Menyoal Problematika Pengajaran Bahasa Arab
Oleh : DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd (Dosen UPI)
Kenyataan yang kita hadapi bahwa sesungguhnya kondisi pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah/sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan. Kendala atau tantangan tersebut paling tidak dapat terlihat dalam beberapa hal berikut :
Pertama, dari segi edukatif. Pengajaran bahasa arab masih relatif kurang ditopang oleh faktor-faktor pendidikan yang memadai. Yang dimaksud faktor-faktor disini diantarnya faktor kurikulum (termasuk di dalamnya orientasi dan tujuan, materi dan metodologi pengajaran serta sistem evaluasi), tenaga edukatif, sarana dan prasarana.
Kedua, dari segi sosial budaya pada umumnya peta pengajaran bahasa Arab berada dalam lingkungan sosial yang kurang kondusif kecuali di lingkungan pendidikan seperti Pondok Modern Gontor, LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan lain-lain. Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat kita dihadapkan pada “Pertunjukan Budaya Barat” dengan segala macam pengaruhnya melalui media elektronik semacam RCTI, SCTV dan lain-lain. Dalam hal ini patut dicatat bahwa “cultural show” berbahasa Inggris yang disajikan dalam bentuk film-film dan acara lainnya, sedikit banyak mempengaruhi iklim pengajaran bahasa Arab. Kemudian fenomena umum ummat Islam kita cenderung sudah merasa puas kalau sudah pandai membaca al-Quran, walaupun tidak mengerti artinya, padahal untuk bisa paham Al Qur’an tidak hanya cukup bisa membaca, melainkan tahu artinya dan bahasa arab merupakan entry point untuk itu.
Ketiga, faktor linguistik bahasa Arab itu sendiri, selama ini nampaknya masyarakat kita termasuk para siswa di madrasah cenderung mempunyai kesan bahwa mempelajari bahasa Arab itu jauh lebih sulit daripada mempelajari bahasa asing lainnya, kemudian jika mereka mempelajari bahasa Arab banyak dimotivasi oleh kepentingan yang bersiat religius ideologis daripada kepentingan praktis pragmatis. Peranan bahasa arab juga masih dikatakan marginal, masyarakat pada umumnya tidak merasa perlu mempelajari bahasa Arab sebagaimana halnya mempelajari bahasa Inggris atau bahasa lainya, Keempat, dari segi politik dan diplomasi luar negeri. Dapat dilihat bahwa selama ini kita belum banyak memanfaatkan peluang dengan negara-negara yang berbahasa Arab, dalam bentuk kerjasama di bidang-bidang yang cukup strategis, seperti ekonomi dan pendidikan. Selama ini nampaknya bahasa Arab baru didayagunakan dalam rangka pengiriman TKI ke negara-negara Teluk, tapi itu pun belum maksimal. Padahal dengan poitik dan diplomasi yang menyeluruh kita akan bisa membuka peluang-peluang baru yang lebih menguntungkan untuk pendayagunaan bahasa Arab dalam bidang, yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi semangat kita dalam mempelajari bahasa Arab.
Seiring dengan dinamika dan kemajuan abad informasi dan globalisasi dewasa ini, nampaknya sudah saatnya kita berupaya mengikis atau bahkan menghilangkan kesan umum bahwa mempelajari bahasa Arab itu sulit. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu menambahkan kesadaran bersama bahwa mengerti dan menguasai bahasa Arab itu tidak hanya penting untuk menopang pemahaman kita terhadap ajaran Islam, melainkan penting juga untuk didayagunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Mengubah atau memperbaharui “motivasi kesadaran” masyarakat agar cinta bahasa Arab memang bukan pekerjaan mudah oleh karena itu, diperlukan beberapa pendekatan sebagai berikut :
Pertama, pendekatan edukatif. Pendekatan ini bisa diakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan cara bahwa setiap pengajar bahasa Arab dan agama Islam hendaknya mampu menumbuhkan motivasi dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa Arab. Tentu terlebih dahulu para pengajar itu membekali dirinya dengan kemampuan berbahasa Arab dan menguasai metode dan teknik mengajarkannya serta faktor kurikulum, sarana dan prasana juga harus diupayakan untuk lebih mendukung. Dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Arab, nampaknya kita perlu membenahi kembali sistem pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan tinggi kita. Sekurang-kurangnya alokasi waktu yang memadai agar dapat mencakup materi-materi yang bukan bersifat ke-Islaman saja, melainkan juga bersifat keilmuan dalam berbagai bidang. Ali al-Hadidi membuat jenjang pengajaran bahasa Arab ke dalam empat tingkat yang masing-masing tingkatannya dibutuhkan 250 jam @ 60menit ( al-Hadidi, 1966: 125). Ia membuat rincian sebagai berikut :
No. Tingkat Belajar Reguler Belajar di Lab/ Latihan Jumlah
1 Dasar 200 Jam 50 Jam 250 Jam
2 Menengah 200 Jam 50 Jam 250 Jam
3 Lanjutan 200 Jam 50 Jam 250 Jam
4 Akhir 200 Jam 50 Jam 250 Jam
Jumlah 800 Jam 200 Jam 1000 Jam
Singkatnya, berbicara pendekatan edukatif tidak terlepas dari pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, non formal maupun informal, dimana di dalamnya terdapat unsur input pembelajaran, proses dan output. Terkait dengan faktor input tentunya siswa itu sendiri, sedangkan yang terkait dengan unsur proses, setidak-tidaknya terdiri dari faktor pendidikan sebagaimana disebutkan diatas, yakni faktor kurikulumnya sendiri harus memadai (mencakup keseluruhan dari unsur pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan dan orientasi yang berbasis kompetensi), yang didukung oleh sarana dan prasana yang memadai, SDM /guru yang professional, alokasi waktu yang memadai serta aplikasi metodologi pengajaran yang mutahir. Terkait dengan metodologi, minimal ada lima metodologi yang bisa digunakan dan tentunya guru sebagai pelaksananya harus betul-betul menguasai, kelima metode tersebut terdiri dari :
1. Metode Gramatika-Terjemah
Metode ini berasumsi satu “logika semesta”, bahwa tatabahasa merupakan bagian dari filsafat dan logika, dapat memperkuat kemampuan berfikir logis, memecahkan masalah dan menghafal. Maka para pelajar bahasa dengan metode ini didorong untuk menghafal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya, meskipun seringkali terdapat struktur kalimat dan kosakata atau ungkapan yang sudah tidak terpakai. Karakteristik metode ini yakni, siswa ditujukan dapat membaca karya sastra bahasa target, bersifat nahwu sentris secara deduktif, berbasis penghafalan, berbahasa pengantar bahasa ibu, dan peran aktif guru lebih dominan sedangkan siswa lebih sebagai pelajar pasif (penerima materi).
2. Metode Langsung
Metode ini berasumsi bahwa proses belajar bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu, yaitu dengan menggunakannya secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Adapun kemampuan menyimak dan berbicara dikembangkan kemudian. Karakteristik metode ini yaitu penguasaan bahasa Asing secara lisan dengan pengajaran kosakata melalui teks, pengajaran kaidah secara induktif, guru dan siswa sama-sama aktif dalam pengajaran yang lebih bersifat muhadatsah dan peragaan. Kekuatan metode ini siswa terampil dan mahir berbicara serta menguasai tatabahasa secara fungsional tidak sekedar teoritis. Kelemahannya yakni siswa lemah dalam kemampuan membaca, dibutuhkannya guru yang ideal dalam keterampilan berbahasa dan lincah dan tidak bisa dilaksanakan dalam kelas besar.
3. Metode Membaca
Metode ini berasumsi bahwa pengajaran bahasa tidak dapat bersifat multi-tujuan, dan bahwa kemampuan membaca adalah tujuan yang paling realistis. Karakterisitk metode ini yakni materi pelajaran berupa buku bacaan berbasis pemahaman dan kaidah bahasa diterangkan seperlunya.
4. Metode Audiolingual
Dikenal juga dengan metode tentara, karena metode ini untuk pertama kalinya digunakan dalam mengajarkan bahasa kepada para tentara Amerika yang akan berperang pasca perang dunia ke-2. karakteristik metode ini adalah penguasaan keterampilan bahasa secara seimbang dengan urutan Menyimak, Berbicara, membaca kemudian menulis. Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang mengarah pada analisis kontrastif dan kesalahan. Gramatika tidak diajarkan di awal dan kegiatan penerjamahan dihindari.
5. Metode Eklektik
Metode ini muncul berdasarkan ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap metode-metode di atas. Dengan asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal dan lebih mengutamakan penggunaan metode berdasarkan kebutuhan siswa. Metode ini bisa menjadi metode yang ideal apabila didukung oleh penguasaan guru secara memadai terhadap berbagai macam metode. Sehingga guru dapat mengambil kekuatan dari setiap metode dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya. Contoh kongkrit penerapan metode ini adalah pengajaran bahasa Arab di Pondok Modern Gontor ; penerapan metode langsung sepenuhnya pada tahun pertama, dan penerapan metode eklektik pada tahun-tahun selanjutnya dengan tetap mengokohkan prinsip metode langsung yaitu pengharaman menggunakan bahasa Ibu. Inti dari metode ini adalah penggabungan antara porsi manipulatif dan komunikatif dalam pengajaran bahasa.
Kedua. Pendekatan sosial budaya. Dalam pendekatan ini hendaknya setiap umat Islam mulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial kemasyarakatan memberikan perhatian yang memadai mengenai pengajaran bahasa Arab bagi anak didik mereka. Akan lebih efektif bila pemancar-pemancar radio ( yangmusim) dan TV-TV menyediakan program siaran yang berbau bahasa Arab. Selain itu ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya sama-sama memasyarakatkan bahasa Arab dan mendorong umatnya untuk mencintai bahasa Arab.
Ketiga, Pendekatan Politik. Akhir-akhir ini kita melihat di Indonesia banyak bermunculan pusat-pusat pengkajian terhadap sosial budaya bangsa lain yang sebetulnya bersifat politis. Umpamanya, Pusat Studi Bahasa selain Arab yang diadakan oleh berbagai universitas. Tetapi sampai sekarang nampaknya Pusat Studi Arab baik di lingkungan Perguruan Tingi atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya eksistensinya belum teroptimalkan, hal ini merupakan peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk memulai membuka keran kerjasama dengan pendekatan politik yang lebih fair dengan bangsa-bangsa Arab. Pembukaan dan pengembangan pusat studi bahasa Arab yang eksistensinya betul-betul dioptimalkan secara komprehenship merupakan salah satu upaya kongkrit yang bisa dan harus dilakukan, dengan harapan bisa memberikan kontribusi yang positif bagi perbaikan dan pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Na’at adalah isim yang mengikuti isim sebelumnya atau sering disebut isim yang mengikuti man’utnya. Isim ini akan selalu mengikuti isim sebelumnya (man’utnya) baik dalam keadaan rafa’, nashab, dan jar-nya, begitu juga ma’rifah dan nakirah-nya. Berikut definisi na’at dalam buku nahwu wadih Arti Jazakallah khair Ufa Bunga SMartphone
BalasHapus