PEMBELAJARAN EKONOMI BERBASIS NILAI TAUHID
Oleh : Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd*)
Dominasi nilai-nilai ekonomi kapitalis-liberalis dalam tatanan perekonomian nasional tidak terlepas dari peran serta dunia pendidikan yang melahirkan pelaku-pelaku ekonomi, dunia pendidikan secara mikro yang memberikan pengaruh dalam proses pembentukan pemahaman para pelaku ekonomi diantaranya adalah satuan pendidikan atau sekolah.
Fenomena di lapangan menunjukan bahwa kurikulum pengajaran ekonomi di persekolahan cenderung lebih menekankan kepada pembentukan pengetahuan anak (kognitif), indikatornya dapat dilihat dari buku sumber yang menjadi rujukan para pendidik dan peserta didik yang lebih berorientasi kepada aspek materi (subject matter oriented), serta proses evaluasi belajar mengajar yang biasa dilakukan, baik di tingkat satuan pendidikan maupun pada tingkat regional dan nasional hanya mengukur aspek-aspek kognisi siswa dengan mengabaikan aspek afeksi. Hal tersebut sebetulnya kontra produktif dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3.
Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional menandakan bahwa yang menjadi bahan ajar dan proses evaluasi pendidikan hendaknya bukan semata aspek kognisi, melainkan afeksi dan psikomotor dipadukan menjadi konsep yang utuh. Tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.
Praktek pendidikan di persekolahan justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.
Fenomena tersebut di atas, bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah umum, melainkan juga di lingkungan sekolah yang berciri khas keagamaan yaitu Madrasah, padahal sebagai sekolah yang berciri khas keagamaan seharusnya lebih banyak mengusung nilai-nilai agama yang dijabarkan kedalam semua mata pelajaran, bahkan apabila nilai keagamaannya bersumber dari agama Islam, maka sesungguhnya Islam memiliki konsep yang jelas tentang pendidikan.
First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977 merumuskan sebagai berikut :
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN). Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji.
Ekonomi sebagai disiplin ilmu yang menjadi bahan ajar di sekolah, hendaknya juga dilandasi oleh nilai-nilai fundamental Islam, khususnya nilai tauhid, sehingga tidak ada dikotomi antara ilmu ekonomi yang dipahami peserta didik dengan nilai-nilai tauhid yang menjadi keyakinannya. Nilai-nilai tauhid merupakan nilai-nilai dasar sebagai nilai derivasi pertama dari nilai Illahiah yang dapat memberikan arah dan warna bagi gerak langkah manusia dalam menjalankan aktivitasnya, apabila nilai tersebut terintegrasikan kedalam semua bahan ajar di sekolah, maka gerak langkah peserta didik akan senantiasa berjalan dalam kolidor yang benar.
Ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai tauhid, rambu-rambu halal haram dan nilai-nilai etika jelas di gariskan dalam Islam sebagai pedoman agar upaya manusia dalam melakukan kegiatan ekonominya tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi sesama dan makhluk lainnya. Pada dasarnya, pengajaran ekonomi syarat dengan nilai, baik itu nilai ketuhanan, filsafat, edukasi, teoritis maupun praktis. Nilai-nilai tersebut pada hakikatnya merupakan landasan dalam pengembangan dan perwujudan manusia seutuhnya. Oleh karenanya, pengajaran ekonomi bukan hanya bertujuan agar peserta didik menguasai pengetahuan semata, melainkan juga membentuk manusia yang sadar akan esksistensi dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Nilai-nilai tauhid selayaknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan tujuan instruksional, termasuk dalam mata pelajaran ekonomi. Pentingnya aktualisasi nilai-nilai keimanan dalam bahan ajar di sekolah ditegaskan pula oleh B.J Babibie bahwa pendidikan tanpa diikuti internalisasi nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan etika akan berjalan tanpa arah, bahkan berpotensi besar menimbulkan kerusakan di muka bumi (Pikiran Rakyat, 27 Agustu 1999).
Dengan dasar tauhid seorang peserta didik akan sadar tentang tugas dan kewajibanya sebagai seorang murid dan hamba Allah, serta akan memiliki keyakinan bahwa semua yang ada di alam ini adalah ciptaan Tuhan, semuanya akan kembali kepadaNya dan segala sesuatu yang berada dalam urusanNya, sehingga segala sikap dan tingkah laku keseharianya tidak terlepas dari jiwa dan semangat tauhidiyah, termasuk dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Integrasi nilai-nilai tauhid dalam pembelajaran ekonomi di sekolah kini menjadi keharusan dan sangat mungkin untuk dimulai, terlebih dalam praktek di lapangan, dewasa ini sedang diberlakukan kebijakan desentralisasi pendidikan yang salah satu instrumennya adalah perubahan pola pengembangan kearah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya sekolah diberi keluasan merancang, mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang dapat dimunculkan oleh sekolah. Hal tersebut menjadi peluang bagi perumusan kurikulum sekolah, khususnya kurikulum ekonomi yang terintegrasi dengan nilai-nilai Tauhid.
*) Penulis adalah Guru Ekonomi MAN Cianjur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar