginkan. Tapi ada sesuatu yang begitu menusuk dari pertanyaan itu. Ia bukan tidak memiliki jawaban panjang dan berbelit. Tapi sepenuhnya ia menyadari kalau pertanyaan yang diberikan Pak Mubdi adalah juga jawaban atas hidupnya.
Ia mulai menampakan sikap yang gusar. Air muka yang ia coba untuk sembunyikan dari mata Pak Mubdi sudah terlanjur terlihat. Sekali ini ia merasa terpukul.
“Pak, kali ini saya ingin bercerita,” ada perasaan bahwa ia sedang memulai sesuatu yang bodoh. Sesuatu yang sangat menjatuhkan teutama bgi benteng pemikiran yang sudah sekian lama ia bangun.
“pertama, seperti apa bapak mengharapkan hadirnya sosok seorang ayah? Kedua, sedalam apa bapak merencanakan tindakan yang akan bapak ambil setelah bapak menyadari sosok bapak yang ada?”
“Aku lebih leluasa untuk menjawab dengan memposisikan diri sebagai ayah yang hadir di dunia lebih dahulu dari anaknya. Lalu aku akan menanyakan hal yang sama tentang sikap atas kenyataan anak yang ada,”
Bone kembali merasa ditohok.
“Apa yang akan bapak lakukan jika bapak adalah saya dengan ayah seperti yang bapak tahu tentang ayah saya?”
“Saya akan menghentikan setiap keinginan untuk merusak dan merugikan orang lain,”
“Kamu?”
“Itu bukan jawaban yang tepat untuk masalah saya,”
Bone diam. Ia sadar apapun jawaban yang ada dipikiranya saat ini adalah klise yang hanya akan menggiringnya melangkah jauh dari kenyataan.
“Aku hidup sebagai aku. Aku bertanggungjwab dengan segala yang aku lakukan. Dan pertanggungjawaban paling sederhana yang bisa aku tunjukan saat ini adalah menyampaikan hal ini kepadamu. Aku tahu, kemungkinan besar tidak akan berpengaruh. Tapi akan sangat sia-sia jika aku tidak menyampaikanya kepadamu. Bone, ibumu sedang menunggu di sana. Aku kadang berpikir sangat buruk tentangmu. Aku menduga kalau kamu membenci ibumu seperti kamu membenci ayahmu,” Pak Mubdi diam sejenak, menunggu reaksi Bone dengan ucapanya. “Kalau benar dugaan itu, aku tidak begitu heran. Namun jika salah, aku sangat bersimpatik. Bone, apapun yang ada dalam pikiran kamu dan segala rencana kamu menjalani hidup kemudian, aku akan terus mengajarkan hidup kepadamu. Sekalipun kamu bukan murid di kelasku, kamu adalah muridku.”
Dan Bone harus kembali menjalani hidup kegelisahan pikiranya yang juga terpenjara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar