Selasa, 24 Februari 2009

DIBALIK JERUJI

DARI BALIK JERUJI
Oleh: Anang, S.Pd

Tidak habis-habisnya Pak Mubdi memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yng sedang dihadapi salah satu siswanya.
Sementara itu, dari balik jeruji Bone merenung. Memeluk lutut dan menancapkan dagu di sela keduanya. Matanya jauh menembus dinding tembok berjeruji besi berbau karat. Matanya tidak bisa menghapus pemandangan harian yang selalu nampak di hadapanya. Sesuatu yang tidak pernah bisa dihapuskan; sesuatu yang sangat memilukan.
Hanya pertengkaran yang melekat kuat dalam rutinitas kesehariannya di rumah. Diawali dengan bentakan keras ayah. Lalu segalanya berubah. Seisi rumah berantakan. Piring beterbangan. Teriakan bersahutan. Kaca dan berbagai benda pecah belah lainya hanya menunggu giliran untuk diraih lalu terlempar lepas dan hancur berkeping. Beberapa saat kemudian akan terdengar suara bantingan pintu depan. Lalu semua menjadi hening. Ayah sudah pergi. Hanya suara isak tangis yang tersisa. Dan ini pertanda perang selesai atau sejenak masuk waktu jeda. Setelah itu dia dan adinya keluar kamar. Meskipun berasal dari kamar yang berbeda, mereka memiliki waktu dan tujuan yang sama, memburu ibu dan membereskan pecahan perabotan.
Dia tidak bisa mengingat dengan pasti sejak kapan kebiasaan buruk itu terjadi di rumahnya. Yang ia tahu adalah bahwa semua itu sudah menjadi pemandangan biasa. Bisa setiap hari, bisa setiap waktu. Sebenarnya ia sudah sangat bosan dan ingin kabur entah kemana, namun waktu membawanya pada kenyataan bahwa ia sendiri sudah bosan dengan keinginan untuk itu.
Sempat ia merindukan keadaan ketika semua; ayah, ibu dan adiknya, bisa berkumpul dan saling berbicara dalam canda dan penuh senyum. Ia begitu merindukan pertanyaan tentang bagaimana keadaanya di sekolah, bagaimana PR nya, bagaimana teman-temanya dan banyak lagi. Namun di sisi lain ia juga sering membantahnya bahwa hal itu hanyalah buah kesendirianya yang sentimentil.
Sekarang ia sendiri lupa kapan angan-angan itu pernah hadir dipikiranya.
Pernah suatu kali Bone memulainya dan ternyata sedikit berhasil. Ada permulaan ketika ayah dan ibunya mendengar ucapanya. Dia anggap ini adalah awal yang baik. Namun baru berjalan beberapa saat, Bone kecewa ketika tiba-tiba obrolan mengalir deras dan berakhir dalam teriakan saling berbantahan. Ia memancing dengan membuat pertanyaan bahwa jika mereka, Bone dan adiknya besar nanti, prilaku mereka tanggung jawab siapa. Jawaban yang ia harapkan sederhana, dalam nada yang rendah dan berbumbu senyum jawaban yang ingin ia dengan dari mereka adalah ‘tanggung jawab kalian sendiri’. Namun diluar dugaan, ia malah mendapatkan sesuatu yang kacau. Ayahnya ngotot dengan kewajibanya sebagai tulang punggung dan penyangga ekonomi keluarga artinya hal itu tanggung jawab ibu. Sementara Ibu terus bersikukuh dengan tugasnya sebagai penggerak kegiatan; PKK, arisan, belanja kebutuhan keluarga dan banyak lagi. Adu argumen tidak segera berakhir. Berlanjut dalam sindiran, ejekan dan teriakan. Lalu satu-dua perabotan melayang. Dan perang kembali terjadi.
Begitulah cara mereka jalani hidup. Dari topik apapun, dalam katagori urusan apapun, besar ataupun kecil, selalu berakhir demikian. Hingga akhirnya mereka – Bone dan adiknya – menjadi sangat terbiasa. Bentakan adalah kalimat perintah. Cacian bagai ucapan setuju atau perintah ulang. Sedangkan ejekan adalah tanda terima kasih.
Bone dan adiknya sudah terbiasa dengan ragam pukulan. Dan itu diterjemahkan sebagai tanda kasih dan sayang. Tendangan bak olah raga sedangkan teriakan menjadi hiburan ringan agar rumah tidak seperti kuburan. Memar dan sedikit membiru di tubuh mereka biarkan karena dengan sendirinya waktu akan menyembuhkan segalanya.
Waktu bergegas mengajak mereka tumbuh dan dewasa. Dunia sekolah sudah mereka jalani sekian tahun. Berpindah-pindah sekolah sudah menjadi bagian perjalanan yang mulai bisa dinikmati. Berganti ruangan dan wajah teman. Siapa peduli. Semu sudah keputusan. Beragam alasan dia dipindahkan. Namun mereka setia menjalani. Mereka sudah faham betul alasan yang cukup mendasar. Mereka pembuat ulah.
Keadaan tidak berubah. Satu hal yang berubah adalah usianya yang nampak begitu tergesa. Mereka tumbuh dalam keberanian hidup yang luar biasa. Kebiasaan ayahnya menurun utuh pada mereka. Baik bone maupun adiknya terbiasa dengan teriakan, bentakan, ejekan, hinaan, cacian. Ia juga sudah sangat terbiasa dengan berbagai pukulan dan tendangan. Ia tidak peduli bagian tubuh yang mana. Semakin bernafsu mereka, semakin fatal sasaran mereka incar. Mereka tidak menganggap semua itu buruk. Kadang mereka sedikit heran kenapa orang lain begitu rapuh dan lemah. Kenapa mereka hanya lelah dengan kekuatanya sendiri. Kenapa tidak ada perlawanan seperti yang biasa mereka lakukan ketika mendapat sengatan ayahnya. Meskipun pada akhirnya mereka biasa terkapar dalam tangisan ibu.
Hingga suatu ketika mereka merasakan betapa kuatnya mereka. Betapa perkasanya mereka. Kecuali di hadapan ayah, mereka adalah sang penguasa. Lenyaplah segala keinginan untuk menemukan kedamaian di rumahnya. Apa yang mereka inginkan bisa didapatkan di luar. Dalam ungkapan yang sederhana mereka sekarang sudah menemukan kenikmata menjadi diri dengan sikap hidup seperti ayahnya, bertindak untuk menaklukan. Siapa saja yang melawan itu adalah pernyataan permusuhan. Dan akhirnya mereka berkesimplan bahwa meskipun tidak ingin menjadikanya sebagai idola, ayah mereka adalah orang terhebat dan penguasa yang sempurna.
Bone terus mematung. Ruang sempit yang hanya berukuran tiga kali empat meter ini akan menjadi istananya untuk waktu yang tidak diketahui. Sedikitpun ia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang merugikan. Suatu ketika ia akan dibebaskan. Atau tetap di situpun bukanlah masalah yang besar. Dimanapun ia berada ia akan tetap menjadi dirinya, seorang penguasa. Hanya saja ia sudah tidak mungkin lagi bisa bertemu adiknya yang sudah mati. Menurut kabar ia dikeroyok. Yang lainya berkata ia terjatuh saat mabuk dan hancur tergilas truk tronton di sebuah jembatan. Entahlah. Ia tidak begitu peduli dengan cara mati. Sekalipun cukup sakral, baginya kematian tidak beda dengan jatuhnya daun kering dari pohon. Namun ada satu pernyataan yang terpahat begitu kuat dalam hatinya bahwa segala yang terjadi dengan mereka berasal dari ayah. Termasuk apa yang telah menimpa adiknya. Ia tidak ingin mengalami kesedihan serupa karena itu ayah harus disingkirkan.
Dia sudah menemukan makna hidup dan tujuan hakiki yang terpendam di dalamnya, keputusan final. Satu keputusan yang akan membuatnya terbebas dari segala beban. Terbebas dari segala hal yang akan menghalanginya untuk menjadi penguasa terkuat. Dan satu hal yang membatasi dirinya adalah sosok yang bisa menguasai dan mendominasi gerak langkah hidupnya, ayah. Atas alasan itulah ia mengambil keputusan. Menyingkirkan ayah. Dan dengan sederhana ia menarik kesimpulan, ayahnya harus mati. Hingga suatu malam yang pekat, saat sang ayah pulang kerja dalam kelelahan yang membalut badan dan pikiran, tepat di depan pintu, sebuah hantaman tongkat kasti telah mencerabut kesempatannya untuk bisa meneruskan kuasanya sebagai penguasa di dalam sangkar emas keluarga Bone.
Dalam satu interogasi ia berkali-kali ditanya tentang motif dibalik tindakan nekadnya. Dan jawaban yang kelur dari mulutnya begitu pendek, menjalani naluri hidup. Dan setelah itu interogasi berakhir dalam definisi dan redefinisi yang memusingkan.
Sempat ia digiring ke psikiater. Dengan berbagai tes ia tetap dinyatakan sebagai orang yang bermental sehat. Tidak ingin terlalu larut dalam kekecewaan, iapun ditinggalkan.
Siapa saja yang berkata bahwa keputusan yang diambilnya sebagai keputusan nekad hanya akan menunjukan betapa dia memiliki pemikiran dangkal dan menarik kesimpulan seperti menarik korek kuping dari telinganya.
Namun ketika ada seseorang yang mengatakan keputusan ini sebagai keputusan tidak rasional atau tidak masuk akal adalah pernyataan bahwa dirinya tidak memahami struktur kehidupan. Harus dia katakan bahwa segala tindakan yang ia ambil adalah muara dari jaring-jaring pemikiran yang sempurna.
Ketika ia sedang asik dengan lamunan yang terus menggiringnya ke fodium kemenangan, tiba-tiba masuk dua orang petugas dan menarik tanganya keluar. Tidak ada sedikitpun senyum keluar dari mulut mereka.
“Pak Mubdi?”
“Benar, saya Mubdi. Salah satu gurumu yang tidak mengajar di kelasmu,”
Bone diam. Sepertinya akan ada seseorang yang akan mencoba memasuki dunianya yang sudah tertata sempurna.
“Saya tidak akan bertanya bapak mau ada urusan apa dengan saya. Yang harus bapak fahami dengan saya adalah dunia yang tersembunyi di balik semua ini,” Bone menunjuk ke dadanya yang ia geser sedikit ke sebelah kiri.
“Saya sudah tahu. Dan saat ini bukan saat yang tepat untuk brdiskusi masalah itu,” jawab Pak Mubdi.
Entah apa sebabnya, namun ada sesuatu yang membuat mata Bone meredup. Ini akan menjadi sesuatu yang ganjil kemudian? Atau hanya akan memunculkan kekuatan ayahnya yang sudah punah beberapa hari yang lalu.
“Kamu dalam pengawasan kami,” potong seseorang dari samping Bone.
Bone melirik ke arah suara. Ia hanya bisa menarik satu kesimplan bahwa menjawab ucapan itu hanyalah satu kesia-siaan. Kata pengawasan adalah kata yang tidak memiliki arti dan kekuatan apa-apa bagi dirinya.
Ia kembali memikirkan akan rencana, tindakan dan kebodohan apa yang akan dilakukan orang yang sekarang tepat berurusan denganya.
“Bone, kira-kira warna apa apa yang ada dalam pikiran orang tentang dirimu? Aku tahu kamu satu dari sekian anak cerdas yang mampu memahami pertanyaanku dalam sekali ucap,”
Bone diam. Matanya menajam. Ia memalingkah wajah ke sana kemari. Bukan benda yang yang ia inginkan. Tapi ada sesuatu yang begitu menusuk dari pertanyaan itu. Ia bukan tidak memiliki jawaban panjang dan berbelit. Tapi sepenuhnya ia menyadari kalau pertanyaan yang diberikan Pak Mubdi adalah juga jawaban atas hidupnya.
Ia mulai menampakan sikap yang gusar. Air muka yang ia coba untuk sembunyikan dari mata Pak Mubdi sudah terlanjur terlihat. Sekali ini ia merasa terpukul.
“Pak, kali ini saya ingin bercerita,” ada perasaan bahwa ia sedang memulai sesuatu yang bodoh. Sesuatu yang sangat menjatuhkan teutama bgi benteng pemikiran yang sudah sekian lama ia bangun.
“pertama, seperti apa bapak mengharapkan hadirnya sosok seorang ayah? Kedua, sedalam apa bapak merencanakan tindakan yang akan bapak ambil setelah bapak menyadari sosok bapak yang ada?”
“Aku lebih leluasa untuk menjawab dengan memposisikan diri sebagai ayah yang hadir di dunia lebih dahulu dari anaknya. Lalu aku akan menanyakan hal yang sama tentang sikap atas kenyataan anak yang ada,”
Bone kembali merasa ditohok.
“Apa yang akan bapak lakukan jika bapak adalah saya dengan ayah seperti yang bapak tahu tentang ayah saya?”
“Saya akan menghentikan setiap keinginan untuk merusak dan merugikan orang lain,”
“Kamu?”
“Itu bukan jawaban yang tepat untuk masalah saya,”
Bone diam. Ia sadar apapun jawaban yang ada dipikiranya saat ini adalah klise yang hanya akan menggiringnya melangkah jauh dari kenyataan.
“Aku hidup sebagai aku. Aku bertanggungjwab dengan segala yang aku lakukan. Dan pertanggungjawaban paling sederhana yang bisa aku tunjukan saat ini adalah menyampaikan hal ini kepadamu. Aku tahu, kemungkinan besar tidak akan berpengaruh. Tapi akan sangat sia-sia jika aku tidak menyampaikanya kepadamu. Bone, ibumu sedang menunggu di sana. Aku kadang berpikir sangat buruk tentangmu. Aku menduga kalau kamu membenci ibumu seperti kamu membenci ayahmu,” Pak Mubdi diam sejenak, menunggu reaksi Bone dengan ucapanya. “Kalau benar dugaan itu, aku tidak begitu heran. Namun jika salah, aku sangat bersimpatik. Bone, apapun yang ada dalam pikiran kamu dan segala rencana kamu menjalani hidup kemudian, aku akan terus mengajarkan hidup kepadamu. Sekalipun kamu bukan murid di kelasku, kamu adalah muridku.”
Dan Bone harus kembali menjalani hidup kegelisahan pikiranya yang juga terpenjara.

UAN 1

UJIAN NASIONAL
Cerita Pendek Anang Diar

Kamis, pukul 11.45.
”Pak, sebentar lagi akan ada pertemuan penting, tertutup. Tidak semua diundang, tapi saya harus masuk,” bisik Bu Retni ditelingaku.
“Tentang apa?” aku pura-pura tidak tahu.
“Yang kemarin kita obrolkan. Tapi sepertinya saya tetap pada pendirian saya. Saya tidak ingin terlibat apa-apa.”
“Oh, inilah medan perang kita, Bu. Good luck! “ jawabku sambil tersenyum hangat. Seandainya dia laki-laki sudah aku tepuk-tepuk pundaknya. Dia balas tersenyum meskipun aku menemukan kegundahan di wajahnya. Ia bergegas meninggalkan mejaku. Akupun segera membereskan meja yang penuh dengan buku dan lembaran kertas ulangan. Pikiranku tidak bisa lepas dari berbagai obrolan tersembunyi yang secara kebetulan masuk ke telingaku. Panitia bayangan akan segera dibentuk dan yang dilibatkan adalah mereka yang memegang mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional, dan itu berarti mata pelajaran yang aku ajarkan. Aku akan menjadi bagian dari mereka yang ikut kepanitiaan.

Kamis, pukul 12.30.
“Kok, sudah selesai?”
“Pak, ada yang ingin saya obrolkan. Tapi sepertinya tidak sekarang, nanti sore saya telepon.” matanya sayup. Masih kegundahan yang aku temukan. Tingkahnya kaku. Pasti dia telah mengambil keputusan yang salah, atau sesuatu yang membuatnya terpaksa harus ragu-ragu. Perempuan kadang didominasi kepasrahan.

“Mungkin, malam lebih leluasa, Bu. Sore ini saya pulang agak telat. Ada beberapa anak minta les tambahan,”
“Bolehlah,” Jawabnya sambil mengangguk. Sejenak aku diam mematung. Otaku berputar-putar menebak isi pertemuan yang baru saja dilewati Bu Retni. Agenda rapat kadang mudah ditebak. Tapi yang ini tidak.

Kamis, 20.30
Aku baru pulang dari mesjid. Setiap malam Jum’at ada pengajian rutin.
“Bang, ada telepon dari Bu Retni. Tadi sebelum I’sya. Katanya penting, ada apa sih Bang?” istriku mulai terusik. “Yang kemarin itu ya? Masalah ujian anak-anak?”
“Ya,” aku narik nafas panjang. Membuka peci dan menyimpannya di atas lemari. Kadang ketika kehabisan bahan obrolan dengan istri, aku bercerita apa saja termasuk isu-isu yang menjadi obrolan hangat di kantorku, di sekolah. Dan seperti biasa istriku menanggapinya dengan sangat serius.
“Baiknya Abang jangan ikut-ikutan, ya Bang. Saya takut, itu dosa, lho Bang. Bagaimana pun juga itu kan bentuk kelicikan atau…yah, setidaknya bohonglah kita pada pemerintah, atau diri sendiri,”
“Alasanku juga sama.” Aku diam lalu duduk setengah melemparkan badanku di kursi rotan yang hanya itu kursi yang ada di rumah kami. “Beberapa teman yang sebelumnya sependapat denganku tiba-tiba berubah. Katanya, anak-anak kita sedang terdholimi, dan kita, para guru, harus membantu.”
“Terdholimi bagaimana?”
“Ya, kesewenangan penguasa, pemerintah,”
“Yah, tapi kalau kita membalas mereka dengan kecurangan apa tidak berarti membalas dengan kedzoliman yang sama. Ajaran agama kita kan tidak demikian, Bang,?”
“Beberapa dari anak yang mau ujian adalah anak-anak guru yang mengajar di sana,” aku menatap wajah istriku. Beberapa hari yang lalu kami sempat membicarakan seandainya anak kami yang menjadi peserta ujian. “Bagaimana jika anak kita, Bu, yang akan ujian Esok?”
Istriku beringsut ke dapur. Biasanya ia seperti itu. Ia tidak tahan dengan perdebatan. Aku tahu maksud dari tindakannya seperti halnya aku faham pertanyaan terakhir pada istriku. Ketika anaku yang menjalani ujian, itu bukan alasan yang kuat untuk membuatku boleh berbuat curang. Akupun menuju meja yang penuh dengan lembaran hasil ulangan muridku dan menunggu sentuhan tanganku untuk diperiksa. Pikiranku terus melayang tentang apa yang akan terjadi besok.

Jumat, 06.45
Aku sengaja tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Aku harus melanjutkan untuk memeriksa hasil ulangan yang tidak tuntas tadi malam.
“Bagaimana yah, Pak, kita tunjukan sikap kita?”
“Bu, saya yakin banyak teman-teman kita yang lain yang sependapat. Mungkin kawan-kawan kita di sekolah lain. Bagaimana kalau kita galang kekuatan dan kita bentuk satu gerakan,” aku sedikit berapi-apa. Aku lupa kalau istilah-istilah ini lebih pas digunakan di dunia mahasiswa, bukan dunia yang sedang aku hadapi sekarang.
Bu Retni nampak kebingungan. Entah karena tidak mengerti atau tidak setuju dengan pendapatku. “Menurut desas-desus, Bapak Kepala Sekolah ditekan oleh pihak dinas. Dan kasus seperti ini bukan di sekolah kita saja, Pak. Sekolah lain bahkan jauh lebih dulu membentuknya.” Mata Bu Retni nampak memicing. Kerut dikeningnya menunjukan bahwa dia sangat yakin.
Aku terdiam. Aku ingin menunjukan sikap yang tidak begitu kaget. Aku ingin nampak bahwa hal itu harusnya tidak ditanggapi sebagai berita. Aku ingin hal ini disikapi dengan sebuah gerakan. Dan sepertinya bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
“Saya sudah bertemu teman-teman dari sekolah lain. Mereka sepertinya merasakan hal yang sama, Bu. Tapi mereka belum berani mengambil tindakan. Kalau sikapnya sudah bisa saya baca. Saya kenal sejak saya di kampus dulu.”
“Pak, kita sepertinya sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, Bu? Kita masih ada waktu, kan? Kecuali kalau Ibu mau menyerah begitu saja. Dan saya yakin Ibu tidak akan melakukannya.”
Bu Retni terdiam. Sebagai junior aku seharusnya bisa lebih santun berucap. Aku merasa bersalah dengan kalimat-kalimat terakhirku. Sepertinya dia merasa tersudut, seperti kebiasaan perempuan. Aku masih ingat kalau ada tanggungjawab yang harus diberikan kepada atasan. Hal ini berbeda dengan yang biasa aku temukan di dunia kerja yang lain. Disini harus ada kerelaan, harus ada kepasrahan, ketaatan, loyalitas dan sederet kata lainya yang artinya sama, aku harus menurut kata pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah. Dialah kepala setiap kepala yang ada disini. Kebijakannya adalah motor yang menggerakan roda kegiatan.
“Saya tidak bisa diam, Bu. Saya harus melakukan sesuatu,”
“Silakan saja, Pak. Yang menurut bapak pantas dilakukan, lakukanlah,”
Aku kaget. Sepertinya ucapan itu adalah tanda pengunduran dirinya dalam diskusi ini. Aku diam dan menghentikan gerakan mata dan tanganku di atas lembaran kertas ulangan.
“Setidaknya saya sudah mengatakan isi hati saya, Pak. Saya tidak bisa lagi berbuat banyak. Anak-anak menunggu kerja nyata dari saya,” Ia menatapku. Bola matanya menurun. Dalam ketidakyakinan ia berkata lagi bahwa tugasnya adalah mengajar dengan baik. Sayup aku dengar. Bukan karena suara yang melemah namun pikiranku yang telah melayang jauh. Aku menyadari ketidakberdayaanya.
“Bu, nanti siang saya akan menghadap kepala sekolah. Setidaknya saya bisa mendengar darinya langsung.”
“Baguslah, Pak. Saya dukung. Tapi saya tidak bisa menyertai.” Ia lalu diam.
Aku mengerti bahwa ia sedang berharap untuk tidak ditanya lebih lanjut. Ia tidak berharap aku bertanya kenapa. Aku mengangkat alisku cepat. Aku tersenyum. Aku ingin tunjukan sikapku yang optimis.

Jum’at, 09.40
Bel istirahat berbunyi. Aku bergegas meninggalkan kelas. Setelah menyimpan semua buku bahan ajar, aku langsung menuju ruang kepala sekolah. Hari Jum’at biasanya tidak begitu banyak tamu. Dan benar. Aku langsung masuk dan disambutnya ramah.
“Langsung saja, Pak. Saya mendengar dari bisik teman-teman tentang isu adanya panitia bayangan dalam ujian nanti,” Aku diam. Berharap ia langsung menyambar masalah yang aku maksudkan. Aku menatap wajahnya. Garis wajahnya yang lelah semakin jelas terlihat. “Saya berharap isu itu tidak benar. Tapi saya sengaja kemari dan menanyakanya kepada Bapak untuk lebih yakin,” aku diam sejenak.
Kepala sekolah menatapku tajam. Aku tidak bisa mengartikan apa-apa dari sikapnya. Mungkin marah mungkin juga ada hal lainya. Kemudian ia berdiri. Aku semakin tidak mengerti. Pikiran aneh mulai menyeruak di kepalaku. Aku masih ingat berita tentang seorang perwira polisi yang tega menganiaya bawahanya karena hal yang tidak ia sukai. Kemudian ia melangkah menuju jendela lalu berdiri membelakangiku. Diluar nampak anak bejubel menuju ruang kantin. Sepertinya tidak ada tempat lain yang lebih pantas mereka datangi saat istirahat.
“Pak Mat,” dia memanggilku pelan. Namun suaranya cukup mampu memecahkan lamunanku yang liar. “Tengoklah kemari,”
Perlahan aku berdiri dan mencoba memperhatikan apa yang sedang diliat kepala sekolah. “Ya, Pak,” jawabku pelan.
“Lihatlah mereka,” ia terdiam sejenak. Dan aku pun mencoba memperhatikanya. “Dengan segala keterbatasan mereka jalani aktifitas. Saya sangat beruntung bisa dipercaya menjadi salah satu pendidik mereka. Ketika para orang tua yang kebanyakan orang kurang mampu mencoba menaruhkan harapan di pundaknya, mereka berharap agar suatu ketika nasib mereka jauh lebih baik. Dan tiba-tiba ada kenyataan pahit yang tanpa sadar sedang diundi. Beberapa hari lagi nasib mereka bergantung pada hasil undian.” Kemudian ia berbalik dan menatapku tajam. “Faham, kan, maksud saya?” aku terdiam. Mencoba memahami gejolak yang mendorong kepala sekolah membuat keputusan seperti itu. Haruskah aku terus berdiri di sini. Ataukah segera beranjak dan meninggalkan orang dengan pemahaman yang sedikit berbeda denganku. Mungkinkan aku mengambil keputusan yang sama jika aku berada pada posisinya. Ataukah mungkin akan lebih buruk lagi. Kemudian pikiranku kembali melayang pada janji kepegawaianku, keyakinan agamaku, pesan istriku, kondisi orang tua siswa, masa depan anak…dan sekian banyak masalah lainya.

Sebulan kemudian.

Suatu sore. Sekolah hening. Pengumuman kelulusan ditempel di dinding papan pengumuman. Siswa lulus seratus persen. Namun kebahagiaan kami sudah lama terjual. Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap papan pengumuman. Kosong.

Study Tour

MENIMBANG KEMBALI ESENSI STUDY TOUR
Oleh ANANG, S.Pd

Salah satu kegiatan yang terjadwal rutin setiap tahun di sekolah-sekolah adalah kegiatan Study Tour. Kegiatan ini terjadwal relatif lebih fleksibel, bisa di awal semester ataupun di akhir, bisa menjelang ulangan umum maupun setelahnya. Kegiatan ini sering juga muncul dalam nama-nama yang lain tergantung sekolah yang menyelenggarakannya, misalnya PPL atau Program Pengalaman Lapangan, Karya Wisata, Study Wisata, Study Lapangan dan lain-lain. Jumlah hari pelaksanaannya pun beragam. Ada yang sehari saja; berangkat pagi dan kembali sore hari atau malam di hari yang sama, ada pula yang memakan waktu beberapa hari.

Ragam aktifitas sebagai pengisi kegiatan sangat beragam dan biasanya disesuaikan dengan objek yang dikunjungi. Berikut adalah kegiatan yang biasa menjadi pengisi kegiatan Study Tour. Pertama, Penelitian Langsung. Kegiatan penelitian langsung ini merupakan pendalaman kajian materi pelajaran yang tidak bisa secara komprehensif dilaksanakan di sekolah. Kegiatan seperti ini lebih cocok dilaksanakan di tempat umum dan terbuka secara alamiah seperti pantai, hutan atau lokasi tertentu yang secara khusus memberikan wahana untuk kegiatan serupa. Kedua, Diskusi ilmiah. Kegiatan diskusi mungkin sudah akrab bagi para siswa dalam berbagai mata pelajaran. Namun akan berbeda keadaannya ketika mereka langsung bertemu dengan pakar dibidangnya. Antusias siswa relatif akan berbeda saat bertemu dengan dokter untuk bicara kesehatan, bertemu seorang arkeolog, astronom, sastrawan, ekonom dan pakar keilmuan lainnya.
Ketiga, Berdiskusi dengan pakar. Lokasi kunjungan yang tepat untuk kegiatan ini adalah tempat yang secara khusus menjadi pusat para ahli beraktifitas. Contoh tempat kunjungan paling mudah adalah objek Planetarium Boscha yang berlokasi di Lembang, Bandung Utara. Keempat, Gerakan Cinta Lingkungan. Kegiatan ini biasanya merupakan kegiatan tambahan atau penutup pada kegiatan penelitian langsung. Secara teknis bentuknya bisa berupa penanaman pohon, pelepasan satwa liar atau dilindungi dan langka ke alam luas, atau tindakan lain yang tujuan utamanya adalah menanamkan kesadaran pada siswa akan pentingnya satu gerakan sebagai wujud kecintaan pada alam dan lingkungan. Kelima, Observasi singkat. Pelaksanaan kegiatan seperti ini cocok untuk dilakukan di tempat yang menjadi pusat kegiatan yang secara teknis terbuka untuk umum atau setidaknya untuk kunjungan ilmiah. Tempat-tempat yang secara khusus memberikan layanan untuk kegiatan ini adalah tempat-tempat yang memiliki laboratorium khusus atau lapangan tempat satu kegiatan khusus dilaksanakan. Beberapa objek yang sudah sekian lama melayani kegiatan serupa adalah Balai Inseminasi Buatan atau BIB yang merupakan tempat penyemaian semen atau benih sapi unggul yang berlokasi di Lembang, Bandung. Selain itu ada pula BATAN, BIO FARMA yang berlokasi di Kota Bandung.
Keenam, Study Wisata. Sering muncul kerancuan ketika study tour berbentuk kunjungan pada objek wisata tertentu tanpa bimbingan yang wajar. Hal ini sering terjadi ketika sekolah menjadikan objek kunjungan berupa objek wisata umum. Sekalipun tidak dikatakan kegiatan ini tidak bermanfaat sama sekali, namun jika saja kegiatan tersebut dilaksanakan lebih terarah maka hasilnya akan maksimal. Kegiatan seperti ini biasanya hanya berakhir dalam kepuasan sesaat dan kelelahan berkeliling dan berbelanja yang secara akademis kurang begitu mengena.
* * *
Study Tour merupakan kegiatan yang membutuhkan dana tidak kecil dan biasanya hal ini sepenuhnya dibebankan kepada orang tua siswa. Biaya ini dibebankan kepada mereka untuk menutupi biaya perjalanan atau travel, masuk objek tujuan, penginapan saat harus bermalam, dan konsumsi dalam bentuk makan berat dan ringan dan pengeluaran insidental lain. Beberapa sekolah yang cukup kreatif merancang kegiatan dan memiliki sumber dana yang memadai dalam, sering menawarkan ragam asesoris dan oleh-oleh sebagai buah tangan perjalanan.

Kegiatan yang dilaksanakan atas nama Study Tour ini memberikan banyak sekali manfaat jika dikelola dengan baik dan penuh tanggungjawab. Kegiatan yang biasa dilaksanakan ketika para siswa membutuhkan sedikit relaksasi di tengah-tengah kegiatan sekolah yang melelahkan ini pun cukup mengundang minat para siswa untuk turut berpartisipasi. Ditambah dengan iming-iming objek tujuan yang menarik dan menggiurkan. Namun justru disinilah kesalahan yang cukup fatal sering terjadi.

Kegiatan yang memakan biaya relatif tidak kecill ini hanya akan menjadi kegiatan yang tak bermakna dan bahkan terkesan asal dan buang-buang uang saja khususnya bagi orang tua siswa jika tidak diorganisir dengan baik. Hal seperti ini terjadi ketika Study Tour dilaksanakan tanpa bimbingan dan tugas kegiatan yang jelas. Hal yang kerap terjadi adalah ketika siswa hanya dibebankan untuk membuat laporan perjalanan atau makalah. Atau ketika para siswa hanya dibawa ke objek-objek wisata yang secara akademis tidak memberikan peningkatan apa-apa. Selain itu, panitia pelaksana kegiatan yang terdiri dari para guru bidang studi dan wali kelas lebih sibuk memikirkan pilihan objek kunjungan daripada detail kegiatan. Sementara itu para wali kelas pun lebih bersemangat untuk menarik iuran kegiatan daripada merencanakan bimbingan teknis dan kerjasama di lokasi kegiatan.Hal kurang baik lainnya sering terjadi pada saat para siswa harus menghabiskan waktu di penginapan. Waktu malam adalah saat-saat yang rawan yang biasanya para siswa perlu untuk lebih diarahkan dan ditertibkan dengan sangat hati-hati.
Dan pada akhirnya, kegiatan berakhir dalam kelegaan yang nihil. Kegiatan dikatakan sukses ketika tidak terjadi bencana atau musibah. Kegiatan dianggap sukses ketika semua senang, dan lebih buruk lagi ketika study tour selesai tanpa ada evaluasi dan tindak lanjut akademis.






Penulis adalah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris.
Aktif mengajar di SMA Negeri 2 Kota Sukabumi.

Menakar Kualitas Guru

MENAKAR KUALITAS GURU
Oleh Anang, S.Pd (Guru SMA N 2 Sukabumi)

Dunia pendidikan saat ini berada dalam sorotan tajam, pedas dan membuat gerah banyak pihak; baik praktisi pendidikan, birokrat, pengamat maupun peserta pendidikan. Alasannya cukup nyata bahwa kualitas produk pendidikan di Indonesia rendah dan diragukan (Pikiran Rakyat, 3 Juni). Lalu berbagai evaluasi dilakukan, ragam pelatihan diselenggarakan dan ditingkatkan.

Bagai letupan api yang percikannya menebar, menyebar dan meneruskan bara, semua ikut bicara. Meskipun sedikit ragu dan takut kualat, karena melibatkan nama guru, masyarakat tetap saja melontarkan keluhan itu. Dengan liar, mereka kaitkan semuanya dengan segala ‘ornamen’ pembelajaran; ruang kelas, jumlah siswa, biaya, buku dan sebagainya. Lalu muncul cibiran dan cemoohan. Hal tersebut terus bergulir hingga semua mengarah pada lembaga dan praktisi pendidikan yang paling sederhana; guru dan sekolah. Meskipun kemudian ,dengan terpaksa, mereka kirimkan pula anak mereka ke sekolah yang sedang mereka cibir itu sebagai pilihan terakhir karena, memang, sepertinya tak ada pilihan lain.

Dari situlah tulisan ini berangkat. Ketika pandangan negatif itu mengarah ke sekolah dan guru, saya, sebagai guru dan pengisi salah satu ruang sekolah mencoba untuk menggulirkan sebuah renungan dan sedikit evaluasi.

Mengajar adalah pekerjaan mudah yang tidak bisa dikerjakan semua orang. Mengajar membutuhkan ketekunan, kesabaran, ketelitian yang dibungkus dengan kecerdasan mental, spiritual dan emosional dan, karena itu, untuk meraih gelar pengajar harus melewati fase-fase tertentu dan pada puncaknya meraih gelar Sarjana Pendidikan atau S.Pd atau menurut istilah perundang-undangannya Sertifikat Pendidik (Undang Undang Guru dan Dosen, Bab II dab Bab IV).

Sudah menjadi wacana umum bahwa di tahun-tahun lalu, perguruan tinggi dan institut keguruan tidak begitu menarik minat para siswa berotak sangat cemerlang. Mereka lebih memilih institusi lain yang secara finansial, lulusannya akan lebih beruntung, meskipun secara ekonomis perkuliahannya lebih menanjak. Namun demikian, telah banyak institusi keguruan dan universitas dengan FKIPnya yang telah meluluskan tenaga-tenaga pendidik berkualitas untuk kemudian terjun ke masyarakat. Namun kenyataan serupa terjadi ketika mereka bergelut dalam benturan idealisme sebagai pendidik dan tuntutan kebutuhan hidup lebih layak. Kompetisi pun berlanjut antara kemurnian tujuan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan berpedoman pada pengalaman masa lalu dimana guru, secara finansial, tidak begitu diuntungkan, maka mereka, yang secara akademis dibutuhkan lembaga pendidikan berloncatan ke bidang lain. Hal ini bermuara pada seleksi penerimaan pegawai negeri sipil tenaga keguruan. Sementara pemerintah membutuhkan dengan sangat tenaga pendidik atau guru yang kompeten, mereka enggan turut serta. Padahal kekosongan kursi ini tidak mungkin bisa bertahan lama. Meskipun bukan karena alasan serupa, berbagai diklat dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme keguruan terus dilaksanakan.

Terlepas dari semua itu, saya mencoba untuk menggulirkan seperti apa dan bagaimana tugas dan kewajiban seorang guru sesuai dengan ketentuan yang ditugaskan negara yang kesemuanya termuat dalam Undang Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen dan Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan mengetahui utuh harapan dan cita-cita negara terhadap pekerjaan guru diharapkan semua lapisan masyarakat bisa mengevaluasi sisi mana yang salah ata tidak berperan. Dengan ini pula kita bisa mengukur sebaik atau seburuk apa pekerjaan dan hasil yang timbul akibat pekerjaan ini.

Sedikitnya ada empat komponen pokok tugas seorang guru menurut undang undang tersebut. Tugas itu lebih akrab dikenal dengan tupoksi atau tugas pokok dan fungsi guru. Pertama, merencanakan pembelajaran. Kedua, melaksanakan proses pembelajaran. Ketiga menilai. Dan keempat, mengevaluasi hasil pembelajaran.

Pada tahap awal kegiatan, setiap guru diwajibkan menyusun Rencana Program Pengajaran atau (RPP). Pedomannya adalah materi yang dikembangkan dari standar isi yang secara rinci muncul dalam kurikulum tingkat satuan pelajaran dan silabus. Pekerjaan administratif yang tidak sederhana dan membutuhkan ketepatan perencanaan. Hasilnya adalah sederet agenda yang berupa uraian materi yang terkandung dalam kurikulum yang diuraikan ke dalam bentuk agenda pertemuan. Setiap guru wajib menyusun dengan sangat rinci. Sapaan pembuka, media pembelajaran, porsi waktu dengan aktifitas, sinergisitas langkah kegiatan dan dinamika proses. Hal ini bertujuan agar kegiatan kelas tidak monoton. Guru pun harus mengalokasikan waktu untuk tanya jawab, melakukan kuis sederhana dan catatan harian sebagai bahan evaluasi fsikomotorik siswa. Setiap guru harus menyusunnya dengan lengkap. Lebih jauh lagi, dalam RPP ini guru harus menyusun prakiraan hari efektif dan tidak efektif, rencana ulangan, pertimbangan tugas, porsi waktu pengerjaan tugas dan pekerjaan rumah. Segala rencana ditutup dengan bahan mentah untuk kegiatan evaluasi berupa ulangan, baik bahan materi pelajaran maupun jenis kegiatan tes. Selain itu para guru harus mengalokasikan waktu untuk pengayaan dan remedial yang dilaksanakan khusus untuk para siswa dengan kelebihan dan kekurangan tertentu yang dengan intilah kurikulum disebut standar ketuntasan..

Rencana Program Pembelajaran merupakan pegangan praktis dalam operasional pekerjaan harian para guru. Dari situlah para guru mengukur keberhasilan tugas dan kewajiban mereka. Absensi dan nilai individu senantiasa menjadi pegangan setiap kali mereka bertatap muka dengan para siswa. Dengan jeli dan penuh kasih sayang mereka terus membangun harapan dan keyakinan bahwa semua siswa bisa dan pintar, bahkan suatu saat bisa lebih pintar lagi. Dengan hati-hati mereka juga menelusuri berbagai kemungkinan kelebihan para siswa yang bisa dan mungkin dikembangkan. Catatan harian mereka kumpulkan dari setiap pertemuan untuk kemudian menjadi bahan merenung dan merencanakan agenda pertemuan selanjutnya. Sedekat mungkin hubungan emosional mereka bangun dan coba untuk dilebur agar atmosfir kegiatan di dalam kelas benar-benar dinamis. Sering pula muncul dalam pikiran mereka rasa waswas dan ketakutan kalau-kalau mereka telat dan ketinggalan kereta saat menyampaikan bahasan materi. Mereka tidak boleh keteter saat menghadapi siswa ‘super’ dan gaul. Namun pula mereka tidak boleh melaju terlalu cepat dan meninggalkan para siswa tertentu yang hanya bisa berjalan kaki.

Selanjutnya para guru melakukan evaluasi. Dengan berpatokan pada bahan ajar yang termuat dalam rencana program pembelajaran dan catatan harian, mereka menyusun ulang bahan evaluasi atau lebih akrab dikenal dengan istilah ulangan. Mereka wajib melakukan itu disetiap penghujung bahasan materi. Mereka wajib mengembalikan atau menunjukkan hasil ulangan tersebut kepada para siswa. Ada dua kegiatan yang harus mereka lakukan sebagai langkah tindak lanjuti dari ulangan ini yakni meremedial bagi yang belum mencapai tingkat pemahaman minimal dan melanjutkan bahasan.

Demikianlah, bentuk sederhana dari tugas pokok keguruan. Sekilas nampak mudah dan ringan. Dan, selama kesabaran dan kecerdasan emosional kuat menyertai ditambah kecerdasan berlogika, kegiatan belajar mengajar pasti tidak akan berjalan monoton dan membosankan. Guru harus mampu mengorkestrasi peserta didik (Dave Meier, 2002).

Lepas dari tugas pokok, seorang guru memiliki kewajiban yang tertancap begitu kokoh. Ia tegak berdiri dan angkuh. Dialah gelar guru yang secara sosiologis memiliki nilai magis dan magnetis yang kuat dalam masyarakat. Seperti kata pepatah asing ‘A teacher does not teach what he knows,… A teacher teaches what he is,…’ yang artinya kurang lebih ‘bahwa guru tidak mengajarkan apa yang ia tahu, guru mengajarkan siapa dirinya.’ Disinilah tantangan sebenarnya yang harus sanggup dihadapi seorang guru. Bagaimana ia harus menjaga moral diri dan keluarganya. Ia harus menstabilkan pembagian waktu dan tenaga untuk membina siswanya di sekolah dan melindungi keluarganya di rumah dan pergaulan masyarakat yang penuh tantangan. Kecenderungan masyarakat yang sering memandang guru sebagai tokoh primer dalam segala hal sering pula menjadi tugas lain yang tak jarang membebani tugas profesionalisme seorang guru. Didaerah terpencil, misalnya, tidak jarang menganggap guru sebagai seorang yang serba bisa yang oleh karena itu menjadikannya ‘dokter’ masyarakat. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang negatif. Namun secara teknis tugas jelas akan berpengaruh.

Sedikit meloncat dari tugas guru sebagai tenaga pengajar, dimana ia harus memenuhi kewajiban menyampaikan bahan ajarnya, seorang guru memiliki kewajiban lain di sekolah. Guru adalah petugas keamanan, polisi, hakim, pengacara, seniman, promotor, entertainer, model, mitra sejati dan banyak lagi jabatan lainnya saat ia berada di sekolah, sebagai negara kecil (Thomas Armstrong, 2002). Guru tidak boleh berkata tidak bisa atau tidak mau secara langsung. Dengan segala kecerdikannya guru harus mampu menunjukkan sikap bahwa ia mampu menunjukkan sesuatu yang bernilai positif bagi anak didiknya (Bobbi Depotter, 1997). Jabatan-jabatan itu harus mampu ditunjukkan seorang guru ketika berinteraksi dengan sejuta karakter siswa, orang tua dan masyarakat sekitar. Dengan berbekal kemampuan sederhana para guru dituntut pula untuk mampu memposisikan diri dalam jabatan; wali kelas, pembina eks skul, dan seabreg tanggung jawab yang harus dipikul dalam beberapa kegiatan seperti gelar seni, program pengalaman lapangan, perpisahan, kunjungan ilmiah, study tour/banding dan berbagai kegiatan lomba dan pembinaan karir dan kesiswaan.

Sedikit saja ia menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuannya, para guru harus siap pula dengan gunjingan dan cemoohan para siswanya seakan mereka belum atau tidak pernah diajarkan akan buruknya kebiasaan mencemooh. Satu solusi yang harus kental melekat dalam setiap langkah para guru adalah konsistensi pada kejujuran tujuan pendidikan, keteguhan tekad untuk berani bekerja keras dan siap untuk menerima perubahan dan tantangan jaman. Komitmen yang kokoh dalam kesanggupan untuk memperbaiki diri dan menjaga kredibilitas profesionalisme.

Guru adalah pelaksana yang sekaligus juga berperan sebagai pengendali dalam mengontrol kualitas pendidikan. Sudah selayaknya mereka terbebas dari beban hidup yang mendasar sehingga mereka bisa berkonsentrasi penuh untuk memikirkan dan merumuskan agenda pekerjaan terbaiknya. Dengan terpenuhinya hal ini maka kualitas hasil pendidikan generasi mendatang dijamin akan nampak dan lebih gemilang.

Penilis adalah guru mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 2 Kota Sukabumi

Budaya Menulis

Membangun Budaya Menulis di Sekolah
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd
(Penulis adalah Guru MAN Cianjur)

“Menulis adalah tindakan konkret dan praktis, agar mampu menulis, orang harus melakukannya. Hanya dengan menulis kita dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, kita tak akan pernah mampu menulis dengan baik”, itulah simpulan yang penulis tangkap dari ungkapan H.Wakhudin redaktur sebuah surat kabar terkemuka dalam suatu kesempatan Seminar dan Lokakarya Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan Karya Ilmiah Populer (KIP) pada hari sabtu 19 Januari 2008 di GGI Cianjur.
Memang demikian, bahwa dengan mencoba untuk memulainya, suatu potensi kompetensi yang ada dalam diri dapat terkembangkan, keberanian menggoreskan tinta di atas selembar kertas untuk menuangkan gagasan memang tak semudah membalikan telapak tangan, terlebih karya ilmiah yang harus mencirikan tiga identitas keilmiahan yakni sistematis, empirik dan objektif. Namun tanpa mencoba untuk memulainya, mustahil kompetensi (baca:menulis) itu akan terkembangkan.
Motivasi untuk mulai menulis dapat bersumber dari adanya niat dan tekad yang kuat dalam diri untuk bisa menulis dan dapat pula karena stimulus faktor eksternal, seperti karena adanya iming-iming hadiah, tuntutan pengembangan profesi, dorongan teman atau pimpinan, tawaran yang diberikan pihak penerbit, atau karena adanya media yang menunjang untuk mengaktualisasikan dan mempublikasikan tulisan.
Dalam rangka mengasah kemampuan memulai dan membangun budaya menulis di kalangan siswa dan guru, sekaligus sebagai media komunikasi antar guru dan siswa, serta antar pihak sekolah dengan stakeholder, baik dilingkungan internal maupun eksternal, apa yang dilakukan oleh MAN Cianjur bisa menjadi sumber inspirasi dan model yang bisa diadop oleh sekolah-sekolah lain. Ada apa di MAN Cianjur? Sekolah ini sudah memiliki Majalah Sekolah sebagai majalah pertama di Cianjur yang bernuansa Islami yang dibuat oleh Sekolah melalui Kelompok Karya Ilmiah dan Jurnalistik (KIJ), bahkan Majalahnya sudah memperoleh penomoran Internasional (ISSN) sejak Desember 2003 dan terdaftar di Internasional Serial Data System (SDS) Paris Perancis.
Majalah tersebut bernama ISMA sebagai akronim dari Interaksi Siswa Madrasah Aliyah. Redakturnya adalah siswa-siswa yang aktif di KIJ, sedangkan pelindung, penasehat, dan pimpinan umumnya berasal dari kalangan guru, adapun para penulis yang menyumbangkan tulisannya adalah siswa dan guru, baik dari MAN maupun sekolah lainnya di Cianjur, mahasiswa, dosen, sampai kalangan birokrat di Cianjur seperrti wakil bupati Cianjur. Pangsa pasar ISMA adalah kaum terpelajar (siswa, guru, mahasiswa, dosen), kalangan birokrasi dan masyarakat umum, mereka dapat memperolehnya dari agen tetap yang tersebar, baik di Cianjur maupun di Bandung, adapun yang sudah menjadi langganan tetap diantarkan langsung oleh tim redaksi.
Hadirnya majalah sekolah yang diakui secara internasional menjadi added value sekolah di mata stakeholder, hal tersebut juga merupakan salah satu model jawaban konkret atas apa yang diungkapkan oleh redaktur PR di atas, serta sebagai media stimulus untuk mendongkrak kemampuan menulis di kalangan siswa dan guru, dan sebagai ajang latihan untuk membuat KIP dan KTI yang menjadi salah satu instrumen pengembangan profesi guru.
Mengapa budaya menulis perlu dikembangkan di sekolah? Apa yang diungkapkan oleh Al Wasilah (Pikiran Rakyat, 12 Maret 2005) kiranya dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Menurutnya bahwa budaya literat menjadikan mereka, khususnya kaum muda terdidik, terbiasa menulis, menulis telah terbukti sebagai kegiatan bahasa yang paling mendukung terbentuknya keterampilan bernalar, yaitu kegiatan memecahkan masalah melalui proses linguistik dan kognitif yang kompleks seperti organizing, structuring dan revising. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dalam konteks SMA di AS yang menyimpulkan bahwa menulis mendukung nalar dan pembelajaran mata pelajaran yang lebih kompleks yang berguna bagi keberhasilan melakoni budaya berbasis teknologi dan informasi yang kompleks (Langer & Applebee, 1987), lebih lanjut Alwasilah memberikan simpulan bahwa secara kolektif, bangsa yang lemah budaya tulisnya cenderung lemah daya nalarnya, dan secara individual, seorang yang produktif menulis akan lebih kritis dari pada yang tidak produktif.
Berdasarkan hal yang diungkapkan oleh Alwasilah di atas, jelaslah bahwa membudayakan menulis di lingkungan sekolah memiliki peranan dan efek jangka panjang dalam membenahi distorsi yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini, pembudayaan dan pembenahan pelajaran menulis dari SD sampai PT menjadi jamu yang paling murah, tapi mujarab dalam mengobati lemahnya kemampuan berpikir kritis generasi bangsa Indonesia. Pada saat menulislah seseorang sadar terhadap apa yang diketahuinya dan ingin diungkapkannya, itulah yang disebut dengan meaning making atau proses mengikat makna, kesadaran semacam itu merupakan indikator kemampuan berpikir kritis

Bahasa Sunda sbg Pengantar

BAHASA SUNDA SEBAGAI BAHASA PENGANTAR PENDIDIKAN
Oleh: Dra. Hj. Rita Sumarni (Guru SMP Negeri 12 Bandung)

Artikel ini terilhami oleh ide pokok dari essai yang berjudul Bahasa Sunda Sebagai Bahasa Pengantar Pendidikan yang di tulis oleh Alwasilah (2006) yang memesankan bahwa pengembangan pendidikan dilakukan dengan pendekatan budaya lokal, implikasinya antara lain dengan menjadikan Bahasa Sunda (BS) sebagai bahasa pengantar pendidikan di lingkungan pendidikan persekolahan.
Merujuk kepada esai yang tertuang dalam essai tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa yang menjadi latar lahirnya ide pokok di atas adalah sebagai berikut:
1) Adanya fatwa global dari UNESCO (1951) yang mengungkapkan bahwa pendidikan seyogyanya disampaikan dengan medium bahasa ibu mengingat tiga alasan. Pertama, secara psikologis, siswa memiliki kelekatan emosional terhadap bahasa ibu; kedua, secara soiologis, bahasa ibu dipergunakan secara produktif di luar kelas dan dalam keluarga; ketiga, secara edukatif, pengetahuan akan mudah dicerna oleh siswa manakala disajikan melalui bahasa yang telah diakrabinya.
2) Sejarah pendidikan di pesantren menjadi saksi bahwa BS memiliki vitalitas tinggi sebagai medium pembelajaran, dari 2.969 pesantren yang ada di Jawa Barat, lebih dari 50 % diantaranya menggunakan BS sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran, hasilnya dapat terlihat dalam fenomena kehidupan bermasyarakat bahwa alumnus pesantren tampil di tengah masyarakat sebagai guru dan pemimpin nonformal yang berjasa dalam upaya mencerdaskan dan mengelola bangsa.
3) Opportunity di Jawa Barat untuk menjadikan BS sebagai bahasa pengantar pendidikan sangat mendukung, idikatornya antara lain:
(1) Mayoritas penduduk Jawa Barat yang berjumlah 23 juta jiwa tinggal di pedesaan dan menggunakan BS sebagai medium komunikasi sehari-hari. Di antara jumlah itu tercatat ada 5.325.030 siswa SD dan mereka akan lebih mudah mencerna informasi melalui bahasa yang sangat diakrabinya.
(2) Menurut data statistik, rata-rata lama pendidikan penduduk Jawa Barat pada tahun 1999 adalah 6,8 tahun (Indonesian Development Report, 2001) artinya peningkatan kualitas pendidikan harus berfokus pada SD dan SMP.
(3) Selama ini para pembela BS mengkhawatirkan matinya BS karena minimnya waktu bagi pengajaran BS, jika BS dipakai sebagai sebagai bahasa pengantar pendidikan, kekhawatiran seperti itu tidak perlu diperdengungkan lagi.

Seiring dengan berkembangnya gagasan BS untuk dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, muncul keraguan dari stakeholder yang dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut, Pertama; Pada masa Orba, pemerintahan sangat sentralistis sehingga pemerintah daerah tidak berani mengambil resiko dicurigai melawan pemerintah pusat. Salah satu akibatnya pengembangan bahasa-bahasa daerah dan budayanya secara perlahan tapi pasti terkikis serta vitalitas BS sebagai alat bernalar ikut terlemahkan pula.Kedua;BS dan bahasa daerah pada umumnya dianggap tidak mampu menjadi medium sains dan teknologi, padahal dalam pendidikan pesantren BS terbukti mampu menjadi medium pengajaran moral, filsafat dan pendidikan pada umumnya.
Esai tersebut cukup inspiratif bagi para stakeholder pendidikan untuk lebih memberdayakan bahasa ibu sebagai medium pendidikan, khususnya di lingkungan Sekolah Dasar (SD), namun demikian terdapat beberapa catatan; Pertama, Eksperimen menjadikan BS sebagai bahasa pengantar pendidikan di SD pedesaan memang memungkinkan, namun demikian hal tersebut perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya yang memadai seperti ketersediaan sumber ajar (buku pelajaran dalam bahasa sunda) dan kompetensi bahasa sunda para guru. Keterbatasan media ajar dalam bahasa sunda dan lemahnya kompetensi guru dalam BS akan menjadi hambatan tersendiri jika tidak dibangun seiring dengan proses eksperimen.Kedua, Agar siswa tidak gagap ketika masuk ke jenjang pendidikan lanjutan, atau ketika berinteraksi dengan SD lainya yang tidak menggunakan BS, dan ketika membaca sumber ajar dalam bahasa Indonesia maka alokasi jam pelajaran BI di lingkungan SD yang menggunakan BS sebagai bahasa pengantar pendidikan perlu di tambah.Ketiga, Dalam persfektif semangat otonomi daerah penggunaan BS sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan memang cukup positif, namun dalam persfektif global hal tersebut mungkin akan menjadi hambatan tersendiri, kemungkinan pudarnya BI sebagai alat pemersatu bukan hal yang mustahil, jika gengsi dan kelekatan emosional anak sudah amat dalam terhadap BS.

UAN

10 JURUS MENJEMPUT SUKSES UAN
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

Kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah di saat remaja. Karena pada masa inilah seseorang mulai mencari jati diri kita sebagai remaja yang beranjak dewasa. Di SMA seseorang mulai belajar mandiri dan yang paling menonjol di SMA itu biasanya masalah percintaan dan persahabatan. Percintaan dan persahabatan tak pernah lepas dari setiap pembicaraan para remaja. Tapi buat kelas tiga nih, kalau bisa masalah percintaan dan persahabatan ini kita kesampingkan dulu karena kita harus mulai fokus terhadap UAN dan SPMB (bagi yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi), terlebih UAN kesempatanya hanya satu kali lo.. seumur hidup kamu...jangan sampai kamu ‘ntar kecewa di ujung dan orang tua kamu yang udah abis-abisan ngebiayain kamu kecewa pula..macam mana kau ini nanti….(emh…..)
Ingatlah kata pujangga bahwa waktu itu berjalan bagaikan awan dan lari bagaikan angin. Terkadang kita sendiri tidak menyadarinya. Tinggal beberapa bulan lagi menghadapi UAN dan SPMB, jadi kamu-kamu yang sekarang sudah kelas tiga harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya sejak sekarang untuk menghadapi ujian nanti. Kita diberi waktu setiap minggunya 7 hari dan setiap harinya 24 jam, itu adalah modal kamu, yang pintar dan kurang pintar, yang di SMA 1, yang di MAN, sama segitu modal waktunya. Waktu dapat berjalan efektif atau tidak bergantung pada bagaimana cara kita menyikapinya. Nah, bagi kamu-kamu yang lagi sibuk sama masalah percintaan dan pesahabatannya lebih baik di tunda dulu deh...ya...ya..., utamakan dulu untuk fokus terhadap pelajaran untuk menghadapi UAN. Nyesel belakangan kaga berguna lo....kapan lagi kamu dapat kesempatan UAN...? sampai kamu nenek2 dan kakek2 pun, kaga bakalan dapat lagi selain April nanti...sok ah sing soson-soson nyiapkeun sagalana, gewat..!
Nah...buat kamu-kamu yang lagi seneng ngumpul bareng temen-temennya, kalau bisa kegiatan kalian digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat saja seperti belajar bersama atau melakukan hal positif lainnya. Jadi hubungan kita sama sahabat berjalan mulus dan UAN pun lulus. Mungkin sempat terselip kemauan kita agar UAN ditiadakan, tapi kita kan enggak bisa mengubah keputusan para pejabat negara yang telah menetapkan UAN. Segala sesuatu itu ada peraturannya. Maka dari itu kita sendiri yang harus bisa mengubah sikap kita dalam menyambut UAN. Dengan sikap yang tepat pasti kita bisa lulus UAN dengan hasil yang membanggakan. Semangat...Semangat....!
Ada strategi agar kita bisa lulus UAN tanpa harus belajar seharian sehingga tidak bisa mengatur waktu. kita tetap bisa mengatur kapan waktu belajar, tidur cukup, bahkan waktu kita untuk ngumpul bareng temen-temen. Nih strateginya :
1.Luruskan Niat dan Bulatkan Tekad. Niatkan semuanya untuk Ibadah, biar kaga rugi...dan kuatkan tekad bahwa kita memang ingin lulus UAN. Bila kita yakin dan membulatkan tekad untuk lulus, Insya Allah pasti kita akan lulus. 2. Positif Thingking. Hapuslah pikiran negatif dalam diri kita dan ganti dengan pikiran yang positif. Misalnya, mengganti kata, "Saya tidak bisa" menjadi "Saya yakin bisa" 3. Selektif Mencari Lingkungan. Carilah lingkungan yang bisa memotivasi kita untuk sukses bukan lingkungan yang membuat kita menjadi "down" duluan, apalagi malas-malasan...kaga bakalan lulus lo... 4. Cerdas Mengelola Waktu. Jangan menunda belajar sampai waktu UAN tinggal seminggu lagi atau sebulan lagi. Jadwalkan secara tertulis kapan belajar, kapan main...dan istiqomahlah. jika tidak nyesel belakangan baru tau lo... ingat semua orang modalnya sama 24 jam sehari...peluang untuk suksesnya berarti sama..tinggal bagaimana kita mengatur waktunya dengan baik. 5. Bacalah dan Manfaatkan Potensi Diri. Hanya orang-orang yang mampu mengenali potensi keunggulannyalah yang akhirnya bakal tampil menjadi "pemenang". 6. Jaga Kesehatan. Olah raga yang baik, tidur yang cukup, makan yang bergizi dan jalani pola hidup yang teratur. Jangan sampai pas ujian kamu sakit.. gawat juga kan..! 7. Perbanyak Sharing Pengalaman dengan yang sudah UAN tahun sebelumnya atau dengan guru, supaya banyak masukan sehingga persiapan kamu lebih mateng....telur setengah mateng uenak.. tapi kalau persiapan kamu setengah mateng....ualah...nilainya juga setengah mateng...! 8. Pelajari Soal-Soal UAN Tahun Sebelumnya, dengan mempelajari sola-soal UAN kamu bakalan dapat gambaran karakteristik soal UAN, sehingga kamu tidak ”ngarenjag” ketika lihat soal UAN nanti. 9. Jangan Lupa Berdoa dan Lebih Dekatlah dengan Allah swt ! Sekuat apa pun kita berusaha, Dia-lah yang menentukan segalanya serta mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Mintalah dan lebih dekatlah dengan Sang Penentu Segalanya...Dan jangan lupa minta doa kedua orang tua...pecayalah semua itu dapat menjadi energi buat kamu. 10. Tidak Ada Sukses Tanpa Perjuangan dan Kerja Cerdas, don’t forget bahwa masa depan kita BUKAN di tangan orang lain, tapi ditangan kita sendiri...mau jadi orang atau orang-orangan? and............. keep istiqomahlah!

Bahasa Sunda

URANG SUNDA NYARIOS SUNDA
Sumber : www.cianjur.wordpres.com

Kiwari, basa sunda nu nyata-nyata basa karuhun urang sunda, tos langki digunakeun. tong boro di kota-kota ageung sapertos bogor atanapi bandung. di cianjur wae ge, sok rada sesah milarian anu masih keneh leres-leres nganggo basa sunda. utamina mah panginten murangkalih sakola. nu seuseueurna tos langkung resep ngangge basa indonesia kangge basa panganteur sadidinten.

pami di sakola hungkul mah teu nanaon eta oge, da kurikulum pangajaran di urang nganggena basa indonesia. mung, pami di luar sakola mah cik atuh ngangge basa sunda. da urang teh aya di ligkungan urang sunda. ari sanes ku urang sunda nyalira mah, ku saha deui atuh basa sunda teh bakal dianggo. piraku ku bule ti amerika mah.

da kumaha atuh, di bumi na oge ku rama sareng ibu na teu dibiasakeun nyarios basa sunda. ceunah pami murangkalih nyarios basa indonesia teh gaya. naha ari nyarios basa sunda teu gaya kitu, da gaya atuh. padahal mah eta teh sami sareng maehan budaya sorangan. enya teu ?

sok sirik da abdi mah. bareto, nuju kuliah di bogor rerencangan cakeut abdi sadayana urang batak. jigana teh, pami urang batak pendak sareng urang batak pasti weh ngangge na basa batak. naha ari abdi, sok asa ku sesah teh milarian rencang nyarios sunda. padahal mah pami teu leupat, insyaallah deuih moal leupat bogor teh masih keneh lingkungan sunda. alesanna teh da basa sunda nu tiasana mung basa sunda kasar. atuh keun wae. sugan engke mah tiasa janten lemes. ulah ieu mah malah dipopoheukeun.

sok ah, ti ayeuna mah urang biasakeun nyarios basa sunda. minimal di lingkungan kulawargi heula, teras dipangameungan, atuh sugan engke mah di padameulan. pan ceunah inohong na jawa barat teh gaduh program, yen basa sunda hoyong dijantenkeun basa nasional kadua saatos basa indonesia. ari tara dianggo mah pamohalan janteun kadua.
sakali deui urang sunda nyarios sunda.
Kondisi Bahasa Sunda Memprihatinkan
Sumber: www.pikiran-rakyat.com

BANDUNG, (PR).-
Kondisi bahasa dan budaya Sunda dewasa ini cukup memprihatinkan. Selain itu, akulturasi dan degradasi budaya yang melanda sastrawan, budayawan, dan penulis mengakibatkan semakin kurangnya minat untuk menyelami bahasa Sunda dalam bidang seni budaya dan karya tulis. Kondisi itu perlu mendapat perhatian serius seluruh lapisan masyarakat.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H. Memet H. Hamdan, di sela acara "Ngaleler Hadiah Basa jeung Sastra LBSS", di Bale Pakuan Jln. Ciumbuleuit Bandung, Kamis (16/9), menyebutkan bahwa kondisi memprihatinkan itu jelas terlihat dan terasa dalam kehidupan sehari-hari.

"Kecenderungan menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan keseharian kini sangat jarang. Ironisnya, kondisi ini tidak saja terjadi di kalangan anak-anak zaman sekarang tapi juga di lingkungan orang tua," kata Memet.

Menurutnya, sebagai bahasa indung bahasa Sunda seharusnya dipergunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari. "Minimal di lingkungan keluarga," tegasnya.

Namun, dalam kondisi seperti ini tidak perlu dicari "kambing hitam". Pemerintah sebetulnya terus berupaya melakukan sosialisasi tapi, karena keterbatasan dana, upaya itu tidak sampai menyentuh lebih dalam.

Keprihatinan juga diungkapkan Ketua Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), Taufik Faturohman. "Kondisi bahasa Sunda saat ini sangat memprihatinkan dan memasuki tanda-tanda kepunahan," ujarnya.

Menyikapi kondisi ini, dalam kongresnya di Garut beberapa waktu lalu, LBSS berupaya melakukan perubahan dan membangkitkan gairah penggunaan bahasa Sunda, antara lain melalui pencanangan pelajaran bahasa Sunda di SD dan di pemerintahan daerah.

Sementara itu hadiah "Basa jeung Sastra LBSS" tahun ini diberikan kepada Teguh Firmansyah, Dini Citra Andriani, dan Miati Suci Armilita sebagai pinunjul 1, 2 dan 3 untuk bidang "Prosa Barudak". Untuk "Prosa Rumaja" pinunjul 1, 2 dan 3 diraih, Anggi Sukmawangi, Ridan Nasiha, dan Neneng Yeni Nurjanah. Miati Suci Armilita, Refa Aprianty, dan Andri Nugraha untuk "Puisi Barudak", Rani Nurcita Widya, Nurul Hikmah dan Indah Lestari ("Puisi Rumaja"), Godi Suwarna, Lismanah, dan Cucu Nurjaman (puisi umum), Anton Hidayat, Mariam Arianto dan Sutedja Sumadiputra ("Carpon Umum"), Hermawan Aksan, Agus Suherman dan Atep Kurnia ("Esey"), Dr. Askari Soemadipraja, Usep Romli H.M., dan Dedy Widyagiri ("Esey Salinan ti Buku Sastra") dan penghargaan untuk buku Sunda diberikan kepada Saleh Danasasmita dan Enas Mabarti. (A-87)***

Penguasaan TIK Guru

Menyoal Penguasaan TIK di Kalangan Guru
Oleh : Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd*)

Kesejahteraan; kata inilah yang senantiasa menjadi wacana tak berujung dikalangan profesi guru, pembicaraan tentang peningkatan kesejahteraan-dalam arti ekonomi- terkadang lebih mendominasi dibanding pembicaraan tentang bagaimana profesionalisme guru yang seharusnya sehingga dapat menjadi solusi ”degradasi nilai moral” dikalangan remaja kita. Pengalaman Penulis menunjukan bahwa tampaknya dikalangan sebahagian guru, terlebih yang sudah mulai masuk kedalam ”fase perang kepentingan” antara idialisme dan pragmatisme, antara tuntutan kesejahteraan keluarga dengan profesionalisme kerja, mereka lebih asik untuk lebih banyak berbicara tentang tema kesejahteraan daripada yang lainya.Tidak bisa dielakan bahwa kata ini pula ”kesejahteraan” yang menjadi salah satu landasan pragmatis terlahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Menurut hemat penulis, terdapat semacam pengetahuan yang tak terungkap (tacit) yang seharusnya diangkat kepermukaan yakni tentang pelebaran makna kesejahteraan bagi para guru, ia bukan hanya dimaknai secara ekonomi, melainkan yang lebih luas dari itu, kesejahteraan intelektual, kesejahteraan wawasan, kesejahteraan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan emosional dan yang paling mendasar adalah kesejahteraan spiritual, dalam arti kompetensi dan kapasitas spiritualnya memadai, terkembangkan dan terpelihara sehingga lebih memiliki ghiroh yang kuat dan lebih tulus dalam menuangkan karyanya di dunia pendidikan dan pengajaran serta dapat menjadi uswatun hasanah dalam berucap,bersikapan berprilaku dikalangan Siswa.
Salah satu instrumen kesejahteraan yang ingin diungkap lebih jauh dalam tulisan ini adalah tentang kesejahteraan wawasan guru yang menyangkut penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), terdapat beberapa fenonema yang tidak seharusnya terjadi tentang hal ini. Di satu sisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah banyak melahirkan perangkat-perangkat media, baik sofhware maupun hardware yang canggih dan memberikan peluang bagi peningkatan kualitas pelaksanaan proses pendidikan, disisi lain perkembangan kapasitas dan kompetensi guru tampaknya tidak secepat perkembangan yang pertama. Komputer jenis Pentium kini sudah level Pentium 4, bahkan memasuki 5, namun masih ada Guru yang megang komputer saja belum pernah!. Teknologi Internetpun sekarang semakin canggih, dan hal ini akan sangat membantu dalam mendorong wawasan global Siswa, mempermudah akses informasi dan ilmu pengetahuan kontemporer yang lebih terbuka bagi mereka dari sekedar apa yang terdapat dalam buku di Perpustakaan yang terkadang bersifat ”buhun”. Hari gini belum mengenal komputer dan internet ? tampaknya pertanyaan ini perlu menjadi renungan kita bersama, karena sudah menjadi tuntutan dan keharusan.
Fenomena lemahnya penguasaan TIK ”miskin wawasan” dikalangan sebahagian Guru ini, selayaknya menjadi perhatian tersendiri bagi para stakeholder pendidikan khususnya bagi para ”pemberdaya” tenaga pendidik. Hipotesisnya adalah jika guru kurang menguasai TIK maka bagaimana dia dapat memanfaatkan media yang mutakhir itu untuk mendukung lebih profesionalnya pelaksanaan profesi keguruannya, dan tentunya menutup salah satu peluangnya untuk berfikir lebih mutakhir, untuk memenuhi tuntutan administrasi pendidikan saja seperti membuat perangkat silabus, perencanaan pengajaran, membuat modul pendidikan, dan sebagainya tentunya akan kedodoran, lantas bagaimana dengan kapasitas wawasan siswanya nanti?.
Kemutakhiran Internet yang memberikan peluang besar bagi peningkatan kapasitas wawasan global siswa serta menjadi ”kitab terbuka” yang berisikan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan mutakhir, sangat disayangkan jika tidak dijadikan sebagai salah satu perangkat pendukung bagi guru dalam membentuk kompetensi-khususnya kognisi- siswa, tak bisa dielakan bahwa tuntutan dunia perguruan tinggi jika Siswa kuliah dan tuntutan dunia kerja dewasa ini menuntut mereka untuk mengusai hal itu. Serangkaian tugas dari para dosen ketika siswa nanti kuliah menuntut kompampuanya dalam menggunakan komputer dan internet, demikian juga di dunia kerja, jika diamati Job Opportunity yang setiap hari terdapat di berbagai media masa, semuanya mengisaratkan SDM yang menguasai komputer, salah satu upaya untuk menjawab itu tentunya perlu adanya upaya pembiasaan ketika mereka sekolah untuk sering berinteraksi dengan yang namanya komputer dan internet, dan hal ini bukan hanya misi Guru TIK melainkan semua Guru perlu menguasainya dan membiasakannya ketika memberikan tugas bagi para Siswa.
Solusi!, sebaik-baiknya kritik tentunya disertai dengan solusi, fenomena ”miskin wawasan” sebahagian guru tentang TIK ini tampaknya perlu segera dirumuskan pemecahanya, beberapa hal berikut kiranya dapat mejadi alternatif, Pertama; Solusi yang bersifat internal, yakni berangkat dari adanya kesadaran dari gurunya sendiri tentang ketidakmampuanya dan pentingnya penguasaan TIK bagi peningkatan profesionalisme pelaksanaan profesinya. Guru harus menjadi orang yang tahu dalam ketidak tahuanya, Kedua, perlu adanya Diklat TIK secara terprogram dan berkelanjutan bagi para guru. Program-program dari PGRI, KPN, atau bahkan MGMP dapat diarahkan ke hal tersebut. Ketiga perlu adanya fasilitas yang secara khusus disediakan bagi guru untuk mengembangkan kompetensinya dalam bidang TIK, yang disediakan oleh satuan pendidikan masing-masing. Keempat, Program kepemilikan komputer secara kredit atau sebagai bentuk hadiah dari DIKNAS atau DEPAG bagi para guru yang berprestasi, dan program-program lainya yang mendukung. Demikian tulisan ini dibuat untuk menjadi bahan renungan bagi para Guru dan Stakeholder pendidikan lainya.Semoga bermanfaat.

*) Guru Ekonomi dan TIK MAN Cianjur.
HP.08156116070
e-mail : Juny7_81@yahoo.com
No Rekening : 133-00-0479523-3 BANK MANDIRI Cabang Cianjur a.n Herlan Pirmansyah

Hikmah Musibah Nasional

Dari Terorisme, Budaya KKN Hingga Tsunami
(Sebuah Catatan Kecil dalam Menginsafi Hikmah Musibah)
DR. Sofyan Sauri, M.Pd (Dosen UPI Bandung)

Pasca hancurnya gedung kembar di Amerika Serikat pada tanggal 11 Oktober 2002, Indonesia telah menjadi salah satu Negara yang menjadi bulan-bulanan istilah terorisme di mata Internasional (khususnya Amerika dan sekutunya), keyakinan mereka semakin kuat dengan banyakanya peristiwa pemboman yang salah satu puncaknya terjadi di Bali pada tanggal 12 September 2003 yang disusul dengan aksi-aksi ditempat lainya seperti di Hotel Marriot, Gedung Kedubes Australia, Gedung DPR sampai Mesjid Istiqlal dan beberapa tempat lainya, Jaringan Islamiyah yang disebut-sebut sebagai biang terjadinya aksi-aksi terorisme sampai sekarang masih belum kunjung “eces”.

Ditengah-tengah tuduhan dunia yang mengklaim Indonesia sebagai sarang terorisme, pandangan dunia seolah tidak pernah terelakan dari perjalanan Indonesia, dari mulai gelar peringkat negara yang tingkat Korupsi,Kolusi dan Nepotismenya (KKN) termasuk papan atas, kualitas SDM yang jauh tertinggal dari negara berkembang lainya (bahkan dibawah Vietnam), tingkat penderita HIV yang cukup banyak, peringkat negara yang tingkat perjudianya cukup tinggi sampai peristiwa kanibalisme Sumanto yang cukup menggemparkan Ibu Pertiwi bahkan dunia Internasional, lantas gelar dan peristiwa apa lagi yang akan disandang dan akan terjadi kepada kita dikemudian hari ?

Namun demikian, Hasrat untuk bangkit dari berbagai keterpurukan bagaimanapun tampaknya masih ada dan terus bergelinding ditengah-tengah masyarakat kita, krisis kepercayaan terhadap pemerintahan dan krisis kepemimpinan yang disinyalir sebagai salah satu factor semakin bergelindingnya berbagai problematika kian hari kian bergeser menuju titik terang, gelombang reformasipun terus bergulir, tahun demi tahun pergantian kepemimpinan begitu cepat terjadi diluar yang seharusnya, puncaknya terjadi pada tahun 2004, dengan alasan proses demokratisasi bangsa kita sepakat untuk memilih pemimpin secara langsung, semua rakyat dengan status apapun memiliki kedudukan yang sama, satu hak suara untuk menentukan pemimpinnya, seorang profesor dan seorang kiayi sekalipun hak suarnya sama dangan seorang pemulung jalanan, pesta demokrasi baru yang merupakan pengalaman perdana bagi bangsa kita tergolong sukses, pemilihan orang nomor satu di negeri ini berjalan dengan baik, yang hasilnya Bapak Susilo Bambang Yudoyono dan Muhammad Jusuf Kala muncul sebagai pasangan yang banyak di pilih oleh rakyat dan akhirnya ditetapkan serta dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden NKRI, Tumpuan harapan adanya perubahan dinegeri ini ke arah yang lebih baik bertumpu pada pasangan SBY dan MJK, Program 100 hari pun menjadi focus perhatian masyarakat.

Namun, belum genap 100 hari, berbagai persitiwa telah banyak menghiasi catatan pemerintahan baru, dari mulai ditangkapnya beberapa pejabat dan mantan pejabat akibat tuduhan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Peristiwa kecelakaan lalu lintas di jalan tol Jagorawi, Peristiwa terperosoknya mobil anggota DPR RI di Yogyakarta, Peristiwa kecelakaan pesawat Lion Air, Peristiwa dideportasinya ribuan TKI illegal yang bekerja di Malaysia, Peristiwa jatuhnya Helikopter di Papua, Gempa bumi yang terjadi di Nabire, Gerakan Sparatis Aceh yang tidak kunjung selesai, sampai gempa bumi yang disusul serangan gelombang tsunami yang mengakibatkan puluhan ribu warga Aceh dan Sumatra Utara kehilangan keluarga dan hartanya bahkan nyawanya (Red. Meninggal)

Peristiwa Gempa Tektonik dan Gelombang Tsunami yang menyerang Nangru Aceh Daarussalam pada tanggal 26 Desember 2004 dan di Sumatra Utara menjadi antiklimaks dari serangkaian peristiwa yang menimpa Bangsa Indonesia, Makna apa yang bisa ditarik dari serangkaian musibah yang menimpa Negara kita, tentunya tergantung dari sudut mana kita memandang. Ada yang memandang sebagai bencana, ada yang memandang sebagai ujian, bahkan ada yang memandangnya sebagai adzab, namun demikian awal yang baik dalam memandang setiap musibah adalah dengan menjaga husnudzan atau berbaik sangka, ketika musibah dipersepsikan sebagai bencana, maka tidak akan jauh-jauh hasilnya, orang akan merasakan kesengsaraan, justru karena ia mempersulit diri dengan asumsinya tentang musibah tersebut, segala sesuatunya dikeluhkesahkan, disesali, diratapi sehingga membuatnya terus terpuruk. Ketika musibah dipersepsikan sebagai adzab, tentunya akan memberikan nuansa muhasabah yang mungkin terjadi. Ada kekuatan moral untuk memperbaiki diri, sama halnya ketika musibah di persepsikan sebagai ujian, yang melahirkan kesabaran untuk menjalaninya dan mengupayakan perbaikan diri dalam hidupnya. Yang pasti harus diyakini oleh kita adalah bahwa setiap kejadian pasti mengandung hikmah, namun disayangkan terkadang sulit untuk menemukan orang yang sanggup menangkap hikmah dari setiap kejadian, apalagi mendapat pelajaran darinya.

Musibah dipersepsikan sebagai ujian ataupun bencana, kahikatanya adalah sebuah nasihat besar bagi manusia, hanya saja orang yang persepsi awalnya sudah negatif akan kesulitan menangkap nasihat dari hadirnya musibah, bagaimana tidak ? ia sendiri telah terperangkap oleh pikiran buruknya, hingga ia lebih banyak mengutuk, meratapi, mengkambinghitamkan orang lain, bahkan Allah, Na’udzubillah, Maka hilanglah waktu untuk berpikir tentang pelajaran apa yang bisa ia ambil darinya.

Terkait dengan ujian ini Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 155 bahwa “Sesungguhnya kami akan uji kalian dengan suatu cobaan berupa ketakutan, kelaparan, kekurangn harta, jiwa dan buah-buahan, berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” selain melalui surat Al Baqarah, Allah pun menjelaskan dalam Qur’an surat Al Ankabut ayat 2-3 bahwa “Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan “ Kami beriman” sedang mereka tidak duji lagi ? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan benar-benar Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui pula orang-orang yang dusta” bahkan Allah menjelaskan pula dalam hadist Qudsinya “ Allah berfirman kepada Malaikat-Nya “Pergilah kepada hambaKu, lalu timpakan bermacm-macam ujian kepadanya Karena Aku mau mendengarkan suaranya” (HQR Thabrani)

Merujuk pada ayat-ayat diatas bisa kita tarik benang merahnya bahwa musibah berupa ujian dengan segala bentuknya sudah merupakan sunnatullah, tidak ada suatu kuasapun yang dapat mengatasi kudrat dan irodat Allah, hal ini dipertegas dalam Firman Alah surat Yasin ayat 82 bahwa “Hanya urusan Allah itu bila ia mengehendaki mengadakan sesutu Ia berkata : Jadilah engkau, lalu terjadilah ia”, Orang yang beriman akan mengenal karakter ini, bahkan orang yang beriman akan meyakini lebih jauh bahwa satu-satunya yang sangup melindungi dan memberikan pertolongan hanyalah Allah, Hasbunalloh wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wani’mannasir. Cukuplak Allah sebagai penolong dan Allah sebaik-baik pelindung (Q.S Ali Imran :173).

Dalam Al Qur’an banyak kisah mengenai kekuatan dan kekuasaan Allah, ketika zaman Nabi Nuh umpamanya terjadi banjir besar mengakibatkan kawasan yang didiami kaum Nuh tenggelam dalam banjir besar dan semua kaum mati lemas, kecuali mereka yang beriman saja terselamatkan. Kemudian pada zamn Nabi Musa, kaum Firaun ditenggelamkan oleh Sungai Nil, Ummat Nabi Luth ditengelamkan bumi, Kaum Aad dan Tsamud pula dilanda ribut taufan yang memusnahkan tanaman, ternak dan harta benda yang tidak ternilai banyaknya, Ummat Nabi Muhammad juga tidak ketinggalan menerima pembalasan walau bencana yang dikenakan ke atas mereka lebih ringan jika dibanding ummat Nabi terdahulu.

Aneka musibah yang datang silih berganti seperti halnya yang terjadi pada Negara Indonesia dewasa ini, bagi yang beriman merupakan petunjuk agar kita mau berpikir dan mengambil pelajaran, dan Allah swt telah menurunkan aneka musibah ini tentunya untuk suatu tujuan, musibah adalah lahan pengujian, apakah dalam ujian tersebut seseorang menunjukan pola pikir yang baik atau tidak ? dengan demikian akan terlihat orang-orang yang memiliki keyakinan yang tinggi pada Tuhannya, berbagai musibah yang terjadi terhadap dewasa ini diturunkan Allah swt diantaranya mungkin untuk memberikan pengajaran dan teladan kepada manusia agar insaf dan berhenti daripada melakukan kemungkaran dan maksiat, sebagaimana Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 41 sbb:
“ Telah timbul berbagai kerusakan dan bencana di darat dan di laut dengan sebab apa yang telah dilakukan oleh tangan manusia (timbulnya yang demikian) karena Allah hendak merasakan mereka sebahagian daripadanya balasan perbuatan yang telah meraka lakukan supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat)”
Allah menurunkan berbagai musibah bagi bangsa Indonesia ini mungkin karena bangsa kita sudah terlalu banyak yang tidak menghiraukan seruanNya, bangsa kita mungkin sudah terlalu banyak yang melupakan tujuan utama Allah menciptakan yakni untuk beribadah kepadaNya sebagaimana diungkapkan dalam Qur’an Surat Az-Dzriat ayat 56 bahwa “Dan tidak Aku ciptakan zin dan manusia mealinkan untuk mengabdikan diri kepadaKu (beribadah)” sehingga dampaknya yang terkena bukan hanya mereka yang sudah jauh dari seruanNya akan tetapi mereka yang berimanpun terkena akibatnya, hal ini memang sesuai dengan Hadist Rosululoh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa “Apabila Allah mau menurunkan bala atau bencana ke atas suatu kaum karena terdapat dikalangan mereka melakukan kejahatan dan maksiat, maka azab yang diturunkan menimpa mereka yang beriman dan kufur, Tetapi apabila mereka berada di hari akhirat nanti, mereka diletakan ditempat yang sesuai mengikuti keimanan dan amal kebajikan yang mereka lakukan di dunia”

Musibah yang terus bergulir menimpa negeri Ini, mungkin juga dikarenakan sebagian dari masyarakat kita sudah terlalu banyak berbuat kedhaliman, budaya korupsi yang mengakar dimana-mana merupakan budaya kedhaliman yang sungguh harus menjadi bahan muhasabah kita semua, dari berita-berita ditelevisi seakan kita tidak pernah mendengarkan satu hari saja berita kriminal yang dilakukan oleh masyarakat kita yang tindakanya sudah melebihi binatang dan sangat jauh dari nilai-nilai islam, berita sang ayah yang menggauli anaknya, berita sang anak yang membunuh ibunya sampai peristiwa kanibalisme semakin melengkapi berbagai kedhaliman yang terjadi di negeri ini. Tayangan-tayangan televisi sudah menggiring generasi kita untuk melakukan pergeseran nilai dan pergeseran kebudayan kearah nilai dan budaya jahiliyah dengan baju moderenisasi, sungguh kedhaliman sudah menjadi nilai dan budaya baru yang sebagian orang sudah menggap sbegaai hal yang biasa, Na’udzubillah, padahal Allah swt telah memperingatkan dalam firmanya surat Al Baqarah ayat 59 yang berbunyi “Sebab itu Kami turunkan siksaan dari langit kepada mereka yang melakukan kedhaliman, disebabkan mereka berbuat fasiq” kemudian Allah juga mempertegas dalam surat As Syu’ara ayat 227 yang berbunyi “ Orang-orang yang dhalim akan mengetahui kemana tempat kembali mereka” dan surat Al Anfal ayat 165 yang berbunyi “Kami timpakan siksaan yang dahsyat kepada mereka yang aniaya disebabkan mereka telah berbuat fasiq” jelaslah bahwa bagi ummat yang dhalim Allah akan menimpakan siksaan yang dahsyat, semoga masyarakat kita diberi kekuatan untuk bisa membuka mata hatinya sehingga bisa betul-betul diberi petunjuk mana yang betul-betul haq dan mana yang batil.

Musibah merupakan bagian dari kesulitan hidup, ia juga merupakan bagian dari nuansa kehidupan yang tidak hanya kaya dengan kesulitan, namun juga kaya dengan kebahagiaan, Kadang-kadang orang tidak bersyukur dan terlupakan dengan kebahagiaan yang diraih sebelum datang kesulitan, Mereka terus menyalahkan takdir atau menyalahkan orang lain, mereka lupa bahwa pada saat kebahagiaan datang kepada mereka, tidak satu hal pun yang disyukurinya. Jangankan untuk menghisab diri, dengan datangnya musibah tersebut, menyadarinya sebagai bagian dari sunnatullah dan ujian Allah pun acapkali jarang terjadi, demikianlah orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang ajeg kepada Tuhanya, sementara itu, orang-orang yang beriman mereka tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah, mereka yakin dengan janji Allah bahkan pada setiap kesulitan itu diapit oleh kemudahan (Q.S Al Insyirah:6), inilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar, karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji-janjiNya.

Namun adakalanya orang yang sudah berimanpun akhirnya tergelincir karena kurang sabar. Ketika musibah datang bertubi-tubi, kesabaran pun dianggap sudah mencapai batasnya, Mereka kemudian mencari jalan pintas untuk bisa keluar dari kesulitan. Sebuah ikhtiar seharusnya dilakukan dengan cara yang juga sesuai dengan rambu-rambu sunnatullah, Jika Allah menjanjikan akan datangnya dua kemudahan memang bukan berarti ia datang tiba-tiba dan lantas menyelesaikan permasalahan-permasalahan, akan tetapi harus diupayakan, dicari dan digali.

Musibah merupakan buah dari kehendak Allah swt, Maka pasti Dia juga yang tahu jalan keluarnya, maka tidak ada tempat kembali yang utama kecuali kepada Allah semata dikembalikan segala urusan dengan ikhtiar yang maksimal, mudah-mudahan musibah yang datang melanda negeri kita sanggup mendatangkan berjuta hikmah kepada kita dan mengembalikan kita kepada kesadaran bahwa kehendak Allah diatas segala-galanya.

Nikmatilah kesulitan hidup seperti kita menikmati kebahagiaan, karena setelah kesulitan akan datang kemudahan dan kebahagian, waspadalah dan berbekallah karena setelah kebahgaiaan itu akan berganti pula dengan kesulitan atau problematika baru. Karena demikianlah Sunnatullah semoga saudara-saudara kita yang terkena musibah di Aceh dan Sumatra Utara pada khususnya diberikan kesabaran dan ketabahan, Karena Allah telah menyampaikan kabar gembira bagi mereka yang ketika diuji mereka bersabar, diantaranya dalam hadist Qudsi yang berbunyi “ Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hambaKu pada badanya, hartanya atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari qiamat atau membukakan buku catatan amalanya baginya”( HQR Al Qurdla’I, Ad Dhailami dan Al Hakimut Turmudzi dari Anas r.a), Kemudian Rosulullah juga memberikan penegasan dalam Hadits Nabawinya bahwa “ Ujian yang tiada henti-hentinya menimpa Kaum Mu’minin pria atau wanita,yang mengenai dirinya, hartanya, anak-anaknya tetapi ia tetap bersabar, ia akan menemui Allah dalam keadaan tidak berdosa” (H.R Turmudzi). dan bagi yang wafat semoga Allah memuliakan mereka di sisi-nya, sedangkan bagi Kita berbagai musibah dengan segala bentuknya harus menjadi bahan muhasabah untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Khaliq Allah swt, Allah telah menyerukan kepada kita untuk memasuki islam secara Kaffah dan sebagai salah satu janjinya diungkapkan dalam surat Al Baqarah ayat 38 yang berbunyi “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan merasa takut dan tidak pula merasa susah,”, yakinlah dan mari berjuang bersama memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah swt, Sebagai benang merah yang bisa kita tarik dari berbagai musibah yang menimpa, kiranya Allah menimpakan musibah bagi manusia memiliki beberapa tujuan diantaranya sbb :
1. Mengungkapkan hakikat manusia itu sendiri sehingga nampak jelas keikhlasan, kesabarannya dan ketaatanya (ujian keimanan)
2. Membentuk dan menempa kepribadiannya menjadi pribadi yang benar-benar tahan menderita dan tahan uji sehingga melahirkan ummat berbudi tinggi dan luhur
3. Latihan dan pembiasaan sehingga setiap manusia yang diuji dan dicoba akan bertambah shabar, kuat dan cita-citanya dan tetap pendirianya.
4. Membersihkan dan memilih mana orang mu’min yang sejati mana munafiq.
5. Menguji kepekaan sosial muslim yang satu terhadap keadaan muslim lainya

Pembelajaran Bahasa Arab

Menyoal Problematika Pengajaran Bahasa Arab
Oleh : DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd (Dosen UPI)

Kenyataan yang kita hadapi bahwa sesungguhnya kondisi pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah/sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan. Kendala atau tantangan tersebut paling tidak dapat terlihat dalam beberapa hal berikut :
Pertama, dari segi edukatif. Pengajaran bahasa arab masih relatif kurang ditopang oleh faktor-faktor pendidikan yang memadai. Yang dimaksud faktor-faktor disini diantarnya faktor kurikulum (termasuk di dalamnya orientasi dan tujuan, materi dan metodologi pengajaran serta sistem evaluasi), tenaga edukatif, sarana dan prasarana.
Kedua, dari segi sosial budaya pada umumnya peta pengajaran bahasa Arab berada dalam lingkungan sosial yang kurang kondusif kecuali di lingkungan pendidikan seperti Pondok Modern Gontor, LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan lain-lain. Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat kita dihadapkan pada “Pertunjukan Budaya Barat” dengan segala macam pengaruhnya melalui media elektronik semacam RCTI, SCTV dan lain-lain. Dalam hal ini patut dicatat bahwa “cultural show” berbahasa Inggris yang disajikan dalam bentuk film-film dan acara lainnya, sedikit banyak mempengaruhi iklim pengajaran bahasa Arab. Kemudian fenomena umum ummat Islam kita cenderung sudah merasa puas kalau sudah pandai membaca al-Quran, walaupun tidak mengerti artinya, padahal untuk bisa paham Al Qur’an tidak hanya cukup bisa membaca, melainkan tahu artinya dan bahasa arab merupakan entry point untuk itu.
Ketiga, faktor linguistik bahasa Arab itu sendiri, selama ini nampaknya masyarakat kita termasuk para siswa di madrasah cenderung mempunyai kesan bahwa mempelajari bahasa Arab itu jauh lebih sulit daripada mempelajari bahasa asing lainnya, kemudian jika mereka mempelajari bahasa Arab banyak dimotivasi oleh kepentingan yang bersiat religius ideologis daripada kepentingan praktis pragmatis. Peranan bahasa arab juga masih dikatakan marginal, masyarakat pada umumnya tidak merasa perlu mempelajari bahasa Arab sebagaimana halnya mempelajari bahasa Inggris atau bahasa lainya, Keempat, dari segi politik dan diplomasi luar negeri. Dapat dilihat bahwa selama ini kita belum banyak memanfaatkan peluang dengan negara-negara yang berbahasa Arab, dalam bentuk kerjasama di bidang-bidang yang cukup strategis, seperti ekonomi dan pendidikan. Selama ini nampaknya bahasa Arab baru didayagunakan dalam rangka pengiriman TKI ke negara-negara Teluk, tapi itu pun belum maksimal. Padahal dengan poitik dan diplomasi yang menyeluruh kita akan bisa membuka peluang-peluang baru yang lebih menguntungkan untuk pendayagunaan bahasa Arab dalam bidang, yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi semangat kita dalam mempelajari bahasa Arab.
Seiring dengan dinamika dan kemajuan abad informasi dan globalisasi dewasa ini, nampaknya sudah saatnya kita berupaya mengikis atau bahkan menghilangkan kesan umum bahwa mempelajari bahasa Arab itu sulit. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu menambahkan kesadaran bersama bahwa mengerti dan menguasai bahasa Arab itu tidak hanya penting untuk menopang pemahaman kita terhadap ajaran Islam, melainkan penting juga untuk didayagunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Mengubah atau memperbaharui “motivasi kesadaran” masyarakat agar cinta bahasa Arab memang bukan pekerjaan mudah oleh karena itu, diperlukan beberapa pendekatan sebagai berikut :
Pertama, pendekatan edukatif. Pendekatan ini bisa diakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan cara bahwa setiap pengajar bahasa Arab dan agama Islam hendaknya mampu menumbuhkan motivasi dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa Arab. Tentu terlebih dahulu para pengajar itu membekali dirinya dengan kemampuan berbahasa Arab dan menguasai metode dan teknik mengajarkannya serta faktor kurikulum, sarana dan prasana juga harus diupayakan untuk lebih mendukung. Dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Arab, nampaknya kita perlu membenahi kembali sistem pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan tinggi kita. Sekurang-kurangnya alokasi waktu yang memadai agar dapat mencakup materi-materi yang bukan bersifat ke-Islaman saja, melainkan juga bersifat keilmuan dalam berbagai bidang. Ali al-Hadidi membuat jenjang pengajaran bahasa Arab ke dalam empat tingkat yang masing-masing tingkatannya dibutuhkan 250 jam @ 60menit ( al-Hadidi, 1966: 125). Ia membuat rincian sebagai berikut :

No. Tingkat Belajar Reguler Belajar di Lab/ Latihan Jumlah
1 Dasar 200 Jam 50 Jam 250 Jam
2 Menengah 200 Jam 50 Jam 250 Jam
3 Lanjutan 200 Jam 50 Jam 250 Jam
4 Akhir 200 Jam 50 Jam 250 Jam
Jumlah 800 Jam 200 Jam 1000 Jam

Singkatnya, berbicara pendekatan edukatif tidak terlepas dari pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, non formal maupun informal, dimana di dalamnya terdapat unsur input pembelajaran, proses dan output. Terkait dengan faktor input tentunya siswa itu sendiri, sedangkan yang terkait dengan unsur proses, setidak-tidaknya terdiri dari faktor pendidikan sebagaimana disebutkan diatas, yakni faktor kurikulumnya sendiri harus memadai (mencakup keseluruhan dari unsur pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan dan orientasi yang berbasis kompetensi), yang didukung oleh sarana dan prasana yang memadai, SDM /guru yang professional, alokasi waktu yang memadai serta aplikasi metodologi pengajaran yang mutahir. Terkait dengan metodologi, minimal ada lima metodologi yang bisa digunakan dan tentunya guru sebagai pelaksananya harus betul-betul menguasai, kelima metode tersebut terdiri dari :
1. Metode Gramatika-Terjemah
Metode ini berasumsi satu “logika semesta”, bahwa tatabahasa merupakan bagian dari filsafat dan logika, dapat memperkuat kemampuan berfikir logis, memecahkan masalah dan menghafal. Maka para pelajar bahasa dengan metode ini didorong untuk menghafal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya, meskipun seringkali terdapat struktur kalimat dan kosakata atau ungkapan yang sudah tidak terpakai. Karakteristik metode ini yakni, siswa ditujukan dapat membaca karya sastra bahasa target, bersifat nahwu sentris secara deduktif, berbasis penghafalan, berbahasa pengantar bahasa ibu, dan peran aktif guru lebih dominan sedangkan siswa lebih sebagai pelajar pasif (penerima materi).
2. Metode Langsung
Metode ini berasumsi bahwa proses belajar bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu, yaitu dengan menggunakannya secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Adapun kemampuan menyimak dan berbicara dikembangkan kemudian. Karakteristik metode ini yaitu penguasaan bahasa Asing secara lisan dengan pengajaran kosakata melalui teks, pengajaran kaidah secara induktif, guru dan siswa sama-sama aktif dalam pengajaran yang lebih bersifat muhadatsah dan peragaan. Kekuatan metode ini siswa terampil dan mahir berbicara serta menguasai tatabahasa secara fungsional tidak sekedar teoritis. Kelemahannya yakni siswa lemah dalam kemampuan membaca, dibutuhkannya guru yang ideal dalam keterampilan berbahasa dan lincah dan tidak bisa dilaksanakan dalam kelas besar.
3. Metode Membaca
Metode ini berasumsi bahwa pengajaran bahasa tidak dapat bersifat multi-tujuan, dan bahwa kemampuan membaca adalah tujuan yang paling realistis. Karakterisitk metode ini yakni materi pelajaran berupa buku bacaan berbasis pemahaman dan kaidah bahasa diterangkan seperlunya.
4. Metode Audiolingual
Dikenal juga dengan metode tentara, karena metode ini untuk pertama kalinya digunakan dalam mengajarkan bahasa kepada para tentara Amerika yang akan berperang pasca perang dunia ke-2. karakteristik metode ini adalah penguasaan keterampilan bahasa secara seimbang dengan urutan Menyimak, Berbicara, membaca kemudian menulis. Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang mengarah pada analisis kontrastif dan kesalahan. Gramatika tidak diajarkan di awal dan kegiatan penerjamahan dihindari.


5. Metode Eklektik
Metode ini muncul berdasarkan ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap metode-metode di atas. Dengan asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal dan lebih mengutamakan penggunaan metode berdasarkan kebutuhan siswa. Metode ini bisa menjadi metode yang ideal apabila didukung oleh penguasaan guru secara memadai terhadap berbagai macam metode. Sehingga guru dapat mengambil kekuatan dari setiap metode dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya. Contoh kongkrit penerapan metode ini adalah pengajaran bahasa Arab di Pondok Modern Gontor ; penerapan metode langsung sepenuhnya pada tahun pertama, dan penerapan metode eklektik pada tahun-tahun selanjutnya dengan tetap mengokohkan prinsip metode langsung yaitu pengharaman menggunakan bahasa Ibu. Inti dari metode ini adalah penggabungan antara porsi manipulatif dan komunikatif dalam pengajaran bahasa.


Kedua. Pendekatan sosial budaya. Dalam pendekatan ini hendaknya setiap umat Islam mulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial kemasyarakatan memberikan perhatian yang memadai mengenai pengajaran bahasa Arab bagi anak didik mereka. Akan lebih efektif bila pemancar-pemancar radio ( yangmusim) dan TV-TV menyediakan program siaran yang berbau bahasa Arab. Selain itu ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya sama-sama memasyarakatkan bahasa Arab dan mendorong umatnya untuk mencintai bahasa Arab.

Ketiga, Pendekatan Politik. Akhir-akhir ini kita melihat di Indonesia banyak bermunculan pusat-pusat pengkajian terhadap sosial budaya bangsa lain yang sebetulnya bersifat politis. Umpamanya, Pusat Studi Bahasa selain Arab yang diadakan oleh berbagai universitas. Tetapi sampai sekarang nampaknya Pusat Studi Arab baik di lingkungan Perguruan Tingi atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya eksistensinya belum teroptimalkan, hal ini merupakan peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk memulai membuka keran kerjasama dengan pendekatan politik yang lebih fair dengan bangsa-bangsa Arab. Pembukaan dan pengembangan pusat studi bahasa Arab yang eksistensinya betul-betul dioptimalkan secara komprehenship merupakan salah satu upaya kongkrit yang bisa dan harus dilakukan, dengan harapan bisa memberikan kontribusi yang positif bagi perbaikan dan pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.

Sabtu, 21 Februari 2009

Ekonomi dan Agama

Harmonisasi Ekonomi dengan Agama
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

Pada zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam), yaitu pada abad ke-7 sampai ke 14, ekonomi dan agama itu bersatu. Sampai akhir tahun 1700-an di Barat pun demikian, ekonomi berkait dengan agama. Ahli ekonomi Eropa adalah pendeta. Pada zaman pertengahan, ekonomi skolastik dikembangkan oleh ahli gereja, seperti Thomas Aquinas, Augustin, dan lain-lain. Namun karena adanya revolusi industri dan produksi massal, ahli ekonomi Barat mulai memisahkan kajian ekonomi dari agama. Keadaan ini merupakan gejala awal revolusi menentang kekuasaan gereja dan merupakan awal kajian ekonomi yang menjauhkan dari pemikiran ekonomi skolastik. Sejak itu, sejarah berjalan terus sampai pada keadaan di mana pemikiran dan kajian ekonomi yang menentang agama mulai mendingin.
Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka menyadari kembali betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral, dan human. Ekonom Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, menyusun kembali ilmu ekonomi yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa. Kemudian muncul juga kajian ekonomi baru dengan pendekatan humanistis dari Eugene Lovell dalam bukunya yang terkenal Humanomics dan dari E.F Schumacher yaitu Small is Beautifull, Economics as if People Material. Keduanya menyadari bahwa menghilangkan hubungan kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan dan tidak bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta. Kesadaran ini tumbuh setelah semua menyaksikan hasil model pembangunan sosial-ekonomi yang berasaskan model liberal-kapitalistis dan teori pertumbuhan neoklasikal serta model marxist dan neomarxist yang mengutamakan materialistis hedonisme berupa kemiskinan ditengah kemakmuran, konsumerisme, budaya permissive, dan rupa-rupa bentuk pop-hedonisme, gaya hidup yang sekuler dan sinkretis, serta keadaan lainnya yang bertentangan dengan nilai kemanusian dan nilai agama.
Kajian ekonomi pada abad ini (the age of reason) tidak hanya bertolak dari asas kapitalisme dan asas marxisme, melainkan bertolak juga pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta. Ekonomi yang memiliki nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis). Ekonomi yang dapat membebaskan manusia dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan, dan segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak manusiawi, yaitu ketidakadilan, kerakusan, dan ketimpangan. Ekonomi yang secara historis-empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue committed), dialah ekonomi Syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan pedoman tingkah laku bagi manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi merupakan bagian dari tingkah laku manusia. Oleh karena itu, ilmu dan aktivitas ekonomi haruslah berada dalam Islam. Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu agama Islam. Karena itu, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari suprasistemnya yang digali dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ilmu ekonomi harus berasaskan iman, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
”Celakalah (siksalah) untuk orang-orang yang menipu. Bila mereka menimbang dari manusia untuk dirinya, mereka sempurnakan (penuhkan). Dan, bila mereka menimbang untuk orang lain, mereka kurangkan. Tiadakah mereka menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Pada hari yang besar (kiamat)? Yaitu pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-Muthaffifin 1-6)

Dalam tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah dan Hari Pengadilan sebagaimana firman Allah yang artinya:
”Telah kami utus ke negeri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata, ”hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripada-Nya; dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan dan aku takut terhadap kamu akan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan hak orang sedikit juga dan jangan pula berbuat bencana di muka bumi sebagai perusak. Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamu orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, ”Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (Hud: 84-87)

Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah kepada Allah. Kekayaan ekonomi adalah suatu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasan hidup dalam rangka meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepa Allah. Mencari dan menimba kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmatinya tidaklah dikutuk Allah sepanjang diakui sebagai karunia dan amanat Allah. Adapun yang terkutuk adalah apabila kekayaan itu dijadikan sesembahan yang utama dalam hidupnya. Iman dan takwa kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dengan segala aspeknya. Corak ini menampilkan arah dan model pembangunan yang menyatukan pembangunan ekonomi dengan pembangunan agama sebagai sumber nilai (central/core value). Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi, distribusi, dan konsumsi harus menggunakan pertimbangan nilai agama dan bukan oleh determinisme mekanistis ekonomi lainnya seperti pada kapitalisme dan marxisme.
Islam sejak risalah Muhammad saw sampai kepada suatu zaman yang disebut the Golden Age of Islam, lalu ke zaman pembekuan dan kegelapan (the Dark Age) merupakan pengalam empiris dan sebagai batu ujian bagi pemikir muslim era globalisasi untuk membangkitkan kembali Islam yang akan mewarnai abad ekonomi modern dewasa ini, baik di tingkat nasional, regional maupun global. Pertemuan para ahli ekonomi muslim sedunia dalam International Conference for Islamic Aconomics yang pertama di Mekah tahun 1976 telah mendorong gairah untuk menggali nilai Islam bagi ekonomi bangsa sedunia di tengah-tengah krisis kehidupan akibat sistem ekonomi kapitalis-individualistis dan marxis-sosialistis. Konsep ekonomi Islam mampu mengentas kehidupan manusia dari ancaman pertarungan, perpecahan akibat persaingan, kegelisahan dan kesirnaan akibat kerakusan, dan ancaman-ancaman keselamatan, keamanan serta ketentraman hidup manusia, kepada kehidupan yang damai dan sejahtera.

Jumat, 20 Februari 2009

Family Line

Family Line
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd

Siang itu rapat segera dimulai, pembawa acara mengajak peserta untuk membuka rapat dengan ucapan basmallah. Dengan semangat kebersamaan dan kekhusuan, semua peserta membaca basmallah secara bersama-sama. Rapat pun mulai digelar. Agenda kali ini berbeda dengan rapat biasanya, karena konon sang Kepala Sekolah yang baru bertugas satu tahun di selolah ini, mau membuka lembaran baru dengan mengusung nilai-nilai demokerasi di lingkungan sekolah. Pemilihan Wakil Kepala dan para Pembina dilakukan secara terbuka dengan mekanisme voting tertutup. Namun demikian, para kandidat sudah ditentukan sebelumnya oleh Tim Formatur yang beranggotakan para elit sekolah periode sebelumnya, tim 16 namanya, nama tersebut muncul karena tim tersebut beranggotakan 16 orang.
Setiap posisi Wakamad dan Pembina memiliki calon dua orang, penentuan calon dua orang untuk masing-masing posisi inilah yang ditentukan oleh tim 16. Dengan mekanisme yang sudah disepakati Tim 16 pula, pemungutan suara “one teacher one vote” mulai di gelar. Pemilihan dilakukan secara berurut, dimulai dari pemilihan Wakil Kepala, hingga para Pembina. Suasana rapat kala itu seperti rapat MPR dan DPR pada saat pemilihan Gusdur dan Megawati tahun 1999, kasak kusuk tim sukses masing-masing kandidat mulai ramai, suara getaran HP yang di Sillent pun terdengar, mungkin antar peserta rapat kala itu berupaya untuk saling mempromosikan jagoannya , maklum sebagian kandidat berambisi untuk menjadi pemenang dalam pemilihan tersebut.
Beberapa kandidat dalam posisi tertentu tampak ganjil, beberapa calon inkamben rivalnya orang baru yang secara kompetensi memang bukan bidangnya, lebih dari dua posisi yang dikondisikan demikian. Selain itu, ada pula posisi diisi dengan rival yang membuat peserta rapat sangat penasaran dengan hasilnya, posisi tersebut diisi dengan seorang guru yang berada dalam Family Line (FL) dan rivalnya merupakan guru di luar zona FL yang secara kompetensi dan pengalaman sangat baik. Hal tersebut membuat penasaran peserta, karena hasilnya dapat membuktikan sejauhmana kekuatan FL di sekolah ini. Selain itu, menjadi ajang untuk mengukur apakag sekolah ini menjungjung tinggi profesionalisme atau FL. Hadits tentang keharusan menyerahkan amanah kepada yang memiliki keahliannya pun akan terjawab melalui prosesi pemilihan kala itu.
Singkat cerita, pemilihan usai dilaksanakan, munculah para pemenang, calon yang menang tersenyum ceria seperti anak penulis yang diberi mainan kesukaanya, sementara yang kalah ada yang tersenyum simpul ada pula yang murung seperti burung hantu yang sedang sakit gigi.
Setelah para pemenang itu diumukan, keganjilan semakin mengemuka, para pemenang sebagian besar merupakan inkamben alias pejabat lama dan sebagian lainnya mereka yang secara historis termasuk zona FL. Di sekolah ini memang kental sekali dengan FL, pastas saja, karena secara historis sekolah ini dipimpin oleh orang yang memiliki ikatan keluarga yang sangat dekat, Selain itu, lebih dari lima pasangan suami istri bertugas satu atap. Kok bisa ya! seperti halnya yayasan, padahal sekolah ini merupakan sekolah negeri yang berlokasi di pusat kota.
Dalam perjalanannya, FL ini semakin tampak, setiap diadakan suksesi posisi tertentu selalu yang menang adalah orang yang secara genetic merupakan keturunan dari para pendiri sekolah ini. Berlaku anomaly ketika ada posisi tertentu yang diisi oleh orang yang berasal dari luar zona FL. Demikian halnya ketika sekolah ini dipimpin oleh orang yang berasal dari luar zona FL, sang pemimpin (baca: kepala sekolah) senantiasa sulit bergerak, berada dalam tekanan ketika hendak mengangkat guru untuk posisi tertentu, bahkan ketika hendak melakukan perubahan, cibiran lah yang di dapat, dukungan hanya didapatkan dari orang-orang yang masih memiliki semangat perubahan dan kuat idealismenya. Kelompok terakhir ini pun keberadaanya sangat jarang, bak mencari jarum di tengah-tengah jerami.
Kekuatan FL tapak pula ketika pemilihan pengurus koperasi pegawai di lingkungan sekolah ini, mungkin haram hukumnya jika ada orang di luar FL menjadi pejabat di sekolah ini. Pemilihan ketua koperasi kala itu, terdapat dua kandidat, satu orang berasal dari FL, dan yang lainnya di luar FL, secara kompetensi, jaringan dan pengalaman, orang yang di lura FL jauh lebih baik. Namun, karena orang tersebut rivalnya adalah orang yang berada dalam zona FL, maka kekalahanlah yang didapatkannya.
Nepotisme, istilah tersebut menjadi wajar ketika didasari oleh profesionalisme dan kompetensi yang mumpuni. Namun, menjadi buruk ketika hubungan emosional secara kekeluargaan yang lebih dikedepankan. Dengan “postulat family line”, tampaknya susah bagi sekolah untuk melakukan perubahan mendasar ke arah yang lebih baik, hal ini terbukti di sekolah ini, orang-orang yang sangat potensial, memiliki kompetensi, pengalaman dan jaringan yang luas, terpinggirkan hanya karena bukan berasal dari zona FL, pada akhirnya mereka bersifat apatis dengan keberadaan sekolah dan mencai alternative pengembangan diri di luar sekolah. Kelebihannya tidak menjadi added value bagi sekolah, melainkan bak mutiara yang berada di tengah-tengah kegelapan dan ditutupi oleh bungkus hitam.
Keberadaan guru yang secara genetic satu keturunan secara berkepanjangan di satu sekolah, ternyata membuat sistem yang ada tabu dengan perubahan. Layaknya sekolah negeri -bukan yayasan- pemetaan tempat mengajar guru yang memiliki ikatan keluarga dekat, tampaknya perlu dievaluasi. Keberadaan suami istri dalam satu atap, menyempitkan ruang bagi terwujudkanya nilai-nilai profesionalisme, gesekan kepentingan pribadi dengan kepentingan kerja sulit untuk terhindarkan, akibatnya organisasi menjadi kaku, sulit untuk berubah dan buta dengan potensi sumber daya yang berada di luar zona FL. Sebagai guru ekonomi dan akuntansi, menjadi pelajaran bagi penulis bahwa prinsip kesatuan usaha (dimana uang pribadi dan uang hasil usaha harus dipisah) dalam bisnis sangat kuat alasannya. Ketika kepentingan keluarga dan sekolah tercampur, maka sulit profesionalisme itu terwujud.
Padahal, sistem yang cenderung konservatif, kini akan tertinggal jauh oleh perkembangan zaman, percepatan perubahan kini menjadi keniscayaan, maka hanya orang-orang yang bisa beradaftasi dan sensitive dengan perubahan itulah yang dapat menarik manfaat dari perkembangan zaman. Demikian halnya dengan lingkungan sekolah, kepala sekolah dan guru hendaknya peka dengan perubahan, perkembangan dunia IPTEK, termasuk dunia manajemen yang semakin modern, serta tuntutan profesionalisme terhadap profesi pendidik yang kini kian kuat, hendaknya disikapi secara progresif, agar dunia pendidikan di persekolahan semakin berkualitas dan melahirkan lulusan yang mumpuni.