Selasa, 24 Februari 2009

UAN 1

UJIAN NASIONAL
Cerita Pendek Anang Diar

Kamis, pukul 11.45.
”Pak, sebentar lagi akan ada pertemuan penting, tertutup. Tidak semua diundang, tapi saya harus masuk,” bisik Bu Retni ditelingaku.
“Tentang apa?” aku pura-pura tidak tahu.
“Yang kemarin kita obrolkan. Tapi sepertinya saya tetap pada pendirian saya. Saya tidak ingin terlibat apa-apa.”
“Oh, inilah medan perang kita, Bu. Good luck! “ jawabku sambil tersenyum hangat. Seandainya dia laki-laki sudah aku tepuk-tepuk pundaknya. Dia balas tersenyum meskipun aku menemukan kegundahan di wajahnya. Ia bergegas meninggalkan mejaku. Akupun segera membereskan meja yang penuh dengan buku dan lembaran kertas ulangan. Pikiranku tidak bisa lepas dari berbagai obrolan tersembunyi yang secara kebetulan masuk ke telingaku. Panitia bayangan akan segera dibentuk dan yang dilibatkan adalah mereka yang memegang mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional, dan itu berarti mata pelajaran yang aku ajarkan. Aku akan menjadi bagian dari mereka yang ikut kepanitiaan.

Kamis, pukul 12.30.
“Kok, sudah selesai?”
“Pak, ada yang ingin saya obrolkan. Tapi sepertinya tidak sekarang, nanti sore saya telepon.” matanya sayup. Masih kegundahan yang aku temukan. Tingkahnya kaku. Pasti dia telah mengambil keputusan yang salah, atau sesuatu yang membuatnya terpaksa harus ragu-ragu. Perempuan kadang didominasi kepasrahan.

“Mungkin, malam lebih leluasa, Bu. Sore ini saya pulang agak telat. Ada beberapa anak minta les tambahan,”
“Bolehlah,” Jawabnya sambil mengangguk. Sejenak aku diam mematung. Otaku berputar-putar menebak isi pertemuan yang baru saja dilewati Bu Retni. Agenda rapat kadang mudah ditebak. Tapi yang ini tidak.

Kamis, 20.30
Aku baru pulang dari mesjid. Setiap malam Jum’at ada pengajian rutin.
“Bang, ada telepon dari Bu Retni. Tadi sebelum I’sya. Katanya penting, ada apa sih Bang?” istriku mulai terusik. “Yang kemarin itu ya? Masalah ujian anak-anak?”
“Ya,” aku narik nafas panjang. Membuka peci dan menyimpannya di atas lemari. Kadang ketika kehabisan bahan obrolan dengan istri, aku bercerita apa saja termasuk isu-isu yang menjadi obrolan hangat di kantorku, di sekolah. Dan seperti biasa istriku menanggapinya dengan sangat serius.
“Baiknya Abang jangan ikut-ikutan, ya Bang. Saya takut, itu dosa, lho Bang. Bagaimana pun juga itu kan bentuk kelicikan atau…yah, setidaknya bohonglah kita pada pemerintah, atau diri sendiri,”
“Alasanku juga sama.” Aku diam lalu duduk setengah melemparkan badanku di kursi rotan yang hanya itu kursi yang ada di rumah kami. “Beberapa teman yang sebelumnya sependapat denganku tiba-tiba berubah. Katanya, anak-anak kita sedang terdholimi, dan kita, para guru, harus membantu.”
“Terdholimi bagaimana?”
“Ya, kesewenangan penguasa, pemerintah,”
“Yah, tapi kalau kita membalas mereka dengan kecurangan apa tidak berarti membalas dengan kedzoliman yang sama. Ajaran agama kita kan tidak demikian, Bang,?”
“Beberapa dari anak yang mau ujian adalah anak-anak guru yang mengajar di sana,” aku menatap wajah istriku. Beberapa hari yang lalu kami sempat membicarakan seandainya anak kami yang menjadi peserta ujian. “Bagaimana jika anak kita, Bu, yang akan ujian Esok?”
Istriku beringsut ke dapur. Biasanya ia seperti itu. Ia tidak tahan dengan perdebatan. Aku tahu maksud dari tindakannya seperti halnya aku faham pertanyaan terakhir pada istriku. Ketika anaku yang menjalani ujian, itu bukan alasan yang kuat untuk membuatku boleh berbuat curang. Akupun menuju meja yang penuh dengan lembaran hasil ulangan muridku dan menunggu sentuhan tanganku untuk diperiksa. Pikiranku terus melayang tentang apa yang akan terjadi besok.

Jumat, 06.45
Aku sengaja tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Aku harus melanjutkan untuk memeriksa hasil ulangan yang tidak tuntas tadi malam.
“Bagaimana yah, Pak, kita tunjukan sikap kita?”
“Bu, saya yakin banyak teman-teman kita yang lain yang sependapat. Mungkin kawan-kawan kita di sekolah lain. Bagaimana kalau kita galang kekuatan dan kita bentuk satu gerakan,” aku sedikit berapi-apa. Aku lupa kalau istilah-istilah ini lebih pas digunakan di dunia mahasiswa, bukan dunia yang sedang aku hadapi sekarang.
Bu Retni nampak kebingungan. Entah karena tidak mengerti atau tidak setuju dengan pendapatku. “Menurut desas-desus, Bapak Kepala Sekolah ditekan oleh pihak dinas. Dan kasus seperti ini bukan di sekolah kita saja, Pak. Sekolah lain bahkan jauh lebih dulu membentuknya.” Mata Bu Retni nampak memicing. Kerut dikeningnya menunjukan bahwa dia sangat yakin.
Aku terdiam. Aku ingin menunjukan sikap yang tidak begitu kaget. Aku ingin nampak bahwa hal itu harusnya tidak ditanggapi sebagai berita. Aku ingin hal ini disikapi dengan sebuah gerakan. Dan sepertinya bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
“Saya sudah bertemu teman-teman dari sekolah lain. Mereka sepertinya merasakan hal yang sama, Bu. Tapi mereka belum berani mengambil tindakan. Kalau sikapnya sudah bisa saya baca. Saya kenal sejak saya di kampus dulu.”
“Pak, kita sepertinya sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, Bu? Kita masih ada waktu, kan? Kecuali kalau Ibu mau menyerah begitu saja. Dan saya yakin Ibu tidak akan melakukannya.”
Bu Retni terdiam. Sebagai junior aku seharusnya bisa lebih santun berucap. Aku merasa bersalah dengan kalimat-kalimat terakhirku. Sepertinya dia merasa tersudut, seperti kebiasaan perempuan. Aku masih ingat kalau ada tanggungjawab yang harus diberikan kepada atasan. Hal ini berbeda dengan yang biasa aku temukan di dunia kerja yang lain. Disini harus ada kerelaan, harus ada kepasrahan, ketaatan, loyalitas dan sederet kata lainya yang artinya sama, aku harus menurut kata pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah. Dialah kepala setiap kepala yang ada disini. Kebijakannya adalah motor yang menggerakan roda kegiatan.
“Saya tidak bisa diam, Bu. Saya harus melakukan sesuatu,”
“Silakan saja, Pak. Yang menurut bapak pantas dilakukan, lakukanlah,”
Aku kaget. Sepertinya ucapan itu adalah tanda pengunduran dirinya dalam diskusi ini. Aku diam dan menghentikan gerakan mata dan tanganku di atas lembaran kertas ulangan.
“Setidaknya saya sudah mengatakan isi hati saya, Pak. Saya tidak bisa lagi berbuat banyak. Anak-anak menunggu kerja nyata dari saya,” Ia menatapku. Bola matanya menurun. Dalam ketidakyakinan ia berkata lagi bahwa tugasnya adalah mengajar dengan baik. Sayup aku dengar. Bukan karena suara yang melemah namun pikiranku yang telah melayang jauh. Aku menyadari ketidakberdayaanya.
“Bu, nanti siang saya akan menghadap kepala sekolah. Setidaknya saya bisa mendengar darinya langsung.”
“Baguslah, Pak. Saya dukung. Tapi saya tidak bisa menyertai.” Ia lalu diam.
Aku mengerti bahwa ia sedang berharap untuk tidak ditanya lebih lanjut. Ia tidak berharap aku bertanya kenapa. Aku mengangkat alisku cepat. Aku tersenyum. Aku ingin tunjukan sikapku yang optimis.

Jum’at, 09.40
Bel istirahat berbunyi. Aku bergegas meninggalkan kelas. Setelah menyimpan semua buku bahan ajar, aku langsung menuju ruang kepala sekolah. Hari Jum’at biasanya tidak begitu banyak tamu. Dan benar. Aku langsung masuk dan disambutnya ramah.
“Langsung saja, Pak. Saya mendengar dari bisik teman-teman tentang isu adanya panitia bayangan dalam ujian nanti,” Aku diam. Berharap ia langsung menyambar masalah yang aku maksudkan. Aku menatap wajahnya. Garis wajahnya yang lelah semakin jelas terlihat. “Saya berharap isu itu tidak benar. Tapi saya sengaja kemari dan menanyakanya kepada Bapak untuk lebih yakin,” aku diam sejenak.
Kepala sekolah menatapku tajam. Aku tidak bisa mengartikan apa-apa dari sikapnya. Mungkin marah mungkin juga ada hal lainya. Kemudian ia berdiri. Aku semakin tidak mengerti. Pikiran aneh mulai menyeruak di kepalaku. Aku masih ingat berita tentang seorang perwira polisi yang tega menganiaya bawahanya karena hal yang tidak ia sukai. Kemudian ia melangkah menuju jendela lalu berdiri membelakangiku. Diluar nampak anak bejubel menuju ruang kantin. Sepertinya tidak ada tempat lain yang lebih pantas mereka datangi saat istirahat.
“Pak Mat,” dia memanggilku pelan. Namun suaranya cukup mampu memecahkan lamunanku yang liar. “Tengoklah kemari,”
Perlahan aku berdiri dan mencoba memperhatikan apa yang sedang diliat kepala sekolah. “Ya, Pak,” jawabku pelan.
“Lihatlah mereka,” ia terdiam sejenak. Dan aku pun mencoba memperhatikanya. “Dengan segala keterbatasan mereka jalani aktifitas. Saya sangat beruntung bisa dipercaya menjadi salah satu pendidik mereka. Ketika para orang tua yang kebanyakan orang kurang mampu mencoba menaruhkan harapan di pundaknya, mereka berharap agar suatu ketika nasib mereka jauh lebih baik. Dan tiba-tiba ada kenyataan pahit yang tanpa sadar sedang diundi. Beberapa hari lagi nasib mereka bergantung pada hasil undian.” Kemudian ia berbalik dan menatapku tajam. “Faham, kan, maksud saya?” aku terdiam. Mencoba memahami gejolak yang mendorong kepala sekolah membuat keputusan seperti itu. Haruskah aku terus berdiri di sini. Ataukah segera beranjak dan meninggalkan orang dengan pemahaman yang sedikit berbeda denganku. Mungkinkan aku mengambil keputusan yang sama jika aku berada pada posisinya. Ataukah mungkin akan lebih buruk lagi. Kemudian pikiranku kembali melayang pada janji kepegawaianku, keyakinan agamaku, pesan istriku, kondisi orang tua siswa, masa depan anak…dan sekian banyak masalah lainya.

Sebulan kemudian.

Suatu sore. Sekolah hening. Pengumuman kelulusan ditempel di dinding papan pengumuman. Siswa lulus seratus persen. Namun kebahagiaan kami sudah lama terjual. Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap papan pengumuman. Kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar