Membangun Budaya Menulis di Sekolah
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd
(Penulis adalah Guru MAN Cianjur)
“Menulis adalah tindakan konkret dan praktis, agar mampu menulis, orang harus melakukannya. Hanya dengan menulis kita dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, kita tak akan pernah mampu menulis dengan baik”, itulah simpulan yang penulis tangkap dari ungkapan H.Wakhudin redaktur sebuah surat kabar terkemuka dalam suatu kesempatan Seminar dan Lokakarya Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan Karya Ilmiah Populer (KIP) pada hari sabtu 19 Januari 2008 di GGI Cianjur.
Memang demikian, bahwa dengan mencoba untuk memulainya, suatu potensi kompetensi yang ada dalam diri dapat terkembangkan, keberanian menggoreskan tinta di atas selembar kertas untuk menuangkan gagasan memang tak semudah membalikan telapak tangan, terlebih karya ilmiah yang harus mencirikan tiga identitas keilmiahan yakni sistematis, empirik dan objektif. Namun tanpa mencoba untuk memulainya, mustahil kompetensi (baca:menulis) itu akan terkembangkan.
Motivasi untuk mulai menulis dapat bersumber dari adanya niat dan tekad yang kuat dalam diri untuk bisa menulis dan dapat pula karena stimulus faktor eksternal, seperti karena adanya iming-iming hadiah, tuntutan pengembangan profesi, dorongan teman atau pimpinan, tawaran yang diberikan pihak penerbit, atau karena adanya media yang menunjang untuk mengaktualisasikan dan mempublikasikan tulisan.
Dalam rangka mengasah kemampuan memulai dan membangun budaya menulis di kalangan siswa dan guru, sekaligus sebagai media komunikasi antar guru dan siswa, serta antar pihak sekolah dengan stakeholder, baik dilingkungan internal maupun eksternal, apa yang dilakukan oleh MAN Cianjur bisa menjadi sumber inspirasi dan model yang bisa diadop oleh sekolah-sekolah lain. Ada apa di MAN Cianjur? Sekolah ini sudah memiliki Majalah Sekolah sebagai majalah pertama di Cianjur yang bernuansa Islami yang dibuat oleh Sekolah melalui Kelompok Karya Ilmiah dan Jurnalistik (KIJ), bahkan Majalahnya sudah memperoleh penomoran Internasional (ISSN) sejak Desember 2003 dan terdaftar di Internasional Serial Data System (SDS) Paris Perancis.
Majalah tersebut bernama ISMA sebagai akronim dari Interaksi Siswa Madrasah Aliyah. Redakturnya adalah siswa-siswa yang aktif di KIJ, sedangkan pelindung, penasehat, dan pimpinan umumnya berasal dari kalangan guru, adapun para penulis yang menyumbangkan tulisannya adalah siswa dan guru, baik dari MAN maupun sekolah lainnya di Cianjur, mahasiswa, dosen, sampai kalangan birokrat di Cianjur seperrti wakil bupati Cianjur. Pangsa pasar ISMA adalah kaum terpelajar (siswa, guru, mahasiswa, dosen), kalangan birokrasi dan masyarakat umum, mereka dapat memperolehnya dari agen tetap yang tersebar, baik di Cianjur maupun di Bandung, adapun yang sudah menjadi langganan tetap diantarkan langsung oleh tim redaksi.
Hadirnya majalah sekolah yang diakui secara internasional menjadi added value sekolah di mata stakeholder, hal tersebut juga merupakan salah satu model jawaban konkret atas apa yang diungkapkan oleh redaktur PR di atas, serta sebagai media stimulus untuk mendongkrak kemampuan menulis di kalangan siswa dan guru, dan sebagai ajang latihan untuk membuat KIP dan KTI yang menjadi salah satu instrumen pengembangan profesi guru.
Mengapa budaya menulis perlu dikembangkan di sekolah? Apa yang diungkapkan oleh Al Wasilah (Pikiran Rakyat, 12 Maret 2005) kiranya dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Menurutnya bahwa budaya literat menjadikan mereka, khususnya kaum muda terdidik, terbiasa menulis, menulis telah terbukti sebagai kegiatan bahasa yang paling mendukung terbentuknya keterampilan bernalar, yaitu kegiatan memecahkan masalah melalui proses linguistik dan kognitif yang kompleks seperti organizing, structuring dan revising. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dalam konteks SMA di AS yang menyimpulkan bahwa menulis mendukung nalar dan pembelajaran mata pelajaran yang lebih kompleks yang berguna bagi keberhasilan melakoni budaya berbasis teknologi dan informasi yang kompleks (Langer & Applebee, 1987), lebih lanjut Alwasilah memberikan simpulan bahwa secara kolektif, bangsa yang lemah budaya tulisnya cenderung lemah daya nalarnya, dan secara individual, seorang yang produktif menulis akan lebih kritis dari pada yang tidak produktif.
Berdasarkan hal yang diungkapkan oleh Alwasilah di atas, jelaslah bahwa membudayakan menulis di lingkungan sekolah memiliki peranan dan efek jangka panjang dalam membenahi distorsi yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini, pembudayaan dan pembenahan pelajaran menulis dari SD sampai PT menjadi jamu yang paling murah, tapi mujarab dalam mengobati lemahnya kemampuan berpikir kritis generasi bangsa Indonesia. Pada saat menulislah seseorang sadar terhadap apa yang diketahuinya dan ingin diungkapkannya, itulah yang disebut dengan meaning making atau proses mengikat makna, kesadaran semacam itu merupakan indikator kemampuan berpikir kritis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar