Harmonisasi Ekonomi dengan Agama
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd
Pada zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam), yaitu pada abad ke-7 sampai ke 14, ekonomi dan agama itu bersatu. Sampai akhir tahun 1700-an di Barat pun demikian, ekonomi berkait dengan agama. Ahli ekonomi Eropa adalah pendeta. Pada zaman pertengahan, ekonomi skolastik dikembangkan oleh ahli gereja, seperti Thomas Aquinas, Augustin, dan lain-lain. Namun karena adanya revolusi industri dan produksi massal, ahli ekonomi Barat mulai memisahkan kajian ekonomi dari agama. Keadaan ini merupakan gejala awal revolusi menentang kekuasaan gereja dan merupakan awal kajian ekonomi yang menjauhkan dari pemikiran ekonomi skolastik. Sejak itu, sejarah berjalan terus sampai pada keadaan di mana pemikiran dan kajian ekonomi yang menentang agama mulai mendingin.
Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka menyadari kembali betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral, dan human. Ekonom Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, menyusun kembali ilmu ekonomi yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa. Kemudian muncul juga kajian ekonomi baru dengan pendekatan humanistis dari Eugene Lovell dalam bukunya yang terkenal Humanomics dan dari E.F Schumacher yaitu Small is Beautifull, Economics as if People Material. Keduanya menyadari bahwa menghilangkan hubungan kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan dan tidak bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta. Kesadaran ini tumbuh setelah semua menyaksikan hasil model pembangunan sosial-ekonomi yang berasaskan model liberal-kapitalistis dan teori pertumbuhan neoklasikal serta model marxist dan neomarxist yang mengutamakan materialistis hedonisme berupa kemiskinan ditengah kemakmuran, konsumerisme, budaya permissive, dan rupa-rupa bentuk pop-hedonisme, gaya hidup yang sekuler dan sinkretis, serta keadaan lainnya yang bertentangan dengan nilai kemanusian dan nilai agama.
Kajian ekonomi pada abad ini (the age of reason) tidak hanya bertolak dari asas kapitalisme dan asas marxisme, melainkan bertolak juga pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta. Ekonomi yang memiliki nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis). Ekonomi yang dapat membebaskan manusia dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan, dan segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak manusiawi, yaitu ketidakadilan, kerakusan, dan ketimpangan. Ekonomi yang secara historis-empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue committed), dialah ekonomi Syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan pedoman tingkah laku bagi manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi merupakan bagian dari tingkah laku manusia. Oleh karena itu, ilmu dan aktivitas ekonomi haruslah berada dalam Islam. Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu agama Islam. Karena itu, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari suprasistemnya yang digali dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ilmu ekonomi harus berasaskan iman, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
”Celakalah (siksalah) untuk orang-orang yang menipu. Bila mereka menimbang dari manusia untuk dirinya, mereka sempurnakan (penuhkan). Dan, bila mereka menimbang untuk orang lain, mereka kurangkan. Tiadakah mereka menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Pada hari yang besar (kiamat)? Yaitu pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-Muthaffifin 1-6)
Dalam tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah dan Hari Pengadilan sebagaimana firman Allah yang artinya:
”Telah kami utus ke negeri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata, ”hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripada-Nya; dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan dan aku takut terhadap kamu akan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan hak orang sedikit juga dan jangan pula berbuat bencana di muka bumi sebagai perusak. Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamu orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, ”Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (Hud: 84-87)
Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah kepada Allah. Kekayaan ekonomi adalah suatu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasan hidup dalam rangka meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepa Allah. Mencari dan menimba kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmatinya tidaklah dikutuk Allah sepanjang diakui sebagai karunia dan amanat Allah. Adapun yang terkutuk adalah apabila kekayaan itu dijadikan sesembahan yang utama dalam hidupnya. Iman dan takwa kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dengan segala aspeknya. Corak ini menampilkan arah dan model pembangunan yang menyatukan pembangunan ekonomi dengan pembangunan agama sebagai sumber nilai (central/core value). Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi, distribusi, dan konsumsi harus menggunakan pertimbangan nilai agama dan bukan oleh determinisme mekanistis ekonomi lainnya seperti pada kapitalisme dan marxisme.
Islam sejak risalah Muhammad saw sampai kepada suatu zaman yang disebut the Golden Age of Islam, lalu ke zaman pembekuan dan kegelapan (the Dark Age) merupakan pengalam empiris dan sebagai batu ujian bagi pemikir muslim era globalisasi untuk membangkitkan kembali Islam yang akan mewarnai abad ekonomi modern dewasa ini, baik di tingkat nasional, regional maupun global. Pertemuan para ahli ekonomi muslim sedunia dalam International Conference for Islamic Aconomics yang pertama di Mekah tahun 1976 telah mendorong gairah untuk menggali nilai Islam bagi ekonomi bangsa sedunia di tengah-tengah krisis kehidupan akibat sistem ekonomi kapitalis-individualistis dan marxis-sosialistis. Konsep ekonomi Islam mampu mengentas kehidupan manusia dari ancaman pertarungan, perpecahan akibat persaingan, kegelisahan dan kesirnaan akibat kerakusan, dan ancaman-ancaman keselamatan, keamanan serta ketentraman hidup manusia, kepada kehidupan yang damai dan sejahtera.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar