Selasa, 17 Februari 2009

Ekonomi Syariah

Saatnya Membumikan Ekonomi Syariah
Oleh: Herkan Firmansyah, S.Pd, M.Pd


Rontoknya ekonomi Amerika Serikat menjadi bukti rapuhnya sistem ekonomi kapitalis yang dielu-elukan oleh para penganutnya, tak terkecuali ekonomi Indonesia. Sistem demokrasi ekonomi yang mulai tergeser oleh desakan kapitalisme menjadikan pondasi ekonomi nasional bak putri malu yang tersentuh tangan langsung mengkerut.
Momentum tersebut seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi para pegiat pembangunan ekonomi di negeri ini, untuk sejenak melihat tentang jalan yang ditempuh dalam menjalankan roda perekonomian. Sudah benarkah sistem perekonomian dewasa ini yang cenderung kapitalis? Adakah jalan lain yang lebih benar untuk dijungjung tinggi?
Amanah konstituen yang mengisyaratkan penegakan ekonomi kerakyatan kini bak tulisan di atas koran bekas yang tak bermakna. Fenomena melorotnya kondisi ekonomi sebagai imbas ekonomi global-khususnya amerika- harus menjadi indikator bahwa sistem kapitalisme sangat rapuh dan hanya melahirkan kesenjangan yang semakin jauh serta sangat tidak cocok dengan masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas muslim. Sudah saatnya bagi penggerak ekonomi Indonesia untuk kembali ke khittah-nya, mengembalikan kiblat pembangunan ekonomi kearah sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan berlandaskan kepada suprasistem yang transendental, yakni hukum-hukum Allah, serta sesuai dengan akidah mayoritas masyarakat Indonesia, dialah sistem ekonomi islam.
Kerinduan Ummat Akan Ekonomi Islam
Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu. Bahkan jika kita menarik sejarah jauh ke belakang, jauh sebelum tahun 1911, peran dan kiprah para santri (umat Islam) dalam dunia perdagangan cukup besar. Banyak penelitian para ahli sejarah dan antropologi yang membuktilan fakta tersebut.
Dalam buku Pedlers and Princes, (1955), Clifford Geertz, antropolog AS terkemuka, menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang tinggi. Sementara dalam buku “The Religion of Java” (1960), Geertz menulis, “Pengusaha santri (muslim) adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja. Fakta ini merupakan hasil studi, Clifford Geertz, dalam upaya untuk menyelidiki siapa di kalangan muslim yang memiliki etos entrepreneurship seperti “Etik Protestantisme”, sebagaimana yang dimaksud oleh Max Weber. Dalam penelitian itu, Geertz menemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki etos kerja dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang dipengaruhi oleh elemen-elemen ajaran Hindu dan Budha.
Dapatlah dikatakan perkembangan ekonomi syariah yang marak dewasa ini merupakan cerminan dan kerinduan ummat Islam Indonesia untuk kembali menghidupkan semangat para entrepreneur muslim masa silam dalam dunia bisnis dan perdagangan, sebagaimana juga menjadi ajaran Nabi Muhammad Saw dan sunnah yang diteladankannya kepada umatnya.

Momentum Titik Balik
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentumnya untuk tumbuh kembali, sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, setelah mendapat legitimasi legal formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dua tahun setelah BMI berdiri, berdiri pula Asuransi Syariah Takaful di tahun 1994. Berbarengan dengan itu, tumbuh pula 78 BPR Syariah. Pada tahun 1996 berkembang pula lembaga keuangan mikro syariah BMT. Namun Lembaga Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah masih sangat langka. Tercatat, IAIN-SU Medan menjadi Perguruan Tinggi pertama di Indonesia yang membuka Program Studi D3 Manajemen Bank Syari’ah sebagai hasil kerja Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) yang lahir tahun 1990 sebagai realisasi kerjasama dengan IIUM Malaysia. Tazkia, SEBI dan STIE Jogyakarta belum berdiri saat itu. Untuk di Cianjur, Alhamdulillah Fakultas Agama Universitas Suryakancana (UNSUR) mulai tahun 2008 sudah membuka jurusan Ekonomi Islam, suatu perkembangan yang sangat menggembirakan dan patut disambut oleh ummat Islam di Kabupaten Cianjur.
Bertahan Dari Krisis
Pada saat krisis ekonomi 1997, hampir seluruh bank konvensional dilkuidasi karena mengalami negative spread, kecuali bank yang mendapat rekap dari pemerintah melalui BLBI dalam jumlah besar mencapai Rp 650 triliun. Bank-bank konvensional itu bisa diselamatkan dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Krisis tersebut membawa hikmah bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No 7/1992. Pasca UU tersebut sejumlah bank konversi kepada syariah dan membuka unit usaha syariah. Perkembangan itu selanjutnya diikuti oleh lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah. obligasi syariah, pegadaian syariah dan sebelumnya telah berkembang lembaga keuangan mikro syariah BMT.
Dari perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah tersebut perlu dicatat. Pertama, bank syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya dalam masa krisis moneter. Ketika bank-bank konvensional mengalami likuidasi, bank syariah dapat bertahan, karena sistemnya bagi hasil, sehingga tidak wajib membayar bunga pada jumlah tertentu kepada nasabah sebagaimana pada bank konvensional. Kedua, pemerintah telah mengorbankan kepentingan rakyat untuk membantu bank-bank raksasa agar bisa bertahan dengan BLBI yang disusul dengan pembayaran bunga obligasi dan SBI dalam jumlah ratusan triliunan rupiah. Secara ekonomi kenegaraan, Bank-bank konvensional ribawi sesungguhnya adalah parasit bagi perekonomian negara, karena bank riba tersebut telah menguras dana APBN setiap tahun dalam jumlah yang sangat besar. Ketiga, bank-bank syariah sepeserpun tidak dibantu pemerintah, sementara bank konvensional telah menguras kocek keuangan negara mencapai Rp 650 triliunan. Keempat, NPL (kredit bermasalah) bank-bank konvensional sangat tinggi, di atas 20 %. Bahkan NPL bank terbesar mencapai 24 %. Jauh dari ketentuan Bank Indonesia yakni 5%, Sementara NPL bank syariah sangat kecil, sekitar 2 % an. Ini menunjukkan keunggulan bank syariah. Kelima, FDR bank syariah senantiasa tinggi, dalam masa yang panjang bertengger di atas 100 %. Ini menunjukkanbahwa dana pihak ketiga bersifat produktif/diinvestasikan kepada usaha masyarakat. Sementara bank konvensional cukup lama bertengger di angka 30-40 %.
Diperlukan Komitment Ummat
Berkembangnya perbankan syariah dewasa ini menjadi indikator positif dari perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Namun, keberadaanya akan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan komitmen ummat untuk mendukung keberadaanya, jika komitemn ummat lemah, maka niscaya keberadaan bank syariah tersebut tidak akan berlangsung lama. Beralihnya menabung dan mengajukan pembiayaan dari bank kovensional ke bank syariah menjadi salah satu wujud adanya komitmen ummat.


Penulis: Dosen Akademi Keuangan dan Perbankan Islam (AKPI) Bandung dan UNSUR Cianjur, serta Guru MAN Cianjur

1 komentar: