Selasa, 24 Februari 2009

Menakar Kualitas Guru

MENAKAR KUALITAS GURU
Oleh Anang, S.Pd (Guru SMA N 2 Sukabumi)

Dunia pendidikan saat ini berada dalam sorotan tajam, pedas dan membuat gerah banyak pihak; baik praktisi pendidikan, birokrat, pengamat maupun peserta pendidikan. Alasannya cukup nyata bahwa kualitas produk pendidikan di Indonesia rendah dan diragukan (Pikiran Rakyat, 3 Juni). Lalu berbagai evaluasi dilakukan, ragam pelatihan diselenggarakan dan ditingkatkan.

Bagai letupan api yang percikannya menebar, menyebar dan meneruskan bara, semua ikut bicara. Meskipun sedikit ragu dan takut kualat, karena melibatkan nama guru, masyarakat tetap saja melontarkan keluhan itu. Dengan liar, mereka kaitkan semuanya dengan segala ‘ornamen’ pembelajaran; ruang kelas, jumlah siswa, biaya, buku dan sebagainya. Lalu muncul cibiran dan cemoohan. Hal tersebut terus bergulir hingga semua mengarah pada lembaga dan praktisi pendidikan yang paling sederhana; guru dan sekolah. Meskipun kemudian ,dengan terpaksa, mereka kirimkan pula anak mereka ke sekolah yang sedang mereka cibir itu sebagai pilihan terakhir karena, memang, sepertinya tak ada pilihan lain.

Dari situlah tulisan ini berangkat. Ketika pandangan negatif itu mengarah ke sekolah dan guru, saya, sebagai guru dan pengisi salah satu ruang sekolah mencoba untuk menggulirkan sebuah renungan dan sedikit evaluasi.

Mengajar adalah pekerjaan mudah yang tidak bisa dikerjakan semua orang. Mengajar membutuhkan ketekunan, kesabaran, ketelitian yang dibungkus dengan kecerdasan mental, spiritual dan emosional dan, karena itu, untuk meraih gelar pengajar harus melewati fase-fase tertentu dan pada puncaknya meraih gelar Sarjana Pendidikan atau S.Pd atau menurut istilah perundang-undangannya Sertifikat Pendidik (Undang Undang Guru dan Dosen, Bab II dab Bab IV).

Sudah menjadi wacana umum bahwa di tahun-tahun lalu, perguruan tinggi dan institut keguruan tidak begitu menarik minat para siswa berotak sangat cemerlang. Mereka lebih memilih institusi lain yang secara finansial, lulusannya akan lebih beruntung, meskipun secara ekonomis perkuliahannya lebih menanjak. Namun demikian, telah banyak institusi keguruan dan universitas dengan FKIPnya yang telah meluluskan tenaga-tenaga pendidik berkualitas untuk kemudian terjun ke masyarakat. Namun kenyataan serupa terjadi ketika mereka bergelut dalam benturan idealisme sebagai pendidik dan tuntutan kebutuhan hidup lebih layak. Kompetisi pun berlanjut antara kemurnian tujuan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan berpedoman pada pengalaman masa lalu dimana guru, secara finansial, tidak begitu diuntungkan, maka mereka, yang secara akademis dibutuhkan lembaga pendidikan berloncatan ke bidang lain. Hal ini bermuara pada seleksi penerimaan pegawai negeri sipil tenaga keguruan. Sementara pemerintah membutuhkan dengan sangat tenaga pendidik atau guru yang kompeten, mereka enggan turut serta. Padahal kekosongan kursi ini tidak mungkin bisa bertahan lama. Meskipun bukan karena alasan serupa, berbagai diklat dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme keguruan terus dilaksanakan.

Terlepas dari semua itu, saya mencoba untuk menggulirkan seperti apa dan bagaimana tugas dan kewajiban seorang guru sesuai dengan ketentuan yang ditugaskan negara yang kesemuanya termuat dalam Undang Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen dan Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan mengetahui utuh harapan dan cita-cita negara terhadap pekerjaan guru diharapkan semua lapisan masyarakat bisa mengevaluasi sisi mana yang salah ata tidak berperan. Dengan ini pula kita bisa mengukur sebaik atau seburuk apa pekerjaan dan hasil yang timbul akibat pekerjaan ini.

Sedikitnya ada empat komponen pokok tugas seorang guru menurut undang undang tersebut. Tugas itu lebih akrab dikenal dengan tupoksi atau tugas pokok dan fungsi guru. Pertama, merencanakan pembelajaran. Kedua, melaksanakan proses pembelajaran. Ketiga menilai. Dan keempat, mengevaluasi hasil pembelajaran.

Pada tahap awal kegiatan, setiap guru diwajibkan menyusun Rencana Program Pengajaran atau (RPP). Pedomannya adalah materi yang dikembangkan dari standar isi yang secara rinci muncul dalam kurikulum tingkat satuan pelajaran dan silabus. Pekerjaan administratif yang tidak sederhana dan membutuhkan ketepatan perencanaan. Hasilnya adalah sederet agenda yang berupa uraian materi yang terkandung dalam kurikulum yang diuraikan ke dalam bentuk agenda pertemuan. Setiap guru wajib menyusun dengan sangat rinci. Sapaan pembuka, media pembelajaran, porsi waktu dengan aktifitas, sinergisitas langkah kegiatan dan dinamika proses. Hal ini bertujuan agar kegiatan kelas tidak monoton. Guru pun harus mengalokasikan waktu untuk tanya jawab, melakukan kuis sederhana dan catatan harian sebagai bahan evaluasi fsikomotorik siswa. Setiap guru harus menyusunnya dengan lengkap. Lebih jauh lagi, dalam RPP ini guru harus menyusun prakiraan hari efektif dan tidak efektif, rencana ulangan, pertimbangan tugas, porsi waktu pengerjaan tugas dan pekerjaan rumah. Segala rencana ditutup dengan bahan mentah untuk kegiatan evaluasi berupa ulangan, baik bahan materi pelajaran maupun jenis kegiatan tes. Selain itu para guru harus mengalokasikan waktu untuk pengayaan dan remedial yang dilaksanakan khusus untuk para siswa dengan kelebihan dan kekurangan tertentu yang dengan intilah kurikulum disebut standar ketuntasan..

Rencana Program Pembelajaran merupakan pegangan praktis dalam operasional pekerjaan harian para guru. Dari situlah para guru mengukur keberhasilan tugas dan kewajiban mereka. Absensi dan nilai individu senantiasa menjadi pegangan setiap kali mereka bertatap muka dengan para siswa. Dengan jeli dan penuh kasih sayang mereka terus membangun harapan dan keyakinan bahwa semua siswa bisa dan pintar, bahkan suatu saat bisa lebih pintar lagi. Dengan hati-hati mereka juga menelusuri berbagai kemungkinan kelebihan para siswa yang bisa dan mungkin dikembangkan. Catatan harian mereka kumpulkan dari setiap pertemuan untuk kemudian menjadi bahan merenung dan merencanakan agenda pertemuan selanjutnya. Sedekat mungkin hubungan emosional mereka bangun dan coba untuk dilebur agar atmosfir kegiatan di dalam kelas benar-benar dinamis. Sering pula muncul dalam pikiran mereka rasa waswas dan ketakutan kalau-kalau mereka telat dan ketinggalan kereta saat menyampaikan bahasan materi. Mereka tidak boleh keteter saat menghadapi siswa ‘super’ dan gaul. Namun pula mereka tidak boleh melaju terlalu cepat dan meninggalkan para siswa tertentu yang hanya bisa berjalan kaki.

Selanjutnya para guru melakukan evaluasi. Dengan berpatokan pada bahan ajar yang termuat dalam rencana program pembelajaran dan catatan harian, mereka menyusun ulang bahan evaluasi atau lebih akrab dikenal dengan istilah ulangan. Mereka wajib melakukan itu disetiap penghujung bahasan materi. Mereka wajib mengembalikan atau menunjukkan hasil ulangan tersebut kepada para siswa. Ada dua kegiatan yang harus mereka lakukan sebagai langkah tindak lanjuti dari ulangan ini yakni meremedial bagi yang belum mencapai tingkat pemahaman minimal dan melanjutkan bahasan.

Demikianlah, bentuk sederhana dari tugas pokok keguruan. Sekilas nampak mudah dan ringan. Dan, selama kesabaran dan kecerdasan emosional kuat menyertai ditambah kecerdasan berlogika, kegiatan belajar mengajar pasti tidak akan berjalan monoton dan membosankan. Guru harus mampu mengorkestrasi peserta didik (Dave Meier, 2002).

Lepas dari tugas pokok, seorang guru memiliki kewajiban yang tertancap begitu kokoh. Ia tegak berdiri dan angkuh. Dialah gelar guru yang secara sosiologis memiliki nilai magis dan magnetis yang kuat dalam masyarakat. Seperti kata pepatah asing ‘A teacher does not teach what he knows,… A teacher teaches what he is,…’ yang artinya kurang lebih ‘bahwa guru tidak mengajarkan apa yang ia tahu, guru mengajarkan siapa dirinya.’ Disinilah tantangan sebenarnya yang harus sanggup dihadapi seorang guru. Bagaimana ia harus menjaga moral diri dan keluarganya. Ia harus menstabilkan pembagian waktu dan tenaga untuk membina siswanya di sekolah dan melindungi keluarganya di rumah dan pergaulan masyarakat yang penuh tantangan. Kecenderungan masyarakat yang sering memandang guru sebagai tokoh primer dalam segala hal sering pula menjadi tugas lain yang tak jarang membebani tugas profesionalisme seorang guru. Didaerah terpencil, misalnya, tidak jarang menganggap guru sebagai seorang yang serba bisa yang oleh karena itu menjadikannya ‘dokter’ masyarakat. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang negatif. Namun secara teknis tugas jelas akan berpengaruh.

Sedikit meloncat dari tugas guru sebagai tenaga pengajar, dimana ia harus memenuhi kewajiban menyampaikan bahan ajarnya, seorang guru memiliki kewajiban lain di sekolah. Guru adalah petugas keamanan, polisi, hakim, pengacara, seniman, promotor, entertainer, model, mitra sejati dan banyak lagi jabatan lainnya saat ia berada di sekolah, sebagai negara kecil (Thomas Armstrong, 2002). Guru tidak boleh berkata tidak bisa atau tidak mau secara langsung. Dengan segala kecerdikannya guru harus mampu menunjukkan sikap bahwa ia mampu menunjukkan sesuatu yang bernilai positif bagi anak didiknya (Bobbi Depotter, 1997). Jabatan-jabatan itu harus mampu ditunjukkan seorang guru ketika berinteraksi dengan sejuta karakter siswa, orang tua dan masyarakat sekitar. Dengan berbekal kemampuan sederhana para guru dituntut pula untuk mampu memposisikan diri dalam jabatan; wali kelas, pembina eks skul, dan seabreg tanggung jawab yang harus dipikul dalam beberapa kegiatan seperti gelar seni, program pengalaman lapangan, perpisahan, kunjungan ilmiah, study tour/banding dan berbagai kegiatan lomba dan pembinaan karir dan kesiswaan.

Sedikit saja ia menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuannya, para guru harus siap pula dengan gunjingan dan cemoohan para siswanya seakan mereka belum atau tidak pernah diajarkan akan buruknya kebiasaan mencemooh. Satu solusi yang harus kental melekat dalam setiap langkah para guru adalah konsistensi pada kejujuran tujuan pendidikan, keteguhan tekad untuk berani bekerja keras dan siap untuk menerima perubahan dan tantangan jaman. Komitmen yang kokoh dalam kesanggupan untuk memperbaiki diri dan menjaga kredibilitas profesionalisme.

Guru adalah pelaksana yang sekaligus juga berperan sebagai pengendali dalam mengontrol kualitas pendidikan. Sudah selayaknya mereka terbebas dari beban hidup yang mendasar sehingga mereka bisa berkonsentrasi penuh untuk memikirkan dan merumuskan agenda pekerjaan terbaiknya. Dengan terpenuhinya hal ini maka kualitas hasil pendidikan generasi mendatang dijamin akan nampak dan lebih gemilang.

Penilis adalah guru mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 2 Kota Sukabumi

1 komentar:

  1. Artikel ini sungguh menginspirasi saya.
    Salam silaturahim dari Pekalongan.

    BalasHapus