Jumat, 20 Februari 2009

Family Line

Family Line
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

Siang itu rapat segera dimulai, pembawa acara mengajak peserta untuk membuka rapat dengan ucapan basmallah. Dengan semangat kebersamaan dan kekhusuan, semua peserta membaca basmallah secara bersama-sama. Rapat pun mulai digelar. Agenda kali ini berbeda dengan rapat biasanya, karena konon sang Kepala Sekolah yang baru bertugas satu tahun di selolah ini, mau membuka lembaran baru dengan mengusung nilai-nilai demokerasi di lingkungan sekolah. Pemilihan Wakil Kepala dan para Pembina dilakukan secara terbuka dengan mekanisme voting tertutup. Namun demikian, para kandidat sudah ditentukan sebelumnya oleh Tim Formatur yang beranggotakan para elit sekolah periode sebelumnya, tim 16 namanya, nama tersebut muncul karena tim tersebut beranggotakan 16 orang.
Setiap posisi Wakamad dan Pembina memiliki calon dua orang, penentuan calon dua orang untuk masing-masing posisi inilah yang ditentukan oleh tim 16. Dengan mekanisme yang sudah disepakati Tim 16 pula, pemungutan suara “one teacher one vote” mulai di gelar. Pemilihan dilakukan secara berurut, dimulai dari pemilihan Wakil Kepala, hingga para Pembina. Suasana rapat kala itu seperti rapat MPR dan DPR pada saat pemilihan Gusdur dan Megawati tahun 1999, kasak kusuk tim sukses masing-masing kandidat mulai ramai, suara getaran HP yang di Sillent pun terdengar, mungkin antar peserta rapat kala itu berupaya untuk saling mempromosikan jagoannya , maklum sebagian kandidat berambisi untuk menjadi pemenang dalam pemilihan tersebut.
Beberapa kandidat dalam posisi tertentu tampak ganjil, beberapa calon inkamben rivalnya orang baru yang secara kompetensi memang bukan bidangnya, lebih dari dua posisi yang dikondisikan demikian. Selain itu, ada pula posisi diisi dengan rival yang membuat peserta rapat sangat penasaran dengan hasilnya, posisi tersebut diisi dengan seorang guru yang berada dalam Family Line (FL) dan rivalnya merupakan guru di luar zona FL yang secara kompetensi dan pengalaman sangat baik. Hal tersebut membuat penasaran peserta, karena hasilnya dapat membuktikan sejauhmana kekuatan FL di sekolah ini. Selain itu, menjadi ajang untuk mengukur apakag sekolah ini menjungjung tinggi profesionalisme atau FL. Hadits tentang keharusan menyerahkan amanah kepada yang memiliki keahliannya pun akan terjawab melalui prosesi pemilihan kala itu.
Singkat cerita, pemilihan usai dilaksanakan, munculah para pemenang, calon yang menang tersenyum ceria seperti anak penulis yang diberi mainan kesukaanya, sementara yang kalah ada yang tersenyum simpul ada pula yang murung seperti burung hantu yang sedang sakit gigi.
Setelah para pemenang itu diumukan, keganjilan semakin mengemuka, para pemenang sebagian besar merupakan inkamben alias pejabat lama dan sebagian lainnya mereka yang secara historis termasuk zona FL. Di sekolah ini memang kental sekali dengan FL, pastas saja, karena secara historis sekolah ini dipimpin oleh orang yang memiliki ikatan keluarga yang sangat dekat, Selain itu, lebih dari lima pasangan suami istri bertugas satu atap. Kok bisa ya! seperti halnya yayasan, padahal sekolah ini merupakan sekolah negeri yang berlokasi di pusat kota.
Dalam perjalanannya, FL ini semakin tampak, setiap diadakan suksesi posisi tertentu selalu yang menang adalah orang yang secara genetic merupakan keturunan dari para pendiri sekolah ini. Berlaku anomaly ketika ada posisi tertentu yang diisi oleh orang yang berasal dari luar zona FL. Demikian halnya ketika sekolah ini dipimpin oleh orang yang berasal dari luar zona FL, sang pemimpin (baca: kepala sekolah) senantiasa sulit bergerak, berada dalam tekanan ketika hendak mengangkat guru untuk posisi tertentu, bahkan ketika hendak melakukan perubahan, cibiran lah yang di dapat, dukungan hanya didapatkan dari orang-orang yang masih memiliki semangat perubahan dan kuat idealismenya. Kelompok terakhir ini pun keberadaanya sangat jarang, bak mencari jarum di tengah-tengah jerami.
Kekuatan FL tapak pula ketika pemilihan pengurus koperasi pegawai di lingkungan sekolah ini, mungkin haram hukumnya jika ada orang di luar FL menjadi pejabat di sekolah ini. Pemilihan ketua koperasi kala itu, terdapat dua kandidat, satu orang berasal dari FL, dan yang lainnya di luar FL, secara kompetensi, jaringan dan pengalaman, orang yang di lura FL jauh lebih baik. Namun, karena orang tersebut rivalnya adalah orang yang berada dalam zona FL, maka kekalahanlah yang didapatkannya.
Nepotisme, istilah tersebut menjadi wajar ketika didasari oleh profesionalisme dan kompetensi yang mumpuni. Namun, menjadi buruk ketika hubungan emosional secara kekeluargaan yang lebih dikedepankan. Dengan “postulat family line”, tampaknya susah bagi sekolah untuk melakukan perubahan mendasar ke arah yang lebih baik, hal ini terbukti di sekolah ini, orang-orang yang sangat potensial, memiliki kompetensi, pengalaman dan jaringan yang luas, terpinggirkan hanya karena bukan berasal dari zona FL, pada akhirnya mereka bersifat apatis dengan keberadaan sekolah dan mencai alternative pengembangan diri di luar sekolah. Kelebihannya tidak menjadi added value bagi sekolah, melainkan bak mutiara yang berada di tengah-tengah kegelapan dan ditutupi oleh bungkus hitam.
Keberadaan guru yang secara genetic satu keturunan secara berkepanjangan di satu sekolah, ternyata membuat sistem yang ada tabu dengan perubahan. Layaknya sekolah negeri -bukan yayasan- pemetaan tempat mengajar guru yang memiliki ikatan keluarga dekat, tampaknya perlu dievaluasi. Keberadaan suami istri dalam satu atap, menyempitkan ruang bagi terwujudkanya nilai-nilai profesionalisme, gesekan kepentingan pribadi dengan kepentingan kerja sulit untuk terhindarkan, akibatnya organisasi menjadi kaku, sulit untuk berubah dan buta dengan potensi sumber daya yang berada di luar zona FL. Sebagai guru ekonomi dan akuntansi, menjadi pelajaran bagi penulis bahwa prinsip kesatuan usaha (dimana uang pribadi dan uang hasil usaha harus dipisah) dalam bisnis sangat kuat alasannya. Ketika kepentingan keluarga dan sekolah tercampur, maka sulit profesionalisme itu terwujud.
Padahal, sistem yang cenderung konservatif, kini akan tertinggal jauh oleh perkembangan zaman, percepatan perubahan kini menjadi keniscayaan, maka hanya orang-orang yang bisa beradaftasi dan sensitive dengan perubahan itulah yang dapat menarik manfaat dari perkembangan zaman. Demikian halnya dengan lingkungan sekolah, kepala sekolah dan guru hendaknya peka dengan perubahan, perkembangan dunia IPTEK, termasuk dunia manajemen yang semakin modern, serta tuntutan profesionalisme terhadap profesi pendidik yang kini kian kuat, hendaknya disikapi secara progresif, agar dunia pendidikan di persekolahan semakin berkualitas dan melahirkan lulusan yang mumpuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar