Selasa, 24 Februari 2009

Bahasa Sunda sbg Pengantar

BAHASA SUNDA SEBAGAI BAHASA PENGANTAR PENDIDIKAN
Oleh: Dra. Hj. Rita Sumarni (Guru SMP Negeri 12 Bandung)

Artikel ini terilhami oleh ide pokok dari essai yang berjudul Bahasa Sunda Sebagai Bahasa Pengantar Pendidikan yang di tulis oleh Alwasilah (2006) yang memesankan bahwa pengembangan pendidikan dilakukan dengan pendekatan budaya lokal, implikasinya antara lain dengan menjadikan Bahasa Sunda (BS) sebagai bahasa pengantar pendidikan di lingkungan pendidikan persekolahan.
Merujuk kepada esai yang tertuang dalam essai tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa yang menjadi latar lahirnya ide pokok di atas adalah sebagai berikut:
1) Adanya fatwa global dari UNESCO (1951) yang mengungkapkan bahwa pendidikan seyogyanya disampaikan dengan medium bahasa ibu mengingat tiga alasan. Pertama, secara psikologis, siswa memiliki kelekatan emosional terhadap bahasa ibu; kedua, secara soiologis, bahasa ibu dipergunakan secara produktif di luar kelas dan dalam keluarga; ketiga, secara edukatif, pengetahuan akan mudah dicerna oleh siswa manakala disajikan melalui bahasa yang telah diakrabinya.
2) Sejarah pendidikan di pesantren menjadi saksi bahwa BS memiliki vitalitas tinggi sebagai medium pembelajaran, dari 2.969 pesantren yang ada di Jawa Barat, lebih dari 50 % diantaranya menggunakan BS sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran, hasilnya dapat terlihat dalam fenomena kehidupan bermasyarakat bahwa alumnus pesantren tampil di tengah masyarakat sebagai guru dan pemimpin nonformal yang berjasa dalam upaya mencerdaskan dan mengelola bangsa.
3) Opportunity di Jawa Barat untuk menjadikan BS sebagai bahasa pengantar pendidikan sangat mendukung, idikatornya antara lain:
(1) Mayoritas penduduk Jawa Barat yang berjumlah 23 juta jiwa tinggal di pedesaan dan menggunakan BS sebagai medium komunikasi sehari-hari. Di antara jumlah itu tercatat ada 5.325.030 siswa SD dan mereka akan lebih mudah mencerna informasi melalui bahasa yang sangat diakrabinya.
(2) Menurut data statistik, rata-rata lama pendidikan penduduk Jawa Barat pada tahun 1999 adalah 6,8 tahun (Indonesian Development Report, 2001) artinya peningkatan kualitas pendidikan harus berfokus pada SD dan SMP.
(3) Selama ini para pembela BS mengkhawatirkan matinya BS karena minimnya waktu bagi pengajaran BS, jika BS dipakai sebagai sebagai bahasa pengantar pendidikan, kekhawatiran seperti itu tidak perlu diperdengungkan lagi.

Seiring dengan berkembangnya gagasan BS untuk dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, muncul keraguan dari stakeholder yang dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut, Pertama; Pada masa Orba, pemerintahan sangat sentralistis sehingga pemerintah daerah tidak berani mengambil resiko dicurigai melawan pemerintah pusat. Salah satu akibatnya pengembangan bahasa-bahasa daerah dan budayanya secara perlahan tapi pasti terkikis serta vitalitas BS sebagai alat bernalar ikut terlemahkan pula.Kedua;BS dan bahasa daerah pada umumnya dianggap tidak mampu menjadi medium sains dan teknologi, padahal dalam pendidikan pesantren BS terbukti mampu menjadi medium pengajaran moral, filsafat dan pendidikan pada umumnya.
Esai tersebut cukup inspiratif bagi para stakeholder pendidikan untuk lebih memberdayakan bahasa ibu sebagai medium pendidikan, khususnya di lingkungan Sekolah Dasar (SD), namun demikian terdapat beberapa catatan; Pertama, Eksperimen menjadikan BS sebagai bahasa pengantar pendidikan di SD pedesaan memang memungkinkan, namun demikian hal tersebut perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya yang memadai seperti ketersediaan sumber ajar (buku pelajaran dalam bahasa sunda) dan kompetensi bahasa sunda para guru. Keterbatasan media ajar dalam bahasa sunda dan lemahnya kompetensi guru dalam BS akan menjadi hambatan tersendiri jika tidak dibangun seiring dengan proses eksperimen.Kedua, Agar siswa tidak gagap ketika masuk ke jenjang pendidikan lanjutan, atau ketika berinteraksi dengan SD lainya yang tidak menggunakan BS, dan ketika membaca sumber ajar dalam bahasa Indonesia maka alokasi jam pelajaran BI di lingkungan SD yang menggunakan BS sebagai bahasa pengantar pendidikan perlu di tambah.Ketiga, Dalam persfektif semangat otonomi daerah penggunaan BS sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan memang cukup positif, namun dalam persfektif global hal tersebut mungkin akan menjadi hambatan tersendiri, kemungkinan pudarnya BI sebagai alat pemersatu bukan hal yang mustahil, jika gengsi dan kelekatan emosional anak sudah amat dalam terhadap BS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar