Selasa, 17 Februari 2009

e-Learning

e-learning, Suatu Keniscayaan
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

Keterbatasan jam pelajaran, itulah salah satu hal yang seringkali menjadi apologi para pendidik ketika ditanya tentang proses dan hasil belajar yang cenderung menurun, terlebih jika faktor budi pekerti atau akhlak siswa dijadikan indikator. Struktur kurikulum yang di formulasikan dalam KTSP memang mengalami beberapa rasionalisasi dari aspek alokasi jam pelajaran. Namun, apakah keterbatasan alokasi jam pelajaran tepat dijadikan alasan tidak maksimalnya proses dan hasil pembelajaran?
Sesungguhnya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang kini kian santer, memberikan opportunity bagi perbaikan dan akselerasi peningkatan kualitas praktek pendidikan (khususnya pembelajaran). Model pembelajaran yang lebih modern dengan memberdayakan keberadaan fasilitas teknologi pun diharapkan dapat menjadi ”obat mujarab” bagi peningkatan kompetensi siswa dan perbaikan akhlak generasi muda yang kini kian merosot.
Lahir dan berkembangnya teknologi dunia maya, mendorong guru untuk lebih kreatif dalam memberikan layanan pembelajaran tanpa harus dibatasi oleh alokasi jam pelajaran. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber cyber space dengan menggunakan media dunia maya (internet).
Salah satu yang sangat urgen untuk menjadi perhatian para pendidik adalah berkembangnya apa yang disebut cyber teaching atau pengajaran maya yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet, dalam istilah lain dikenal juga dengan e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.
Rosenberg (2001:28) memberikan pemaknaan bahwa e-elarning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandasan tiga kriteria:
1. e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusikan dan membagi materi ajar atau informasi;
2. pengiriman sampai kepengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar;
3. memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran dibalik paradigma pembelajaran tradisional.
Realitas menunjukan bahwa perkembangan teknologi, terutama dalam bidang komunikasi dan infomasi telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan (khususnya dalam proses pembelajaran). Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan teknologi komunikasi dan informasi, terdapat lima pergeseran dalam proses pembelajaran:
1. dari pelatihan kepenampilan,
2. dari ruang kelas ke mana dan " kapan saja,
3. dari kertas ke on line atau saluran
4. fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja,
5. dari waktu siklus kewaktu nyata.
Metode pembelajaran tradisional dengan segala kelebihan dan kekuranganya memang yang dewasa ini paling banyak digunakan oleh para praktisi pendidikan, adapun konsep e-learning belum banyak diketahui dan dipraktekkan oleh para pendidik, terlebih di sekolah-sekolah yang jauh dari pusat perkotaan. Hal ini wajar ketika sarana dan prasarana pendidikan di tingkat satuan pendidikan sangat minim, jangankan fasilitas iternet, ruang belajar dan kemampuan tenaga pendidik pun belum merata dalam mengakses teknologi.
Terdapat beberapa formula yang kiranya dapat menjadi pertimbangan bagi stakeholder pendidikan agar e-learning termanfaatkan. Pertama, Perlu dibangun mental berubah di kalangan tenaga pendidik dari pembelajaran tradisional menuju pembelajaran yang lebih kontemporer, serta mental untuk mau belajar sepanjang hayat, jangan lagi ada guru yang berpikir statis dan merasa cukup dengan ilmu dan metodelogi pembelajaran yang biasa di lakukan, jangan pula ada guru yang hanya berpikir hak tanpa mengoptimalkan pelaksanaan kewajiban-kewajibannya. Selalu meningkatkan kemampuannya, termasuk dalam penguasaan teknologi merupakan salah satu kewajiban guru yang dapat memberikan efek bagi peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Kedua. Sekolah dan pemerintah perlu memfasilitasi pelatihan gratis kepada seluruh tenaga pendidik untuk menguasai teknologi informasi Kalau perlu, kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi menjadi instrumen penting dalam portofolio sertifikasi. Ketiga, Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI), khususnya BUMN hendaknya memberikan daya dukung berupa fasilitas akses gratis bagi dunia pendidikan. Jika selama ini ada tuntutan sekolah gratis, maka BUMN sebaiknya memberikan kepedulianya dalam membangun pendidikan di sekitarnya berupa fasilitas akses gratis. Sangat tidak tepat jika dunia pendidikan, khususnya sekolah dijadikan segmen bisnis BUMN. Keempat, pemerintah memberikan daya dukung berupa fasilitas stimulan bagi sekolah-sekolah, khususnya sekolah yang kemampuan ekonomi orang tua siswanya kurang. Program Mendiknas yang mencanangkan program Jardiknas dan internet masuk sekolah, termasuk sekolah di pedesaan merupakan program positif. Adapun dampaknya yang banyak di khawatirkan orang, sesungguhnya tergantung kepada cara kita memandang dan memanfaatkannya. Kelima, perguruan tinggi yang melahirkan tenaga pendidik, hendaknya menjadikan e-learning sebagai muatan kurikulum formal. Keenam, perlu ada kerjasama antara sekolah atau antar lembaga profesi dalam menguatkan program-program dukungan bagi pelaksanaan e-learning. Ketujuh, perlu adanya kerjasama mutualisme dari tripusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat) dalam pemanfaatan e-learning. Bagi keluarga yang kurang mampu serta sekolah dan masyarakat di pelosok menjadi kewajiban pemerintah untuk mengupayakan adanya fasilitas pendukung yang memadai. Implikasi standar nasional pendidikan bagi sekolah dan masyarakat di pelosok perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih dari pemerintah. Konsep sekolah gratis tidak berakhir pada aspek pembiayaan saja, melainkan secara utuh dengan segala fasilitasnya. Jika sekolah dipelosok distandarkan dalam aspek evaluasinya dengan sekolah di perkotaan, maka harus pula distandarkan dari segi sarana dan prasaranya. Semoga!

1 komentar: